Newsletter
Dunia Tunggu Titah The Fed, RI Bakal Pesta Pora atau Merana?

- IHSG merana tetapi rupiah perkasa karena adanya krisis perbankan di Amerika Serikat sepanjang pekan lalu
- Wall Street pun terimbas krisis perbankan pada pekan lalu
- Fokus pasar pada hari ini yakni bank sentral China, sedangkan pekan ini pasar berfokus pada keputusan suku bunga The Fed
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu cenderung bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau terkoreksi, sedangkan rupiah terpantau menguat, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah RI terpantau menurun.
IHSG diharapkan akan membaik hari ini meskipun masih banyak sentimen negatif yang bisa menekan pasar. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG sepanjang pekan lalu tercatat ambles 1,29% secara point-to-point (ptp). Namun pada perdagangan Jumat (17/3/2023) pekan lalu, IHSG ditutup melonjak 1,71% di posisi 6,678,237.
Data pasar menunjukkan investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih hingga mencapai Rp 2,72 triliun di pasar reguler sepanjang pekan lalu.
Sedangkan untuk rupiah, sepanjang pekan lalu menguat 0,68% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp). Pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup di Rp 15.340/US$, menguat 0,23% dari posisi hari sebelumnya.
Sementara di pasar obligasi pemerintah RI atau surat berharga negara (SBN), harganya terpantau menguat dan yield-nya mengalami penurunan sepanjang pekan lalu, menandakan bahwa investor cenderung memburunya.
Mengacu pada data Refinitiv, SBN bertenor 10 yang merupakan SBN acuan turun 0,9 basis poin (bp) menjadi 6,953% per Jumat pekan lalu, dari sebelumnya pada Jumat pekan sebelumnya di level 6,962%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
IHSG yang ambles, rupiah yang perkasa, dan yield SBN yang melandai terjadi berkaitan dengan kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) yang dimulai pada Jumat pekan lalu dan berimbas ke beberapa bank di Amerika Serikat (AS) dan bahkan berimbas ke salah satu bank di Swiss.
Pasar khawatir bahwa fenomena krisis yang pernah terjadi di 2008-2009 kembali terulang di tahun ini. Hal ini karena krisis SVB berimbas ke beberapa bank hanya dalam kurun waktu sehari saja, bahkan dalam hitungan jam.
Krisis SVB berimbas ke bank-bank AS lainnya seperti Signature Bank, Silvergate Bank, dan yang paling anyar yakni First Republic Bank. Bahkan tidak hanya di AS saja, salah satu bank di Swiss yakni Credit Suisse juga terdampak.
Bahkan, beberapa data ekonomi yang rilis pun tampaknya masih belum bisa menyelamatkan IHSG dari keterpurukan dalam minggu ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu lalu mencatat, neraca perdagangan Indonesia tetap mengalami surplus pada Februari 2023. Surplus tercatat sebesar US$5,48 miliar. Surplus ini disebabkan ekspor yang lebih tinggi yakni US$ 21.40 miliar, sementara itu impor hanya US$ 15,92 miliar.
Surplus tersebut tercatat lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya sebesar US$ 3,87 miliar.
Angka surplus ini berada di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga. Konsensus ekonom memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Februari 2023 sebesar US$ 3,2 miliar.
Surplus Februari ini sekaligus memantapkan rekor surplus 34 bulan beruntun sejak Mei 2021.
Selain itu, ada kabar baik lainnya, di mana Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan ini seiring dengan kebijakan moneter netral yang bertujuan untuk mencapai target inflasi 2%-4% pada September tahun ini sambil mendukung pertumbuhan ekonomi.
Meskipun inflasi tahunan meningkat menjadi 5,47% pada bulan Februari, BI tetap mempertahankan pandangan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4,5%-5,3% untuk tahun ini.
Setelah krisis perbankan di AS, pelaku pasar global memperkirakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal melunak, meski data tenaga kerja di AS masih cukup kuat.
Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 62% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin pada pekan depan. Sementara 38% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.
Ekspektasi tersebut berbalik dengan cepat pasca kolapsnya SVB, sebelumnya pasar yakin The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pekan lalu.