
Kacau! 7 Harta Karun Ini Jadi Korban 'Dendam' Eropa pada RI

- Belum selesai urusan di meja WTO terkait nikel, Uni Eropa mencari korban lain kepada Indonesia.
- Melalui EUDR, ada tujuh komoditas pertanian andalan Indonesia yang menjadi 'dendam' mengancam Indonesia
- Terbaru, produk turunan minyak sawit jadi korbannya, yakni biodiesel yang merupakan salah satu ekspor unggulan Indonesia.
Jakarta, CNBC Indonesia - Uni Eropa (UE) tampak menyimpan 'dendam' tiada ujungnya pada Indonesia. Belum selesai pertikaian perdagangan di meja Word Trade Organization/WTO terkait nikel, kini produk pertanian andalan Indonesia terancam jadi korbannya.
Perdagangan Indonesia tengah mengalami tantangan yang berat. Beberapa komoditas andalan Tanah Air akan terkena dampak dari diterapkannya Undang-undang Anti-deforestasi Uni Eropa (UE). Hal ini tentu akan punya implikasi luar biasa bagi Indonesia, terutama bagi petani negeri ini.
Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 lalu menyetujui Undang-Undang (UU) produk bebas deforestasi. Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan.
Ini merupakan bagian dari rangkaian kebijakan Uni Eropa yang dikemas dalam The European Green Deal (EGD). Dengan target mencapai netralitas karbon apa tahun 2050 dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 55% pada tahun 2030.
Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan.
Seperti diketahui, EUDR mulai diberlakukan pada medio Mei 2023 lalu. Dan dijadwalkan entry into force pada akhir tahun 2024 nanti. Aturan EUDR itu aturan diskriminatif, sehingga Indonesia akan melakukan perlawanan dengan melakukan perundingan.
Melansir dari White and Case, Peraturan Deforestasi UE ini mengamanatkan uji tuntas ekstensif pada rantai nilai untuk semua operator dan pedagang yang berurusan dengan produk tertentu yang berasal dari ternak, kakao, kopi, kelapa sawit, karet, kedelai, dan kayu.
Artinya, tidak ada satupun dari tujuh komoditas ini yang bisa masuk ke pasar UE jika pengertian deforestasi yang diadopsi adalah vesri US dan AS bukan deforestasi versi Indonesia. Berikut rinciannya.
Ketujuh produk ini ditekankan syarat agar produk yang ditargetkan harus bebas deforestasi untuk dapat dijual di pasar UE atau diekspor darinya. Selain itu, barang yang relevan juga harus tercakup dalam pernyataan uji tuntas dan diproduksi sesuai dengan undang-undang setempat yang berlaku.
Mengingat potensi dampak negatif (EUDR) terhadap ekspor Indonesia, ini menarik perhatian Kementerian Perdagangan (Kemendag). Karena ini menyangkut produk-produk kita semua, termasuk ternak, kopi, kakao, minyak sawit, dan produk turunannya.
Kebijakan anti-deforestasi ini berpotensi menghambat perdagangan dan merugikan petani kita. Meliputi hampir 8 juta petani kecil di Indonesia.
Komoditas Sawit Indonesia
UU Anti-deforestasi Uni Eropa itu akan menghantam jutaan petani kecil di Indonesia. Sebab, UU ini mewajibkan uji tuntas, yang menyangkut sejumlah kategori terkait benchmarking risiko tinggi(high risk country).
Seperti diketahui, EUDR mewajibkan penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori yakni high risk, standard dan low risk.
Ini tentu akan menyulitkan petani. Karena untuk yang 4 hektare (ha) lebih, harus menerapkan geolokasi. Bukan hanya petani, perusahaan juga demikian. Padahal kalau buah tidak tertampung, ini justru bakal menimbulkan gejolak. Akibatnya komoditas ini tidak lagi mengentaskan kemiskinan, tapi menambah kemiskinan.
Sebagaimana diketahui, bahwa komoditas sawit ini merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Di mana menurut CPOPC, Indonesia berkontribusi 56% terhadap produksi sawit dunia, disusul Malaysia dengan 20%.
Untuk diketahui, Indonesia memproduksi kelapa sawit sebanyak 45,58 juta ton pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 1,02% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 45,12 juta ton.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor CPO mencapai US$29,62 miliar pada 2022. Angka ini naik 3,56% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan data di atas, lihat saja nilai ekspor CPO Indonesia juga tercatat konsisten meningkat sejak 2020, meskipun volume ekspornya terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022 volume ekspor CPOIndonesia turun 28,5% (yoy) menjadi26,22 juta ton.Padahal pada 2019, volume ekspornya sempat mencapai angka 29,54 juta ton.
Turunan Sawit Ini Juga Kena 'Senggol'
belakangan UE kembali 'menyerang' Indonesia dengan produk andalannya yakni biodisel, turunan dari crude palm oil alias CPO. Melansir kabar dari Reuters, Uni Eropa kini tengah melakukan penyelidikan apakah biodisel Indonesia menghindari bea UE melalui China dan Inggris. Penyelidikan tersebut mengikuti permintaan awal dari Dewan Biodiesel Eropa, sebuah asosiasi produsen Eropa.
"Permintaan itu berisi bukti yang cukup bahwa tindakan balasan yang ada pada impor produk yang bersangkutan dielakkan oleh impor produk yang sedang diselidiki," kata Komisi Eropa dalam jurnal resmi UE dikutipCNBC Indonesia.
Bagaimana tidak menjadi persoalan, Uni Eropa ini merupakan tujuan terbesar ketiga Indonesia untuk produk minyak sawit. Ini pun menjadi pasar penting untuk biodiesel Indonesia, yang dibuat dari minyak sawit.
Menilik data BPS, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan volume ekspor biodiesel Indonesia mencapai 180,75 ribu tondengan nilai total US$ 191,99 juta.
Sejak beberapa tahun belakangan Indonesia sudah rutin memproduksi biodisel yang berasal dari minyak kelapa sawit. Selain untuk konsumsi bahan sebagai bahan bakar alternatif dalam negeri, produksi biodiesel juga digunakan untuk kebutuhan ekspor.
Secara rinci, Biodiesel tidak mengandung minyak bumi; kandungan alkil >98% (HS 38260022) mencatat nilai ekspor sebesar US$122,2 juta, sementara biodisel idak mengandung minyak bumi; kandungan alkil ≥96,5%-98% (HS 38260021) tercatat senilai US$ 63,45 juta.
Selain itu, ada pula biodisel tidak mengandung minyak bumi; kandungan alkil <96,5% (HS 38260029) dengan nilai US$ 4,3 juta, dan terakhir ada pula biodisel dan campurannya, mengandung minyak bumi; <70% (HS 38260090) seberat 3,02 ribu ton dengan nilai US$2,05 juta.
Indonesia sendiri juga merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Negara tetangga Malaysia, juga menjadi salah satu produsen besar lain.
Komoditas Kopi Indonesia
Moelyono Soesilo selaku Ketua Kompartemen Kopi Speciality & Industri Asosiasi Eskportir Kopi Indonesia (AEKI) mengungkapkan bahwa penerapan aturan EUDR ini akan memiliki implikasi negatif yang tak main-main.
Kopi Indonesia 98% dari petani kopi. Dengan adanya UU ini menyebabkan ketidakpastian bagi petani atas penjualan produknya dan ini tentu menjadi masalah yang berat bagi petani kopi sendiri.
Para eksportir kopi di Indonesia kecewa dengan sikap Uni Eropa yang memberlakukan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) atau Undang Undang Anti Deforestasi. Kebijakan ini berdampak buruk terutama ke petani Indonesia.
Maka, dengan adanya UU Anti Deforestasi, Uni Eropa akan selektif mengimpor kopi dari Indonesia. Misalnya kopi Indonesia harus memiliki sertifikat khusus yang menegaskan bukan ditanam di lahan hutan.
Ini akan jadi masalah berat, apalagi tingkat pendidikan mereka tidak terlalu tinggi. Dengan adanya UU ini sertifikasi biaya siapa yang menanggung, ini menjadi masalah tidak mungkin ke petani kecil yang punya luas lahan tidak hampir 1 hektare dengan produksi 1 ton kopi robusta.
Untuk diketahui, kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas ekspor hasil perkebunan yang paling diminati di dunia.Ekspor kopi Indonesia ke mancanegara pada tahun 2022 mencapai US$ 1,15 miliar. Salah satu tujuannya yakni negara-negara di Eropa.
Dari sisi produksi, Melansir dari laporan Statistik Indonesia 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kopi Indonesia mencapai 794,8 ribu ton pada 2022, meningkat sekitar 1,1% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Volume produksi kopi nasional juga konsisten meningkat tiap tahun sejak 2020, seperti terlihat pada grafik. Pada 2022 Sumatra Selatan menjadi provinsi penghasil kopi terbesar, yakni 212,4 ribu ton atau 26,72% dari total produksi kopi nasional.Selanjutnya ada Lampung dengan produksi kopi 124,5 ribu ton, Sumatra Utara 87 ribu ton, dan Aceh 75,3 ribu ton.
Untuk itu, ekosistem kopi Indonesia bakal terganggu karena akan mengeluarkan biaya (cost) yang tidak sedikit. Untuk itu, para eksportir kopi Indonesia sepakat untuk mengirim kopi-kopi Indonesia tidak lagi ke Uni Eropa tetapi ke kawasan Timur Tengah.
Komoditas Kakao Indonesia
Kakao Indonesia merupakan salah satu komoditas yang cukup signifikan. Posisi puncak perkebunan kakap Indonesia sudah gencar dilaksanakan Gernas Kakao sebelum tahun 2010-an di ana produksi kakao di Indonesia berkisar 710 ribu ton per tahun dan menempati peringkat ketiga dunia.
Berdasarkan data BPS, produksi kakao di Indonesia sebanyak 667.300 ton pada 2022. Jumlah tersebut lebih rendah 3,04% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 688.200 ton.
Melihat trennya, produksi komoditas yang menjadi bahan baku cokelat tersebut mengalami tren menurun sejak 2019 hingga saat ini. Kondisi itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya pohon kakao yang sudah tua, sehingga tak lagi produktif. Adapun, Sulawesi Tengah menjadi provinsi yang paling banyak memproduksi kakao. Jumlahnya tercatat sebanyak 126.000 ton sepanjang tahun lalu.
Undang-Undang Anti Deforestasi yang digagas Uni Eropa disebut salah sasaran, terutama untuk produk kakao. Beberapa komoditas yang menjadi perhatian dalam regulasi tersebut perlu dikaji ulang.
Aturan ini juga bisa berdampak pada industri kakao di Indonesia yang pabriknya juga dimiliki oleh investor asal Eropa dan produk yang telah mendunia.
Menariknya, produk cokelat Uni Eropa mayoritas justru impor dari berbagai negara. Salah satu pemasok terbesar produk cokelat Uni Eropa adalah Indonesia.
BPS mencatat, ekspor kakao Indonesia mencapai angka 385.981 ton dengan nilai US$1,26 miliar pada 2022. Angka ini naik 0,85% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 382.712 ton dengan nilai US$1,21 miliar.
Melihat trennya, ekspor komoditas dengan kode HS 18 tersebut berfluktuasi cenderung stabil dalam satu dekade terakhir. Ekspor kakao dan produk olahannya di Indonesia paling banyak terjadi pada 2013 yang mencapai 414.087 ton dengan nilai US$1,15 miliar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)