Newsletter

Dunia Tunggu Titah The Fed, RI Bakal Pesta Pora atau Merana?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
20 March 2023 05:40
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • IHSG merana tetapi rupiah perkasa karena adanya krisis perbankan di Amerika Serikat sepanjang pekan lalu
  • Wall Street pun terimbas krisis perbankan pada pekan lalu
  • Fokus pasar pada hari ini yakni bank sentral China, sedangkan pekan ini pasar berfokus pada keputusan suku bunga The Fed

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu cenderung bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau terkoreksi, sedangkan rupiah terpantau menguat, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah RI terpantau menurun.

IHSG diharapkan akan membaik hari ini meskipun masih banyak sentimen negatif yang bisa menekan pasar. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG sepanjang pekan lalu tercatat ambles 1,29% secara point-to-point (ptp). Namun pada perdagangan Jumat (17/3/2023) pekan lalu, IHSG ditutup melonjak 1,71% di posisi 6,678,237.

Data pasar menunjukkan investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih hingga mencapai Rp 2,72 triliun di pasar reguler sepanjang pekan lalu.

Sedangkan untuk rupiah, sepanjang pekan lalu menguat 0,68% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp). Pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup di Rp 15.340/US$, menguat 0,23% dari posisi hari sebelumnya.

Sementara di pasar obligasi pemerintah RI atau surat berharga negara (SBN), harganya terpantau menguat dan yield-nya mengalami penurunan sepanjang pekan lalu, menandakan bahwa investor cenderung memburunya.

Mengacu pada data Refinitiv, SBN bertenor 10 yang merupakan SBN acuan turun 0,9 basis poin (bp) menjadi 6,953% per Jumat pekan lalu, dari sebelumnya pada Jumat pekan sebelumnya di level 6,962%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

IHSG yang ambles, rupiah yang perkasa, dan yield SBN yang melandai terjadi berkaitan dengan kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) yang dimulai pada Jumat pekan lalu dan berimbas ke beberapa bank di Amerika Serikat (AS) dan bahkan berimbas ke salah satu bank di Swiss.

Pasar khawatir bahwa fenomena krisis yang pernah terjadi di 2008-2009 kembali terulang di tahun ini. Hal ini karena krisis SVB berimbas ke beberapa bank hanya dalam kurun waktu sehari saja, bahkan dalam hitungan jam.

Krisis SVB berimbas ke bank-bank AS lainnya seperti Signature Bank, Silvergate Bank, dan yang paling anyar yakni First Republic Bank. Bahkan tidak hanya di AS saja, salah satu bank di Swiss yakni Credit Suisse juga terdampak.

Bahkan, beberapa data ekonomi yang rilis pun tampaknya masih belum bisa menyelamatkan IHSG dari keterpurukan dalam minggu ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu lalu mencatat, neraca perdagangan Indonesia tetap mengalami surplus pada Februari 2023. Surplus tercatat sebesar US$5,48 miliar. Surplus ini disebabkan ekspor yang lebih tinggi yakni US$ 21.40 miliar, sementara itu impor hanya US$ 15,92 miliar.

Surplus tersebut tercatat lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya sebesar US$ 3,87 miliar.

Angka surplus ini berada di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga. Konsensus ekonom memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Februari 2023 sebesar US$ 3,2 miliar.

Surplus Februari ini sekaligus memantapkan rekor surplus 34 bulan beruntun sejak Mei 2021.

Selain itu, ada kabar baik lainnya, di mana Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan ini seiring dengan kebijakan moneter netral yang bertujuan untuk mencapai target inflasi 2%-4% pada September tahun ini sambil mendukung pertumbuhan ekonomi.

Meskipun inflasi tahunan meningkat menjadi 5,47% pada bulan Februari, BI tetap mempertahankan pandangan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4,5%-5,3% untuk tahun ini.

Setelah krisis perbankan di AS, pelaku pasar global memperkirakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal melunak, meski data tenaga kerja di AS masih cukup kuat.

Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 62% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin pada pekan depan. Sementara 38% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.

Ekspektasi tersebut berbalik dengan cepat pasca kolapsnya SVB, sebelumnya pasar yakin The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pekan lalu.

Beralih ke AS, mayoritas bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau cerah bergairah, meski volatilitasnya cukup tinggi pekan lalu.

Secara point-to-point pada pekan lalu, hanya indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) yang terkoreksi 0,15%. Sedangkan indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite terpantau masih cerah. S&P 500 melesat 1,43% dan Nasdaq melejit 4,41%.

Sedangkan pada perdagangan Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones ditutup ambles 1,19% ke 31.861,98, S&P 500 merosot 1,1% ke 3.916,6, dan Nasdaq terkoreksi 0,74% menjadi 11.630,51.

Saham perbankan di AS menjadi sorotan investor sepanjang pekan lalu, di tengah kekhawatiran bahwa bank-bank lainnya dapat menghadapi nasib yang sama seperti Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank, yang keduanya mengalami krisis pada pekan lalu.

Terbaru, SVB Financial Group mengumumkan akan mencari perlindungan kebangkrutan Bab 11, perkembangan terbaru dalam drama yang sedang berlangsung yang dimulai dua pekan lalu.

"(Aksi jual) sedikit reaksi berlebihan. Namun, ada validitas untuk beberapa kekhawatiran terkait likuiditas secara keseluruhan dan potensi krisis likuiditas," kata Oliver Pursche, senior vice president di Wealthspire Advisors di New York, dikutip dari Reuters.

Sementara itu, saham First Republic Bank anjlok 32,8%, setelah bank mengumumkan penangguhan dividennya, membalikkan lonjakan perdagangan Kamis lalu yang dipicu oleh paket penyelamatan sebesar US$ 30 miliar yang belum pernah terjadi sebelumnya dari lembaga keuangan besar

Pasar telah menanggapi perkembangan terbaru di sektor ini setelah regulator mengatakan pada akhir pekan bahwa mereka akan mendukung simpanan di kedua bank tersebut.

Namun, investor kembali mundur pada Jumat lalu, menjelang apa yang berpotensi menjadi akhir pekan yang penting karena krisis bank berlangsung.

"Ada kegugupan di akhir pekan. Bagaimana semua ini terlihat pada Senin? Pasar masih gugup dan mereka cenderung masih menahan saham ke dalamnya," kata Keith Buchanan, manajer portofolio senior di Globalt Investments, dilansir dari CNBC International.

Hal ini terjadi pada saat investor menantikan pertemuan The Fed yang akan digelar pada 21-22 Maret. Pertanyaan di benak para investor adalah apakah The Fed akan melanjutkan dengan kenaikan 25 basis poin yang diharapkan bahkan ketika kesengsaraan perbankan menghancurkan pasar.

"The Fed tampaknya memberikan basa-basi, setidaknya, dan menyadari apa yang baru saja terjadi dengan sektor perbankan. Di satu sisi, tidak ada yang berubah tentang kasus dasar, hanya fakta bahwa kita telah mengalami peristiwa semacam ini di sektor perbankan yang menyebabkan penularan dalam hal sentimen, tetapi belum benar-benar menular dalam hal bank lain," kata Aoifinn Devitt, kepala investasi di Moneta, dikutip dari CNBC International.

Kini, pasar berekspektasi bahwa The Fed bakal melunak setelah adanya krisis perbankan di AS, meski data tenaga kerja di AS masih cukup kuat.

Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 62% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin pada pekan depan. Sementara 38% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.

Sebelum memulai perdagangan hari ini hingga beberapa hari ke depan di pekan ini, investor sebaiknya mencermati beberapa agenda ekonomi dari dalam negeri, maupun luar negeri.

Untuk pada hari ini, sentimen terkait krisis perbankan di AS masih akan menjadi perhatian pasar. Mereka akan memantau apakah kasus First Republic Bank menjadi yang terakhir atau bakal ada 'korban' baru lagi.

Saat ini, sikap investor di global masih cenderung berubah-ubah seiring adanya krisis perbankan global yang dipicu oleh krisis SVB.

Memang ada kabar baik yakni di mana 11 bank di AS berniat untuk membantu First Republic Bank agar dampak dari krisis tidak semakin meluas.

Namun,  hal tersebut juga masih dikhawatirkan oleh pasar karena krisis perbankan di AS cenderung belum berakhir sehingga volatilitas pasar pada pekan depan masih cenderung cukup tinggi.

Selain itu, perhatian utama pelaku pasar pada pekan depan tertuju pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) The Fed, yang akan berlangsung pada Selasa hingga Rabu waktu setempat (21-22/3/2023).

Hasilnya akan diumumkan pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuannya pekan depan. Tetapi kenaikannnya diperkirakan mencapai 25 bp, di mana pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 62% The Fed menaikkan sebesar 25 bp. Sementara 38% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.

Optimisme pasar tersebut melihat dari inflasi AS yang kembali melandai menjadi 6% pada Februari lalu. Selain itu, kondisi perbankan di AS yang juga masih belum stabil juga menjadi landasan bahwa The Fed makin melunak.

Tetapi, The Fed juga mempertimbangkan kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih cukup kuat, sehingga hal ini akan dipantau oleh pelaku pasar bagaimana sikap The Fed merespons gejolak perbankan di AS, sembari melihat data tenaga kerja yang masih cukup kuat.

Dampak dari kebijakan moneter The Fed yang sangat ketat memicu kekhawatiran pasar akan potensi melambatnya ekonomi AS di tengah gejolak pasar.

Sementara itu pada hari ini, pasar juga akan memantau rilis data ekonomi penting di China, yakni juga terkait keputusan suku bunga acuan.

Bank sentral China (People Bank of China/PBoC) diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga acuannya. Untuk suku bunga acuan tenor 1 tahun diperkirakan masih akan ditahan di level 3,65%, sedangkan untuk suku bunga acuan tenor 5 tahun diprediksi akan ditahan di 4,3%.

Selain itu, pasar juga akan mendengarkan pidato dari Presiden bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) Christine Lagarde, setelah pada Kamis lalu kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin.

Pelaku pasar cenderung meragukan langkah ECB menaikkan suku bunganya kembali, di tengah adanya krisis perbankan global yang dikhawatirkan masih akan meluas.

Kenaikan tajam pada suku bunga acuan global telah menyebabkan jatuhnya harga obligasi, yang sebagian besar dimiliki oleh bank. Selain itu, biaya pinjaman yang lebih tinggi telah membebani keuntungan bank.

Sementara itu di dalam negeri pada hari ini, tepatnya pada pagi hari,  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XI akan menggelar fit and proper test calon Gubernur BI, Perry Warjiyo.

Perry merupakan calon tunggal Gubernur BI yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perry akan membeberkan visi dan misinya ke depan, termasuk rencana dalam menjaga inflasi, menjaga stabilitas nilai tukar, dan kebijakan moneter ke depan.

DPR akan menggelar fit and proper test pada pukul 10:00-12:00 WIB dan diperkirakan sudah mengambil keputusan akhir pada pukul 14:00 WIB.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Keputusan suku bunga acuan bank sentral China (08:15 WIB),
  2. Fit and proper test calon Gubernur BI Perry Warjiyo oleh DPR Komisi XI (10:00 WIB)
  3. Pengumuman resmi mengenai bantuan pemerintah untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (17:00 WIB) 
  4. Rilis data neraca perdagangan Uni Eropa periode Januari 2023 (17:00 WIB)
  5. Pidato Presiden bank sentral Eropa Christine Lagarde (21:00 WIB).

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Tahunan PT Fajar Surya Wisesa Tbk (10:030 WIB),

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY)

5,01%

Inflasi (Februari 2023 YoY)

5,47%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2023)

5,75%

Surplus Anggaran (APBN Januari 2023)

0,43% PDB)

Surplus Transaksi Berjalan (Q4-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY)

US$ 4,7 miliar

Cadangan Devisa (Februari 2023)

US$ 140,3 miliar

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular