
Runyam! Dendam Eropa ke RI Bisa Bikin Sengsara Dunia

- UE memiliki rangkaian kebijakan Uni Eropa yang dikemas dalam The European Green Deal (EGD), salah satunya melaui UU antideforestasi.
- Tampaknya 'dendam' Uni Eropa (UE) pada Indonesia tak berjalan semulus yang dibayangkan.
- Sebagian besar perusahaan kopi global tidak akan siap untuk mematuhi undang-undang baru Uni Eropa.
Jakarta, CNBC Indonesia - Tampaknya 'dendam' Uni Eropa (UE) pada Indonesia tak berjalan semulus yang dibayangkan. Sebagian besar perusahaan kopi global tidak akan siap untuk mematuhi undang-undang baru Uni Eropa yang melarang impor komoditas yang terkait dengan deforestasi.
Mereka menegaskan bahwa petani kecil tentu saja akan menderita sebagai konsekuensinya, demikian temuan sebuah laporan besar di sektor kopi.
Sebagaimana kita ketahui, belakangan ini Eropa tampak tak habis-habisnya menyerang komoditas andalan Indonesia dan ironisnya, beberapa komoditas andalan Tanah Air akan terkena dampak dari diterapkannya Undang-undang Anti-deforestasi tersebut. Salah satunya adalah kopi.
Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 lalu menyetujui Undang-Undang (UU) produk bebas deforestasi. Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan.
Ini merupakan bagian dari rangkaian kebijakan Uni Eropa yang dikemas dalam The European Green Deal (EGD). Dengan target mencapai netralitas karbon apa tahun 2050 dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 55% pada tahun 2030.
Undang-undang penting UE mulai berlaku pada akhir tahun 2024, mewajibkan importir komoditas seperti kopi, kakao, daging sapi, kedelai, karet, dan minyak sawit untuk membuat pernyataan uji tuntas yang membuktikan bahwa barang-barang mereka tidak berkontribusi terhadap kerusakan hutan, sumber utama perubahan iklim atau berisiko terkena denda yang besar.
Artinya, memang ada tujuh komoditas dan produk tertentu tertentu yang dibuat darinya2 agar "bebas deforestasi" agar dapat dijual di pasar UE atau diekspor darinya.
Ketujuh produk ini ditekankan syarat agar produk yang ditargetkan harus bebas deforestasi untuk dapat dijual di pasar UE atau diekspor darinya. Selain itu, barang yang relevan juga harus tercakup dalam pernyataan uji tuntas dan diproduksi sesuai dengan undang-undang setempat yang berlaku.
Perusahaan Kopi Tak Siap Dengan EUDR
Menurut Coffee Barometer yang diadakan setiap dua tahun sekali, yang disusun oleh sekelompok LSM, kurangnya kesiapan perusahaan kopi terhadap undang-undang ini mungkin akan mendorong mereka untuk mengalihkan sumbernya ke wilayah yang lebih maju seperti Brasil yang memiliki kemampuan penelusuran yang lebih baik.
Sehingga menyebabkan jutaan kopi yang sebagian besar berskala kecil berada dalam kemiskinan, bukan hanya itu petani dalam kesulitan jika undang-undang itu berlaku.
Laporan tersebut juga meminta Uni Eropa dan perusahaan-perusahaan kopi untuk memastikan hal ini tidak terjadi, terutama karena para petani yang putus asa mungkin terpaksa, dalam skenario seperti itu, melakukan ekspansi ke kawasan hutan guna meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan hidup.
Para petani ini kemudian akan menjual produk mereka ke daerah yang peraturan lingkungannya tidak terlalu ketat, sehingga menghilangkan dampak yang diharapkan dari undang-undang tersebut.
Deforestasi Jadi Sorotan Eropa: EUDR 'Senjatanya'
Deforestasi memang bertanggung jawab atas sekitar 10% emisi gas rumah kaca global yang mendorong perubahan iklim, dan undang-undang tersebut bertujuan untuk mengatasi kontribusi UE terhadap hal ini.
"Berinvestasi pada komunitas petani di lanskap yang rentan mungkin tampak berisiko, namun investasi ini penting untuk mengatasi akar penyebab deforestasi global," kata Niels Haak dari Conservation International, salah satu sponsor laporan tersebut yang dikutip dari Reuters.
Tapi perlu diketahui, kopi diproduksi oleh sekitar 12,5 juta petani di sekitar 70 negara, namun hanya 5 di antaranya yakni Brasil, Vietnam, Kolombia, Indonesia, dan Honduras yang menghasilkan 85% kopi dunia.
Sementara, 15% sisanya diproduksi oleh 9,6 juta petani atau dua pertiga dari total petani, di negara-negara seperti Ethiopia, Uganda, Tanzania, Kenya, Peru, Guatemala, Nikaragua, El Salvador, Kosta Rika, dan Meksiko.
Negara-negara ini memiliki "infrastruktur yang tidak memadai dan tingkat ketertelusuran yang rendah", demikian temuan laporan tersebut.
Laporan tersebut juga menunjukan, tanpa dukungan proaktif dari pembeli, petani kecil yang tidak memiliki organisasi dan sumber daya untuk menyediakan data yang diperlukan demi kepatuhan (terhadap hukum) akan menanggung dampak awal.
Unggulnya Kopi Indonesia
Kopi Indonesia 98% dari petani kopi. Dengan adanya UU ini menyebabkan ketidakpastian bagi petani atas penjualan produknya dan ini tentu menjadi masalah yang berat bagi petani kopi sendiri.
Para eksportir kopi di Indonesia kecewa dengan sikap Uni Eropa yang memberlakukan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) atau Undang Undang Anti Deforestasi. Kebijakan ini berdampak buruk terutama ke petani Indonesia.
Maka, dengan adanya UU Anti Deforestasi, Uni Eropa akan selektif mengimpor kopi dari Indonesia. Misalnya kopi Indonesia harus memiliki sertifikat khusus yang menegaskan bukan ditanam di lahan hutan.
Ini akan jadi masalah berat, apalagi tingkat pendidikan mereka tidak terlalu tinggi. Dengan adanya UU ini sertifikasi biaya siapa yang menanggung, ini menjadi masalah tidak mungkin ke petani kecil yang punya luas lahan tidak hampir 1 hektare dengan produksi 1 ton kopi robusta.
Untuk diketahui, kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas ekspor hasil perkebunan yang paling diminati di dunia.Ekspor kopi Indonesia ke mancanegara pada tahun 2022 mencapai US$ 1,15 miliar. Salah satu tujuannya yakni negara-negara di Eropa.
Dari sisi produksi, Melansir dari laporanStatistik Indonesia 2023dari Badan Pusat Statistik (BPS),produksi kopi Indonesia mencapai 794,8 ribu ton pada 2022, meningkat sekitar 1,1% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Volume produksi kopi nasional juga konsisten meningkat tiap tahun sejak 2020, seperti terlihat pada grafik. Pada 2022 Sumatra Selatan menjadi provinsi penghasil kopi terbesar, yakni 212,4 ribu ton atau 26,72% dari total produksi kopi nasional.Selanjutnya ada Lampung dengan produksi kopi 124,5 ribu ton, Sumatra Utara 87 ribu ton, dan Aceh 75,3 ribu ton.
Untuk itu, ekosistem kopi Indonesia bakal terganggu karena akan mengeluarkan biaya (cost) yang tidak sedikit. Untuk itu, para eksportir kopi Indonesia sepakat untuk mengirim kopi-kopi Indonesia tidak lagi ke Uni Eropa tetapi ke kawasan Timur Tengah.
Undang-undang deforestasi Uni Eropa telah menimbulkan banyak kekhawatiran di antara negara-negara produsen.
Tak heran, bahwa Indonesia menuduh UE melakukan 'imperialisme regulasi', sementara Malaysia mengatakan undang-undang tersebut merupakan "upaya yang disengaja" untuk meningkatkan biaya dan hambatan bagi sektor minyak sawit yang merupakan sumber utama pendapatan ekspor negara tersebut.
Sekitar 130.000 hektar hutan telah hilang setiap tahun selama 20 tahun terakhir karena pembukaan lahan untuk penanaman kopi ketika para petani yang sebagian besar masih berada pada atau di bawah garis kemiskinan berupaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, demikian temuan Coffee Barometer.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)