Economic Update

Chatib Basri: AS Suram, Eropa Sakit, China Simpan 'Bom Waktu'

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
10 July 2023 08:00
M. Chatib Basri, Presiden Commisioner PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dalam acara BSI Global Islamic Finance Summit 2023 hari ke 2 pada (16/2/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: M. Chatib Basri, Presiden Commisioner PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dalam acara BSI Global Islamic Finance Summit 2023 hari ke 2 pada (16/2/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki paruh kedua tahun 2023, perkembangan ekonomi dunia diperkirakan membaik dibandingkan masa pandemi lalu. Namun, ketidakpastian masih membayangi akibat tren kenaikan suku bunga, kondisi geopolitik serta perang yang masih berkecamuk.

Bank Dunia, IMF dan OECD pun kompak memberikan sinyal pemulihan ekonomi global yang masih panjang. Bahkan, Bank Dunia mengunakan kata 'genting' untuk mendeskripsikan kondisi global saat ini.

"Jadi perekonomian dunia berada dalam posisi genting," kata Indermit Gill, Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia.

IMF memperkirakan perekonomian global melambat dari 3,4% pada 2022 menjadi 2,8% pada 2023. proyeksi ini turun 0,1 poin persentase/pp dibanding proyeksi Januari, meski selanjutnya membaik ke level 3,0% di 2024 atau turun 0,1 percentage point (pp) dari perkiraan Januari.

IMF menganggap gejolak sektor keuangan di Amerika Serikat dan Eropa serta tekanan inflasi yang persisten tinggi menyebabkan momentum penguatan pemulihan yang sempat terjadi di awal tahun kini meredup, membuat prospek pertumbuhan lebih rendah.

Ekonom Senior sekaligus mantan Menteri Keuangan era Presiden SBY, Chatib Basri sepemahaman dengan tiga lembaga di atas. Dia melihat adanya pelambatan global, tetapi hal ini tidak bergeser hingga ke zona negatif.

"Sekarang proyeksi global growth menurut IMF dan World Bank, dia tapi gak negatif. Dalam kondisi itu, masa iya lebih rendah dari global financial crisis," ungkap Chatib dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/7/2023).

Kendati demikian, untuk Amerika Serikat (AS), Chatib melihat potensi resesi masih ada. Namun, kondisi ini tidak akan memberikan dampak signifikan. Dia mengungkapkan ada dua faktor yang membayangi ekonomi AS. Pertama adalah pasar tenaga kerja atau labour market.

"Jadi potensi dari (resesi) itu masih ada, karena labour market di US masih strong. Kalau labour market masih strong, bukan tidak mungkin the Fed masih akan menaikkan bunga," kata Chatib.

Patut diwaspadai, lanjut Chatib, AS tengah mengalami fenomena beveridge curve. Kurva ini mencerminkan hubungan negatif antara lowongan dan pengangguran.

"Intinya, kurva ini menunjukkan umployment rate dengan job vacancies, lowongan pekerjaan dengan tingkat pengangguran terbuka. Mestinya kalau tingkat pengangguran sudah sangat rendah, berarti semua orang kerja dong?" ujarnya.

Namun yang terjadi di AS sekarang, tingkat pengangguran rendah, job vacancy tinggi. Artinya semua orang sudah kerja, masih lowong aja kerjaan.

Menurut Chatib, masalahnya ada di sisi pasokan atau supply. Hal ini disebabkan oleh orang-orang yang tidak balik ke pasar tenaga kerja setelah Covid.

"Mungkin migrant workers di Meksiko atau orang-orang Asia yang kena Covid itu pulang dan gak balik atau pindah state, dia gak balik ke pasar kerja," ungkap Komisaris Utama Bank Mandiri tersebut.

Terbukti, hubungan historis antara pengangguran dan inflasi yang digambarkan dalam Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU) menunjukkan posisi AS berada di kisaran 3,7%. Idealnya angka ini berada di kisaran 5%. Jika di bawah 5%, berarti masyarakat tidak mau bekerja, tetapi dipaksa bekerja.

