Polling CNBC Indonesia

Inflasi Mei Diramal Turun Tapi Ada yang Bikin Deg-Degan

mae, CNBC Indonesia
31 May 2023 10:42
Pantauan Harga Sembako H+5 Lebaran di Pasar Tebet Timur, Jakarta Selatan. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
Foto: Pantauan Harga Sembako H+5 Lebaran di Pasar Tebet Timur, Jakarta Selatan. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
  • Inflasi diperkirakan melandai pada Mei baik secara bulanan ataupun tahunan
  • Melandainya inflasi karena bahan pangan yang melemah
  • Inflasi tahunan melandai karena melemahnya dampak kenaikan harga BBM

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia diproyeksi melandai sejalan dengan melemahnya permintaan usai Ramadan dan Lebaran. Namun, ada beberapa komoditas pangan yang harganya tetap melambung usai Lebaran.

Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi Mei pada Senin (5/6/2023).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Mei 2023 akan menembus 0,29% dibandingkan bulan sebelumnya (monh to month/mtm).

Inflasi akan lebih tinggi dibandingkan pada April 2023 yang tercatat 0,33%.

Hasil polling juga memperkirakan inflasi (year on year/yoy) akan menembus 4,20% pada Mei. Inflasi tersebut lebih rendah dibandingkan pada April yang tercatat 4,33%.



Jika inflasi melandai ke 4,20% maka itu akan menjadi yang terendah sejak Mei 2022 atau setahun terakhir.  Secara tahunan, inflasi akan melandai karena semakin berkurangnya dampak kenaikan harga BBM pada September tahun lalu.

Sementara itu, inflasi inti diperkirakan melandai menjadi 2,8% (yoy pada Mei dari 2,83% (yoy) pada April 2023.

Sementara itu, inflasi Mei akan melandai sejalan dengan pola musimannya di mana harga barang biasanya akan terjun setelah Lebaran. Bahkan, tak jarang jika satu bulan setelah Lebaran biasanya terjadi deflasi. Sebagai catatan, Hari Raya Idul Fitri tahun ini jatuh pada 21/22 April. 

Secara historis, inflasi pada Mei (mtm) biasanya meningkat setelah melandai pada April. Dalam lima tahun terakhir, inflasi Mei (mtm) mencapai 0,34%.

Namun, dengan momen Ramadan dan Lebaran sudah berlalu maka permintaan biasanya melandai. Pengecualian terjadi pada tahun lalu karena krisis minyak goreng.

Pada 2022, misalnya, inflasi pada periode Lebaran yakni pada Mei tercatat 0,32% tetapi pada bulan berikutnya terjadi deflasi. Pada pra pandemi 2019, inflasi pada periode Lebaran pada Juni tercatat 0,55% tetapi melandai menjadi 0,31% pada Juni.

Ekonom Bank Maybank Juniman mengatakan inflasi melandai karena harga barang akan kembali normal setelah melonjak pada periode Lebaran.

"Harga barang dan jasa akan turun, terutama tarif angkutan udara dan antar kota. Harga bahan makanan juga akan melandai seperti bawang dan sayur mayur," tutur Juniman, kepada CNBC Indonesia.

Harga Telur Ayam Melejit

 Juniman mengingatkan jika ada beberapa bahan pangan yang harganya tetap naik setelah Lebaran. Di antaranya adalah telur, daging ayam dan daging.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menunjukkan bahan pokok yang mengalami lonjakan harga adalah daging ayam dan telur ayam.

Rata-rata harga daging ayam naik 6,6% menjadi Rp 37.331 pada Mei 2023 sementara harga telur ayam melonjak 3,7% menjadi Rp 30.939/kg. Pada Selasa (30/5/2023), harga daging ayam bahkan menembus Rp 38.450/kg sementara harga telur ayam tercatat Rp 32.000/kg.




Senada, ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution juga menjelaskan sebagian besar harga bahan pangan akan kembali normal sehingga inflasi akan melandai.

Namun, ada beberapa komoditas pangan yang naik seperti bawang merah dan bawang putih karena terbatasnya pasokan dari distributor.

"Harga pakaian, jasa angkutan dan akomodasi dan lain-lain juga mulai menurun ke tingkat normalnya seiring dengan permintaan yang melemah pasca Idul Fitri," ujar Damhuri, kepada CNBC Indonesia.

Presiden Peternak Layer Indonesia Ki Musbar Mesdi menyebut kenaikan harga telur ayam khususnya di Indonesia Timur terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya permintaan yang meningkat namun ketersediaan terbatas, biaya transportasi yang juga mengalami kenaikan, serta kebijakan dari masing-masing kepala daerah yang membatasi komoditas telur masuk ke daerahnya.

"Memang demand-nya sedang tinggi, juga faktor transportasi, dan karena kebijakan kepala daerah yang menyebabkan harga di situ menjadi tetap tinggi dari dulu sampai sekarang. Jadi tiga poin inilah yang menjadi masalah," kata Ki Musbar kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/5/2023).

Dia menjelaskan, tingginya permintaan disebabkan karena marak proses pendaftaran calon-calon legislatif. Ini membuat kebutuhan telur meningkat.

"Tapi dalam kondisi serapan tinggi, ini otomatis ke daerah-daerah yang di luar Jawa ini menjadi tinggi," lanjutnya.

Namun yang menjadi masalah adalah kebijakan dari masing-masing kepala daerah yang membatasi agen besar masuk ke daerah itu. Padahal harga dari agen besar cenderung lebih terjaga atau stabil.



CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation