Newsletter

8 Bank Sentral Umumkan Suku Bunga, Super Thursday Hantui RI

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
18 September 2023 06:00
federal reserve
Foto: Reuters

Sebelum memulai perdagangan hari ini hingga beberapa hari ke depan di pekan ini, investor sebaiknya mencermati beberapa agenda ekonomi dari dalam negeri, maupun luar negeri.

Untuk hari ini, dari eksternal atau luar negeri, rilis data ekonomi dari global maupun dalam negeri cenderung minim. Hanya beberapa seperti data neraca perdagangan Singapura dan data indeks pasar perumahan di Amerika Serikat (AS).

Namun sepanjang pekan ini, dunia dan pasar keuangan akan disibukkan oleh banyaknya pengumuman kebijakan suku bunga. Setidaknya ada delapan bank sentral yang akan mengumumkan suku bunga pada pekan ini. Tepatnya ada sembilan bank sentral yang akan mengumumkan kebijakan suku bunga.

Di antaranya adalah bank sentral China (PBoC) pada Rabu (20/9/2023) dan bank sentral Jepang (BoJ) pada Jumat (22/9/2023).
Puncaknya adalah pada Kamis (21/9/2023) di mana ada tujuh bank sentral yang akan mengumumkan suku bunga yakni bank sentral Brasil, Turki,  Afrika Selatan, Inggris, Saudi Arabia, Indonesia, dan tentu saja Amerika Serikat (AS).
Banyaknya bank yang akan merilis data pada Kamis inilah yang membuat fenomena 'super Thursday' akan kembali menghantui pasar keuangan global, termasuk Indonesia.

Pasar dikhawatirkan bergerak sangat volatile pada pekan ini terutama menjelang Kamis karena banyaknya bank sentral yang akan mengumumkan suku bunga. 

Pengumuman The Fed menjadi yang paling banyak ditunggu dunia mengingat besarnya pengaruh AS dalam perekonomian global.  Pelaku pasar memang sudah menanti hasil dari pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), apalagi dengan inflasi AS yang kembali memanas pada Agustus lalu. The Fed akan mengumumkan kebijakan pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia (21/9/2023).

Sebelumnya pada Rabu malam waktu Indonesia, inflasi konsumen (consumer price index/CPI) Negeri Paman Sam pada bulan lalu kembali naik menjadi 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 3,2% (yoy).

Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI AS pada bulan lalu juga naik menjadi 0,6%, dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 0,2%. CPI bulanan AS sesuai dengan prediksi pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 0,6%.

Adapun CPI inti berhasil melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% (yoy), dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy).

Inflasi AS diperkirakan masih sulit turun ke depan karena lonjakan harga minyak. AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga pergerakan harga minyak akan sangat berdampak kepada ekonomi AS.

Pada perdagangan Jumat (15/9/2023) lalu, harga minyak mentah WTI ditutup terapresiasi 0,68% di posisi US$ 90,77 per barel, begitu juga dengan minyak mentah brent ditutup naik 0,25% di posisi US$ 93,93 per barel.

Hal ini membuat kedua harga minyak acuan terbang dalam sepekan terakhir. Harga minyak mentah WTI berhasil melejit 3,73%, dan minyak mentah brent melesat 3,62%.

Masih membandelnya inflasi AS membuat prospek berakhirnya era suku bunga tinggi dipertaruhkan, karena The Fed berpotensi masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya hingga inflasi menyentuh target yang ditetapkan di 2%.

Kendati begitu, pemikiran pelaku pasar juga sepertinya mulai berubah lebih forward looking dari yang sebelumnya seberapa besar kenaikan suku bunga menjadi seberapa lama bank sentral AS akan memberikan jeda.

Hal tersebut juga semakin didukung dengan data yang ditunjukan CME Fedwatch Tool yang mengukur peluang suku bunga akan ditahan pada level 5,25% - 5,50% sudah semakin dominan, yakni mencapai 99%.

Selain dari AS, terutama terkait pertemuan The Fed dan hasilnya nanti diumumkan pekan depan, yakni pada Kamis dini hari waktu Indonesia, pelaku pasar juga perlu memantau rilis beberapa data ekonomi dan agenda penting di China, di mana pada  Rabu  pekan depan (19/9/2023), bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya.

PBoC akan mengumumkan kebijakan suku bunga pinjaman acuan terbarunya pada Rabu pekan depan. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan bank sentral Negeri Panda akan menahan suku bunga acuannya.

Adapun suku bunga pinjaman acuan (loan prime rate/LPR) tenor 1 tahun diprediksi masih tetap di level 3,45%. Sedangkan LPR tenor 5 tahun juga akan ditahan di level 4,2%.

Pemerintah China saat ini sedang berupaya untuk membangkitkan kembali perekonomiannya yang masih lesu, meski beberapa data ekonomi sudah ada tanda perbaikan.

Contohnya saja Indeks Harga Konsumen (IHS)China, di mana IHK pada periode Agustus 2023 sudah terlepas dari deflasi yakni tercatat inflasi 0,1% (yoy). Adapun pada Juli lalu, China mengalami deflasi yakni mencapai -0,3% (yoy).

Namun, nilai tersebut masih belum belum sesuai ekspektasi pasar yang proyeksi bisa tumbuh 0,2% (yoy). Inflasi inti juga tak berubah masih di 0,8% (yoy) dibandingkan bulan lalu.

Selain inflasi, penjualan ritel China juga meningkat sebesar 4,6% (yoy) pada Agustus 2023, meningkat dari pertumbuhan 2,5% pada bulan sebelumnya dan melampaui perkiraan pasar sebesar 3,0%.

Tak hanya itu, PMI Manufaktur Umum Caixin China naik menjadi 51,0 pada Agustus 2023 dari 49,2 pada Juli, mengalahkan estimasi pasar sebesar 49,3.

Meski ada pemulihan dari data inflasi, penjualan ritel, dan PMI manufaktur, tetapi anjloknya investasi di sektor properti yang dilanda krisis mengancam akan melemahkan langkah-langkah dukungan yang menunjukkan tanda-tanda menstabilkan perekonomian yang sedang goyah.

Investasi di bidang real estate turun 8,8% di bulan Agustus dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini semakin parah sejak awal tahun.

Untuk mempertahankan momentum pemulihan, PBoC mengatakan bahwa mereka akan memotong jumlah uang tunai yang harus disimpan bank sebagai cadangan untuk kedua kalinya pada tahun 2023 guna meningkatkan likuiditas.

Langkah-langkah kebijakan fiskal dan moneter lebih lanjut diperlukan karena sektor properti yang melemah, tingginya angka pengangguran kaum muda, ketidakpastian seputar konsumsi rumah tangga dan meningkatnya ketegangan AS-China mengenai perdagangan, teknologi dan geopolitik telah meningkatkan standar bagi pemulihan ekonomi yang tahan lama dalam waktu dekat.

Sejumlah stimulus sudah diguyur China sebagai booster ekonomi. Mulai dari stimulus untuk meningkatkan permintaan sektor properti yang terkontraksi akibat skandal Evergrande.

Sektor properti menyumbang sekitar 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China, sehingga pemangkasan bunga hingga uang muka pembelian rumah bagi warga Tiongkok diharapkan bisa mendongkrak sektor lain

Terbaru, pada Jumat lalu, PBoC bakal menggencarkan stimulus lagi melalui pemangkasan jumlah rasio cadangan perbankan atau reserve requirement ratio (RRR) kedua kalinya pada tahun ini.

PBoC diketahui akan menurunkan rasio cadangan perbankan sebesar 25 bp menjadi 7,4%. Langkah ini dilakukan untuk membantu bank-bank bisa menstimulasi ekonomi yang melambat. Stimulus ini akan menambah likuduitas di pasar hingga US$ 69 miliar atau sekitar Rp 1.059 triliun.

Selain China dan AS, tentunya masih banyak data ekonomi yang dirilis dan agenda cukup penting yang akan digelar pekan ini.

Mulai Selasa pekan ini, ada bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang akan menggelar meeting minutes. Selain itu, ada rilis data inflasi Uni Eropa periode Agustus.

Data inflasi ini akan dipantau ketat oleh pasar mengingat sebagai amunisi apakah bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) perlu lagi menaikkan suku bunga acuannya.

Kemudian pada Rabu, selain PBoC, ada rilis data neraca perdagangan Jepang periode Agustus 2023. Selanjutnya ada rilis data inflasi Inggris periode Agustus 2023.

Pada Kamis, memang puncaknya yakni keputusan suku bunga acuan The Fed. Namun, ada agenda penting lainnya seperti keputusan suku bunga bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), dan pidato Presiden ECB, Christine Lagarde.

Terakhir pada Jumat, beberapa data ekonomi penting akan dirilis seperti data inflasi Jepang periode Agustus 2023, keputusan suku bunga bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ), penjualan ritel Inggris periode Agustus 2023, dan rilis data PMI manufaktur di Australia, Jepang, Uni Eropa, Inggris, dan AS.

Sementara itu dari dalam negeri, pada pekan ini, ada agenda yang cukup penting yakni keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI).

BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 September dan akan mengumumkan hasilnya pada Kamis, 21 September siang.

Konsensus pasar dalam Reuters memperkirakan BI akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya di lebel 5,75%. Jika ekspektasi pasar tersebut benar, maka BI sudah menahan suku bunga acuannya selama tujuh bulan terakhir.

Apalagi, jika The Fed benar-benar mempertahankan kembali suku bunga acuannya sesuai prediksi pasar, maka BI yang kembali menahan suku bunga acuannya sudah sesuai dengan sikap The Fed, meski potensi berakhirnya era suku bunga tinggi belum terlihat.

(chd/chd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular