Macro Insight

Warga Malas Belanja & Pengangguran Jadi 'Bom Waktu' China

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
11 July 2023 13:47
Presiden China Xi Jinping berfoto saat bertemu dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman di Riyadh, Arab Saudi 8 Desember 2022.(Saudi Press Agency/Handout via REUTERS)
Foto: Presiden China Xi Jinping berfoto saat bertemu dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman di Riyadh, Arab Saudi 8 Desember 2022. (REUTERS/SAUDI PRESS AGENCY)
  • Pasca pandemi Covid-19 menghantam China, ekonominya tampak sulit kembali seperti semula.
  • Kesengsaraan ekonomi China tampak berlipat ganda dan Xi Jinping tidak memiliki solusi yang mudah.
  • Melemahnya ekonomi China menjadi perhatian besar dunia mengingat strategisnya peran China pada perekonomian global.

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Negeri Tirai Bambu belum juga menunjukan tanda-tanda pulih. Padahal banyak negara yang mengharapkan ekonomi negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping ini pulih untuk membantu mendorong pertumbuhan global.

Namun, harapan sepertinya masih angan belaka. Kondisi sangat berkebalikan, hingga pertengahan tahun 2023 ini China masih menghadapi berbagai masalah dari sisi ekonomi di mana belanja konsumen lesu, pasar properti dilanda krisis, ekspor lesu, rekor pengangguran kaum muda dan utang pemerintah daerah yang menjulang tinggi.

Dampak dari ketegangan ini mulai bergema di seluruh dunia dan mulai mempengaruhi segalanya mulai dari harga komoditas hingga pasar ekuitas. Risiko kenaikan suku bunga The Fed yang membawa AS mendekat lagi kepada jurang resesi.

Belanja Konsumen Lesu

Laju inflasi China turun ke level nol (year on year/yoy) pada Juni 2023. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya perlemahan permintaan dan menambah kekhawatiran bahwa ancaman deflasi di depan mata.

Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) tidak berubah pada Juni 2023 dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja. Data ini menunjukan bukti bahwa pemulihan ekonomi tengah kehilangan momentum.

Istilah Balance Sheet Recession memang dikeluarkan oleh Richard Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an.
Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.


Ekonomi China melesat pada kuartal I-2023 melebihi ekspektasi pasar. Ekonomi Tiongkok tumbuh 4,5% (yoy) pada tiga bulan pertama tahun ini. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar sebesar yang berada di angka 4% dan di atas kuartal IV-2023 yang tercatat 2,9% (yoy).

Secara kuartal, ekonomi China tumbuh 2,2% pada Januari-Maret 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan 0,6% pada kuartal sebelumnya.

Namun, pejabat pemerintah telah berulang kali memperingatkan tentang lingkungan eksternal yang "parah" dan "rumit" setelah meningkatnya risiko resesi bagi banyak mitra dagang utama China.

Krisis Properti

Sektor perumahan di China dalam dua tahun terakhir sudah mengalami krisis. Kasus gagal bayar utang Evergrande Group, developer properti terbesar kedua di China pun menyeruak 2021 lalu.

Banyak proyek menjadi terbengkalai akibat kehabisan dana, pembeli pun tak mau melanjutkan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Situasi kini memang sudah membaik setelah otoritas China mengambil langkah-langkah penyelamatan, tetapi masih jauh dari kata usai. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan China untuk berbuat lebih banyak menyikapi situasi ini.

"Langkah-langkah kebijakan terbaru pihak berwenang disambut baik, tetapi dalam pandangan kami tindakan tambahan akan diperlukan untuk mengakhiri krisis real estate," kata Thomas Helbling, wakil direktur di Departemen Asia Pasifik IMF.

Ekspor-Impor Tertekan

Impor China mengalami kontraksi tajam pada Mei sementara ekspor naik dengan kecepatan yang lebih lambat. Artinya, ini semakin memperkuat tanda-tanda lemahnya permintaan domestik.

Ekspor China merosot 7,5% (yoy) pada Mei 2023. Hal ini terjadi ketika produsen Negeri Tirai Bambu berjuang untuk menemukan permintaan di luar negeri sementara konsumsi domestik tetap lesu.

Ekspor dari ekonomi terbesar kedua di dunia turun 7,5% tahun ke tahun di bulan Mei, penurunan terbesar sejak Januari dan berayun dari pertumbuhan 8,5% di bulan April. Impor berkontraksi dengan kecepatan yang lebih lambat, turun 4,5%, laju penurunan yang lebih lambat 7,9% dari bulan sebelumnya.

Angka tersebut jauh lebih besar dari jajak pendapat yang dilaporkan Reuters sebelumnya. Dalam jajak itu, para ekonom memperkirakan penurunan ekspor 0,4% jauh lebih kecil dan penurunan impor 8,0%.

Kinerja ekspor yang buruk mencerminkan permintaan yang lemah untuk barang-barang China. Kinerja impor Negeri Tirai Bambu pun ikut melemah, mengingat China membawa suku cadang dan bahan dari luar negeri untuk merakit hingga menjadi produk jadi untuk diekspor.

Rekor Pengangguran Kaum Muda

Pengangguran kaum muda di China meningkat ke rekor tertinggi, lulusan perguruan tinggi terjebak dalam badai yang sempurna dengan beberapa dipaksa untuk mengambil pekerjaan bergaji rendah atau menetap untuk pekerjaan di bawah tingkat keahlian mereka.

Data resmi menunjukkan pengangguran perkotaan di antara usia 16 sampai 24 tahun di China mencapai rekor 20,4% pada April 2023. Sekitar empat kali tingkat pengangguran yang lebih luas bahkan ketika jutaan lebih mahasiswa diharapkan lulus tahun ini.

Perluasan pendidikan perguruan tinggi pada akhir 1990-an menciptakan gelombang besar lulusan perguruan tinggi, tetapi ada ketidakselarasan antara permintaan dan pasokan pekerja berketerampilan tinggi. Perekonomian belum menyusul.

Momok setengah pengangguran adalah masalah lain yang harus dihadapi oleh kaum muda dan pembuat kebijakan China.
Dalam sebuah makalah yang ditulis Lu bersama Xiaogang Li, seorang profesor di Universitas Xi'an Jiaotong, para profesor memperkirakan setidaknya seperempat lulusan perguruan tinggi di China menganggur, di atas meningkatnya tingkat pengangguran kaum muda.

Data Biro Statistik China menunjukkan bahwa 6 juta dari 96 juta usia 16 hingga 24 tahun dalam angkatan kerja perkotaan saat ini menganggur.
Dari angka tersebut, Goldman Sachs memperkirakan saat ini terdapat 3 juta lebih pemuda perkotaan yang menganggur dibanding periode sebelum pandemi Covid-19.

Ini kemungkinan akan membuatnya lebih mendesak bagi pemerintah China untuk bertindak.
Pada bulan April,Dewan Negara China mengumumkan 15 poin rencana yang bertujuan untuk mencocokkan pekerjaan dengan pencari kerja muda secara lebih optimal.

Ini termasuk dukungan untuk pelatihan keterampilan dan magang, janji untuk satu kali perluasan perekrutan di perusahaan milik negara dan dukungan untuk ambisi wirausaha lulusan perguruan tinggi dan pekerja migran.

Utang Pemerintah Daerah

Utang pemerintah daerah (Pemda) yang menjadi sorotan. Jumlah utang tersebut dikabarkan menembus US$ 15,3 triliun atau hampir Rp 230.000 triliun. Bahkan, menurut estimasi Goldman Sachs nilainya mencapai US$ 23 triliun.

Dengan kondisi itu, tentunya perlu melakukan penghematan, mengurangi belanja dengan konsekuensi menurunya produk domestik bruto daerah. Kota Hegang di provinsi Heilongjiang misalnya, pada 2021 harus melakukan restrukturisasi karena utang yang dua kali lipat besarnya ketimbang pendapatan fiskal.

Sektor Manufaktur Belum Pulih

Sektor manufaktur China mengalami kontraksi yang cukup dalam. Artinya pabrik-pabrik mengalami penurunan aktivitas, misalnya produksi menurun. Dampaknya ke tenaga kerja, bukannya merekrut malah bisa jadi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Hal ini terlihat dari purchasing managers' index (PMI) China Juni mencapai 49,0 dibandingkan dengan 48,8 di bulan Mei. Sementara, Indeks manajer pembelian manufaktur Caixin/S&P Global turun menjadi 50,5 di bulan Juni dari 50,9 di bulan Mei. Angka ini sedikit lebih tinggi dari perkiraan ekonom Reuters yang memperkirakan pembacaan mencapai 50,2 untuk Juni.

Untuk diketahui, angka 50 poin memisahkan ekspansi dari kontraksi.

Banyak data ekonomi baru-baru ini menunjukkan bahwa pemulihan China belum menemukan pijakan yang stabil, karena masalah utama termasuk kurangnya pendorong pertumbuhan internal, permintaan yang lemah, dan prospek yang meredup tetap ada.

Masalah yang tercermin dalam PMI manufaktur Caixin China pada periode ini mulai dari pasar kerja yang semakin suram hingga meningkatnya tekanan deflasi dan memudarnya optimisme, juga menunjukkan kesimpulan yang sama.

Xi Jinping Dinilai Belum Punya Kebijakan yang Tepat

Lebih buruk lagi, pemerintahan Presiden Xi Jinping tidak memiliki pilihan bagus untuk memperbaiki keadaan. Pedoman khas Beijing dalam menggunakan stimulus skala besar untuk meningkatkan permintaan telah menyebabkan kelebihan pasokan besar-besaran di properti dan industri, dan melonjaknya tingkat utang di antara pemerintah daerah. Itu memicu diskusi tentang apakah China sedang menuju malaise gaya Jepang setelah 30 tahun pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Peneliti dari Japan Institute of International Affairs, Toshiya Tsugami sebagaimana dilansir Think China memperlihatkan kesamaan dari aset riil yang mengalami bubble. China sebelumnya mengatakan kapitalisasi pasar real estate akan mencapai US$ 65 triliun, lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Eropa bahkan saat keduanya digabungkan.

Tsugami Jepang juga merasakan hal yang sama 30 tahun lalu. Bubble aset di Jepang menjadi yang pada akhirnya "meledak" pada awal 1990 menjadi tanda lost decade Jepang.

Tim analis dari Citigroup juga mengungkapkan hal yang sama persis dengan Tsugami. Financial Times pada akhir Februari lalu melaporkan tim dari Citigroup tersebut melihat China sekarang "sangat mirip" dengan Jepang pasca era properti bubble.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation