
Dilema Industri Rokok RI: Antara Benci dan Cinta

- Pria Indonesia demen rokok dengan tingkat persentase perokok pria tertinggi di dunia
- Bahkan, pengeluaran belanja rokok terbesar kedua dari total, lebih tinggi dibanding makanan bergizi
- Tingkat Cukai Hasil Tembakau (CHT) terus meningkat dari tahun ke tahun, indikasi 'candu' negara pada industri rokok?
Jakarta, CNBC Indonesia - Merokok sudah menjadi kegemaran dari jutaan pria Indonesia. Terpantau tidak dapat terlepas dari kecanduan rokok, terlihat banyaknya perokok di warung kopi, pinggir jalan, bahkan di fasilitas umum seperti halte.
Budaya merokok di Indonesia ternyata telah dikonfirmasi data resmi World of Statistcs yang menyebut persentase jumlah perokok Pria dari seluruh warga pria Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia.
Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 bahkan menunjukkan adanya peningkatan perokok di tengah pandemi. Jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang dalam 10 tahun dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta pada 2021
Bahkan, sering terdengar perokok laki-laki rela untuk mengurangi kebutuhan pokoknya, seperti membeli makanan, produk bergizi, dan kebutuhan primer lainnya.
Pernyataan tersebut dibenarkan oleh data hasil survei yang dilakukan kementerian kesehatan terkait data survei global penggunaan tembakau saat usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey/GATS).
Survey tersebut menemukan bahwa rokok menjadi pengeluaran belanja terbesar kedua pada orang miskin. Bahkan, pengeluaran rokok lebih tinggi dibanding pengeluaran makanan bergizi.
Tidak hanya itu, BPS mencatat pengeluaran rokok per kapita secara bulanan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Data menunjukkan pengeluaran rokok per kapita Per September 2022 menyentuh Rp 85,6 ribu per kapita.
Dengan puluhan juta konsumen, tidak heran kemudian jika rokok menentukan gerak inflasi Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), rokok hampir selalu masuk sebagai lima besar penyumbang inflasi setiap tahunnya.
Rokok Bikin Ketagihan
Pada dasarnya, rokok memang memiliki bahan baku yang dapat membuat penyandangnya ketagihan. Tercatat dalam setiap bungkus rokok bahwa terdapat dua indikasi bahan kimia yaitu nikotin dan tar.
Melansir AloDoketer, Nikotin merupakan bahan yang menyebabkan penggunanya ketagihan akibat rangsangan hormone dopamine, sedangkan tar tidak menyebabkan adiksi namun memicu sel-sel kanker akibat zat kimia yang dihasilkan saat rokok dibakar.
Bungkus rokok juga telah mencatat bahaya mengonsumsi produk tersebut dapat menyebabkan kanker paru-paru disertai dengan gambar yang mencerminkan risiko dari merokok.
Yang mengkhawatirkan, terdapat 8,11% atau 5,3 juta remaja berusia 16-18 tahun yang sudah menjadi perokok. Padahal, sebagian besar dari mereka belum bekerja. Rokok jugua merupakan salah satu produk olahan tembakau yang berbahaya dan mengandung 4000 jenis senyawa kimia serta 400 zat berbahaya.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata pemuda Indonesia merokok 11,16 batang per hari.
Namun, pemuda di sejumlah provinsi merokok lebih dari 11,16 batang sehari. Provinsi dengan jumlah perokok teraktif adalah Sulawesi Barat yakni 16,93 batang per hari. Urutan kedua adalah Bangka Belitung dengan 16,65 batang per hari kemudian Riau (16,21 batang/hari), Jambi (16,2 batang/hari), dan Kalimantan Tengah (15,75 per hari).
Namun, hal ini tidak menghentikan kaum adam Indonesia untuk menjadi perokok terbanyak di dunia. Data World of Statistics menyebutkan lelaki Indonesia yang merokok sebanyak 70,5% dari populasi perokok pria. Berbanding terbalik, perokok wanita Indonesia cukup rendah, hanya 5,3%. Berdasarkan hal tersebut, persentase total perokok Indonesia sebanyak 37,9% dari total populasi.
Informasi ini sempat menyebar luas hingga viral, dan di posting ulang oleh akun Instagram Folkative kemarin (24/8/2023). Konten tersebut diminati warganet dengan jumlah like mencapai 373,8 ribu.
Penyebab tingginya perokok Indonesia dan usaha pemberantasan
Melansir SehatNegeriku dari Kemkes, Wakil Menteri Kesehatan memandang penyebab tingginya prevalensi perokok remaja adalah keterpaparan iklan.
Survei GATS juga menunjukkan terdapat peralihan metode iklan yang dilakukan industri rokok. Data menunjukkan iklan, promosi, dan sponsor rokok menunjukkan adanya penurunan. Namun, keterpaparan iklan rokok terjadi transisi melalui internet yang meningkat 10 kali lipat lebih dalam sepuluh tahun lebih dari 1,9% tahun 2011 menjadi 21,4% per 2021.
"Rokok pada remaja terus kita evaluasi agar prevalensi perokok remaja bisa diturunkan. Kenaikan ini karena iklan. Kita sudah batasi iklan-iklan rokok, tapi masih ada iklan terselubung salah satunya di internet. Tapi kita akan terus perangi hal ini," ungkapnya.
Wamenkes juga mengharapkan adanya komitmen, kerja sama, sinergi, dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk mengusahakan aksi preventif dengan mempromosikan bahaya merokok. Selain itu, pengendalian ini ditujukan menjaga kesehatan masyarakat dan menjaga kualitas lingkungan.
Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan mengubah perilaku masyarakat untuk mempersiapkan bonus demografi menghasilkan generasi muda yang "sehat, bugar, produktif, dan berkualitas."
Manfaat rokok ke perekonomian, pemerintah "kecanduan" juga?
Industri rokok Indonesia merupakan salah satu penggerak perekonomian dalam negeri melalui pendapatan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp198,02 triliun pada 2022. Angka ini meningkat 4,9% dibandingkan pada tahun lalu yang sebesar Rp188,81 triliun.
Penerimaan dari CHT terpantau terus konsisten meningkat dalam 12 tahun terakhir secara keseluruhan, hanya mengalami penurunan sekali tahun 2016. Bahkan krisis kesehatan yang menyerang sistem pernafasan akibat pandemi covid-19 tahun 2020 tidak menghentikan kenaikan dari CHT.
Selain itu, peningkatan tahun 2022 disebabkan oleh adanya kenaikan tarif rata-rata tertimbang dan penindakan dalam mengatasi peredaran rokok ilegal. Tarif rata-rata tertimbang diketahui sebesar Rp679 per batang pada 2022.
Nilainya naik 10,7% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp614 per batang. Sementara, produksi hasil tembakau mengalami penurunan 1,9% secara tahunan hingga 14 Desember 2022. Ini lantaran adanya penurunan dari pabrikan golongan 1 dan juga golongan 2.
Ke depan, Kementerian Keuangan memutuskan untuk menaikkan tarif cukai sigaret rata-rata sebesar 10% pada 2023-2024. Kenaikan ini dilakukan untuk mendukung target penurunan prevalensi merokok anak.
Hal ini mengindikasikan bahwa ini terjadi antara dua faktor yaitu terdapat kenaikan konsumsi atau kenaikan dari tarif cukai. Tingginya pendapatan dari cukai dan nilai yang terus bertumbuh menggambarkan adanya "kecanduan" juga dari pemerintah untuk memperoleh pendapatan dari industri rokok.
Industri rokok juga menyumbang penerimaan negarai dari PPh dan PPN. HM Sampoerna dalam laporan tahunan 2021 menyebut mereka membayar pajak PPh badan senilai Rp 99,06 miliar pada 2021.
Sebelumnya, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengatakan 68% dari penjualan rokok akan kembali ke negara.
Rokok juga menyumbang Dana Bagi Hasil (DBH) bagi daerah produsen rokok.
Di luar penerimaan, industri rokok juga menghidupi jutaan warga Indonesia. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta pada 2019. Jumlah tersebut tersebar dari pekerja di sektor manufaktur dan distribusi sebanyak 4,28 juta serta 1,7 juta di sektor perkebunan.
Dampak Negatif Rokok
Namun, rokok juga menjadi salah satu penyebab tingginya biaya kesehatan di Indonesia.
Menurut Kementerian Kesehatan, berdasarkan hasil penjumlahan biaya tidak langsung dan biaya langsung (rawat jalan, rawat inap dan belanja rokok) maka total kerugian ekonomi makro akibat penggunaan tembakau pada 2017 mencapai Rp 531,8 triliun.
Total biaya medis untk rawat inap dan rawat jalan dari penyakit terkait merokok adalah sebesar Rp 4,82 triliun.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menyebut risiko keluarga perokok memiliki anak stunting 5,5% lebih tinggi dibanding keluarga non-perokok.
Rokok juga selalu menjadi salah satu faktor penyumbang angka kemiskinan. Selama bertahun-tahun, rokok selalu masuk dalam lima besar penyumbang kemiskinan. Data BPS menunjukkan rokok ada di peringkat kedua dalam daftar komoditas penyumbang kemiskinan dan hanya kalah dari beras pada Maret 2023.
![]() Penyumbang Kemiskinan |
.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mae)