"Artinya kalau dia di pasar kerja dia harus dikasih upah tinggi, sekarang tingkat pengangguran di AS 3,7% berarti di bawah 5%. Larry summers katakan kalau mau inflasi normal, tingkat pengangguran di atas 5, jadi tingkat upah turun," papar Chatib.

Kedua, efek dari geopolitik pasti akan mempengaruhi ekonomi AS. Jika China melambat dan ada disrupsi supply chain, maka hal ini ikut menekan AS.

Dari sisi perbankan, dia melihat upaya The Fed dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) cukup cepat dalam mengatasi guncangan di sektor ini, setelah kolapsnya SVB dan beberapa bank AS lainnya.

"Jadi apakah persoalannya sudah beres, sejauh ini iya. Tapi kita gak pernah tahu. Mereka gak pernah monitro, apakah ada svb lain. Kecauali the Fed dengan pengawasannya. Regulatornya memonitor semua baru, kita bisa merasa yakin," ujarnya.

Di sisi Eropa, Chatib menilai pemulihan Eropa belum sebaik AS. Hal ini disebabkan oleh dampak geopolitik. Jika ekonomi Benua Biru belum terlalu sembuh, maka dia mengkhawatir serangan baru dari sisi apapun terhadap ekonomi Eropa bisa berdampak lebih buruk, dibandingkan negara yang sehat.

Menurut Chatib, inflasi di Eropa lebih disebabkan oleh kebijakan Quantitative Easing (QE). QE adalah kebijakan moneter non-konvensional yang dikeluarkan bank sentral untuk meningkatkan uang beredar dengan membeli sejumlah aset atau surat berharga dari bank dan perusahaan.

"Di Eropa problemnya dalam situasi kayak gitu inflasi naik gara-gara QE besar, karena supply problem dan inflasi naik diatasi dengan kenaikan bunga dan dropnya ekonominya," ujarnya.

Di sisi lain, dia menilai sejumlah kerusuhan di Prancis dan Swiss beberapa waktu lalu akan berdampak, tapi tidak akan besar bagi ekonominya dan keseluruhan Eropa.

'Bom Waktu' China

Risiko yang patut diwaspadai adalah China. Chatib menilai China memiliki pengaruh besar kepada ekonomi dunia, termasuk ke Indonesia. Bahkan, setiap 1% perlambatan di China akan menekan PDB Indonesia sebesar 0,3%-0,5%. Hal ini dimungkinkan karena China adalah pembeli komoditas terbesar Indonesia.

"Makanya saya bilang dari skenario saya, kalau US dan Eropa kena, dan China kena, Asean kena," ujar Chatib. Dengan pola rambatan ini, dia mengungkapkan semakin Indonesia terintegrasi dan global supply chain, maka semakin sulit recovery Indonesia.

"Jadi kalau kita mau tidak pernah kalah dalam 'piala dunia' yang jangan ikut, tapi kalau enggak ikut, ya less integrated. Ketika global recover, recover ke Indonesia akan lambat," katanya.

Namun, dia yakin Indonesia tidak akan sampai tenggelam dalam resesi. Di balik China, lanjutnya, perbankan negara ini menjadi bom waktu. Ada beberapa hal yang tidak pernah masyarakat dunia ketahui soal perbankan di China, termasuk shadow banking, struktur perbankan, struktur BUMN dan pembiayaannya. Terlebih lagi, China banyak menyalurkan utang kepada negara-negara Asia dan Afrika Selatan melalui Belt Road Initiative (BRI).

"Jadi faktor-faktor di stabilitas keuangan ini selalu jadi pertanyaan, dan saya gak bisa jawab itu karena kita gak tahu...Tapi saya melihat memang situasi di China itu menunjukkan ekonominya sulit sekarang," tegas Chatib.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada! Perlambatan Ekonomi Global Bisa Panjang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular