Newsletter

Isu Hari Ini: PHK, Inflasi dan Reshuffle Kabinet Jokowi!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
01 February 2023 06:35
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terpantau terkoreksi pada perdagangan Selasa (31/1/2023) kemarin, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah melemah, tetapi harga Surat Berharga Negara (SBN) terpantau bervariasi.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melemah 0,48% ke posisi 6.839,34. Meski melemah, tetapi IHSG masih cenderung bertahan di level psikologis 6.800.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 12,2 triliun dengan melibatkan 19 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 232 saham menguat, 287 saham terkoreksi, dan 193 saham lainnya stagnan.

Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 729,44 miliar di pasar reguler pada perdagangan kemarin.

Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas melemah. Hanya indeks BSE Sensex India saja yang berhasil menguat, meski penguatannya juga cenderung tipis-tipis yakni 0,08%.

Sementara itu, PSEI Filipina menjadi yang paling parah koreksinya kemarin yakni ambruk 2,55%, disusul TAIEX Taiwan yang ambles 1,48%.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Selasa kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin ditutup melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.985/US$, terkoreksi 0,13% di pasar spot kemarin.

Tak hanya rupiah saja, mayoritas mata uang Asia terpantau juga tak kuat melawan The Greenback (dolar AS). Hanya yen Jepang dan dolar Taiwan yang mampu melawan sang greenback kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Selasa kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya sejatinya cenderung bervariasi, menandakan bahwa imbal hasil (yield) juga bergerak beragam dan investor cenderung bersikap tak kompak.

Melansir data dari Refinitiv,SBN tenor 5 dan 10 tahun mengalami penurunan yield, sedangkan untuk SBN tenor 15 tahun cenderung stagnan dan SBN tenor 20 tahun mengalami kenaikan yield.

Adapun yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan turun 5,8 basis poin (bp) ke posisi 6,764% pada perdagangan kemarin.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin kemarin.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi perhatian utama pada pekan ini. Bank sentral paling powerful di dunia ini akan mengumumkan suku bunga pada Kamis dini hari waktu Indonesia, dan pasar menanti kenaikannya sebesar 25 basis poin atau 50 basis poin.

Dalam rapat kebijakan moneter akhir tahun lalu, The Fed mengindikasikan akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin pada Maret nanti.

Namun, setelah inflasi di AS terus menurun, pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin saja menjadi 4,5% - 4,75% Kamis dini hari waktu Indonesia, dengan probabilitas nyaris 100%, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.

Selain The Fed, bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbaru pada pekan ini, tepatnya pada Kamis.

ECB diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 3% kali ini, berdasarkan polling dari Trading Economics.

Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4%.

Banyaknya pengumuman suku bunga pada pekan ini, dan akan semakin tinggi tentunya membuat pasar berhati-hati. Proyeksi kondisi ekonomi terbaru dari para bank sentral akan menjadi perhatian utama, apakah Negara Barat akhirnya mengalami resesi, atau bisa lolos.

Sementara itu menurut Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan ekonomi Indonesia pada 2023 akan melambat, seiring dengan kondisi global yang juga memburuk.

Ekonomi nasional sepanjang tahun 2022 diperkirakan mencapai 5,3%.

"Dari sisi pertumbuhan ekonomi kami memperkirakan pada 2022 akan mencapai pada kisaran 5,2% hingga 5,3%," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (31/1/2023).

"Pertumbuhan 2023 diperkirakan sedikit melambat akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi global ini terutama dibandingkan 2022," jelasnya.

Perlambatan ekonomi global akan mempengaruhi ekspor Indonesia, yang merupakan pendorong besar dalam dua tahun terakhir akibat lonjakan harga komoditas internasional.

Maka dari itu, Sri Mulyani menyatakan konsumsi rumah tangga akan didorong seoptimal mungkin.

"Ke depan pertumbuhan nasional pada 2023 diperkirakan akan tetap kuat sejalan dengan penghapusan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau ppkm dan meningkatnya aliran masuk penanaman modal asing (PMA) serta berlanjutnya penyelesaian berbagai proyek strategis nasional," paparnya.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup bergairah pada perdagangan Selasa (31/1/2023), karena pendapatan yang kuat dan biaya tenaga kerja yang menggembirakan membuat Wall Street mengakhiri Januari 2023 dengan kinerja yang positif.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,09% ke posisi 34.086,039, S&P 500 melonjak 1,47% ke 4.076,7 dan Nasdaq Composite melompat 1,67% menjadi 11.584,55.

Wall Street berhasil mengakhiri Januari 2023 dengan kinerja yang positif, sesuai dengan harapan pasar sebelumnya. Selain itu, Wall Street ditutup cerah bergairah setelah beberapa perusahaan merilis kinerja keuangannya pada kuartal IV-2022.

Saham General Motors melonjak 8,35%, setelah produsen mobil tersebut membukukan pendapatan yang kuat. Sedangkan saham PulteGroup melonjak 9,42% setelah homebuilder tersebut melaporkan laba yang lebih baik dari perkiraan, dan saham Exxon Mobil juga naik hampir 2,16% setelah merilis pendapatan kuartal IV-2022.

Di pekan yang cukup sibuk pada awal tahun 2023, sudah 30 perusahaan mewakili 6,8% kapitalisasi pasar S&P 500 melaporkan pendapatan kuartal keempat hari ini. 38,9% kapitalisasi pasar S&P 500 telah dilaporkan. Penghasilan mengalahkan perkiraan sebesar 2% dan 63% perusahaan memilikinya.

Januari yang solid bisa menjadi pertanda baik bagi pasar dan berpotensi menandakan kenaikan lanjutan di bulan-bulan berikutnya.

Di lain sisi, investor cenderung optimis sebelum keputusan suku bunga terbaru bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) setelah dirilisnya indeks biaya tenaga kerja, yang merupakan ukuran penting dari upah yang diperhatikan oleh The Fed.

Indeks ini menunjukkan kompensasi meningkat 1% pada kuartal IV-2022, di bawah perkiraan 1,1% dari polling Dow Jones. Dengan membaiknya data tersebut maka mereka berharap bahwa The Fed dapat memberi sinyal jeda pengetatan dalam waktu dekat.

Adapun pada hari ini, pertemuan The Fed tengah berlangsung hingga Rabu besok dan hasilnya akan diumumkan pada Rabu siang waktu setempat atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) saja menjadi 4,5% - 4,75% pada Rabu besok waktu AS, dengan probabilitas nyaris 100%, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.

Selain The Fed, bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbaru pada pekan ini, tepatnya pada Kamis mendatang.

ECB diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 3% kali ini, berdasarkan polling dari Trading Economics.

Bank sentral Inggris, (Bank of England/BoE) juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4%.

Banyaknya pengumuman suku bunga pada pekan ini, dan akan semakin tinggi tentunya membuat pasar berhati-hati. Proyeksi kondisi ekonomi terbaru dari para bank sentral akan menjadi perhatian utama, apakah Negara Barat akhirnya mengalami resesi, atau bisa lolos.

Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang berhasil rebound kemarin.

Melesatnya Wall Street terjadi karena investor optimis setelah biaya tenaga kerja meningkat pada laju paling lambat dalam satu tahun pada kuartal IV-2022 karena pertumbuhan upah melambat.

Hal ini tentunya menjadi pertimbangan The Fed untuk terus memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya, meski The Fed belum akan berpaling selama inflasi masih jauh dari target yang ditetapkan.

Investor kini tinggal menanti selangkah lagi 'titah' dari Ketua The Fed, Jerome Powell, di mana investor berharap Powell dan para koleganya dapat kembali memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya pada pertemuan kali ini.

Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) saja menjadi 4,5% - 4,75% pada Rabu besok waktu AS, dengan probabilitas nyaris 100%, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.

Selain itu, ada sedikit kabar baik datang dari IMF, di mana sebanyak 84% dari negara-negara di dunia mencatatkan penurunan inflasi pada tahun ini.

Seperti diketahui, inflasi telah menjadi momok dunia sejak tahun lalu ketika perang Ukraina dan Rusia mengganggu rantai pasok dan meningkatkan harga energi.

Dengan demikian, inflasi global akan turun menjadi 6,66% pada tahun 2023 dan melandai hingga 4,3% pada 2024. Namun, angka inflasi tersebut masih jauh di atas level pra-pandemi yang rata-rata mencapai 3,5%

"Sementara tahun ini hingga ke depannya masih akan menantang, ini dapat mewakili titik balik, dengan pertumbuhan telah menyentuh level terendah dan inflasi menurun," kata Kepala Ekonom dan Direktur Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam World Economic Outlook, Selasa (31/1/2023).

IMF mengungkapkan proyeksi inflasi sebagian besar mencerminkan penurunan harga komoditas bahan bakar dan non-bahan bakar internasional. Harga menurun karena melemahnya permintaan global.

Hal ini juga mencerminkan efek pendinginan dari pengetatan kebijakan moneter pada inflasi inti, yang secara global diperkirakan akan menurun dari 6,9% pada kuartal keempat tahun 2022 (year-on-year/yoy), menjadi 4,5% pada kuartal keempat tahun 2023. Namun, IMF menegsakan disinflasi akan memakan waktu.

"Pada tahun 2024, proyeksi headline rata-rata tahunan dan inflasi inti, masing-masing, masih akan berada di atas tingkat pra-pandemi di sekitar 82% dan 86% negara-negara dunia," ujar IMF dalam laporan lengkap WEO yang dirilis Januari ini.

Di negara maju, IMF memperkirakan laju inflasi rata-rata tahunan menurun menjadi 4,6% pada 2022, dari 7,3% tahun lalu. Kemudian, inflasi akan kembali turun menjadi 2,6% tahun 2024.

Sementara itu, di negara berkembang, laju inflasi akan turun dari 9,9% pada 2022, menjadi 8,1% pada 2023 dan 5,5% pada 2024. I

IMF mencatat laju inflasi diproyeksi mengalami moderasi di negara berpenghasilan rendah dari 14,2% di 2022, menjadi 8,6% pada tahun ini sebelum turun mendekati level prapandemi pada 2024.

Namun demikian, IMF mengungkapkan penurunan inflasi di banyak negara masih perlu diwaspadai.

"Berita tentang inflasi menggembirakan, tetapi pertempuran masih jauh dari selesai," kata Gourinchas.

Menurut Gourinchas, tekanan inflasi sejatinya masih akan tetap tinggi sehingga bank sentral diharapkan dapat mempertahankan kebijakan moneter ketatnya sampai inflasi inti benar-benar di jalur penurunan.

"Melonggarkan (kebijakan moneter) terlalu dini dapat merusak sebagian besar keuntungan yang dicapai sejauh ini," tambahnya.

Menurutnya, ada yang yang sudah mencapai puncak inflasi inti, tetapi ada juga yang belum sehingga perlu ada sinkronisasi kebijakan.

Selain itu dari China, data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada purchasing manager's index (PMI) versi swasta yakni Caixin periode Januari 2023 akan dirilis pada hari ini, di mana data ini juga dapat membuktikan dampak dari kembali dibukanya China setelah negara tersebut memerangi pandemi Covid-19 selama tiga tahun terakhir.

Diprediksi, PMI manufaktur China versi Caixin pada Januari 2023 cenderung naik menjadi 50, dari sebelumnya di angka 49 pada Desember 2022.

Sebelumnya kemarin, data dari pemerintah China (NBS) menunjukkan PMI manufaktur Januari sebesar 50,1, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 47.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya adalah kontraksi sementara di atasnya ekspansi.

Ketika sektor manufaktur China kembali berekspansi, maka permintaan komoditas dari Indonesia tentunya berpeluang meningkat.

Tak hanya China saja yang pada hari ini akan kembali merilis data PMI manufaktur, beberapa negara lainnya juga akan merilis data tersebut, meski beberapa negara baru pembacaan awal.

Adapun negara yang akan merilis data aktivitas manufakturnya selain China yakni Jepang, Uni Eropa, Inggris, dan AS.

Sementara itu, beberapa rilis data tenaga kerja AS seperti perubahan tenaga kerja versi ADP dan pembukaan lapangan kerja JOLTs juga akan dipantau ketat oleh pasar, sebagai bahan untuk dipertimbangkan The Fed dalam menentukan kebijakan moneter berikutnya.

Sementara itu di dalam negeri, pasar akan berfokus pada rilis data PMI manufaktur dan inflasi untuk periode Januari 2023. PMI menunjukkan ekspansi atau kontraksi setor manufaktur, beberapa item di dalamnnya terhadap tingkat rekrutmen. Jika mengalami kontraksi artinya terjadi pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK), sebaliknya jika berekspansi artinya ada penambahan tenaga kerja. 

Sementara itu konsensus pasar dalam polling Trading Economics memperkirakan inflasi RI akan melandai sedikit menjadi 5,4% (yoy) pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Desember 2022 sebesar 5,51% (yoy).

Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi RI juga diprediksi melandai menjadi 0,5% pada bulan lalu, dari sebelumnya sebesar 0,66% per Desember 2022.

Secara tahunan, inflasi akan melandai seiring dengan memudarnya dampak kenaikan harga BBM subsidi.

Secara historis, inflasi pada Januari (mtm) terbilang tinggi karena lonjakan harga pangan. Terganggunya panen karena musim hujan membuat harga sayur mayur biasanya lebih mahal.

Rata-rata inflasi (mtm) Januari pada lima tahun terakhir ada di angka 0,43%. Merujuk pada data polling, maka inflasi Januari 2023 masih sejalan dengan rata-rata lima tahun terakhir.

Survei Bank Indonesia (BI) hingga pekan keempat memperkirakan inflasi akan menyentuh 0,39% pada bulan lalu.

Selain data inflasi, isu dari reshuffle kabinet juga tengah disorot, pasalnya isu tersebut bakal terjadi pada hari ini. Hal ini berkaitan dengan tanggalan Rabu Pon yang sering dikaitkan ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mau melalukan reshuffle kabinet.

Beberapa menteri dalam kabinet Jokowi saat ini juga masih bungkam ketika ditanya mengenai isu reshuffle. Seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengungkapkan hal itu merupakan hak prerogatif presiden.

"Kalau soal politik nanti saja, tunggu hari Rabu," kata Airlangga saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (31/1/2023).

Begitu juga dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang tidak mengetahui ada isu reshuffle.

"Tiap hari saya mikir investasi," kata Bahlil.

Bahlil juga menjawab terkait adanya isu evaluasi yang dilakukan oleh Jokwowi. Menurutnya penilaian tentunya terus dilakukan oleh presiden.

"Bapak presiden itu adalah komandan kami menteri ini adalah pembantu. Ya namanya pembantu pasti ada penilaian dari bosnya. Yang tahu nilainya ya bosnya. Kami sesama sopir angkot tidak boleh mendahului dan saling menilai. Saya kan belum tentu bagus juga, masa menilai yang lain," kata Bahlil.

Sementara Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan ketika ditanya soal kabar reshuffle juga mengaku tidak mengetahuinya. Dirinya hanya fokus urusan pangan.

"Saya ngurusin beras, ngurus cabai, telur, daging, kalau reshuffle itu urusan bapak," kata Zulhas.

Seperti diketahui, ada beberapa nama yang dianggap rentan terkena reshuffle, yakni Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate.

Ketiga menteri yang juga politisi Partai NasDem itu dinilai rentan terkena reshuffle lantaran sikap NasDem yang mendukung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden.

Selain itu pada hari ini, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk akan menggelar Mandiri Investment Forum yang akan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur BI Perry Warjiyo dan lain-lain. Mandiri Investment Forum ini akan digelar mulai pukul 08:00 WIB.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data PMI manufaktur Indonesia periode Januari 2023 (07:30 WIB),
  2. Rilis data final PMI manufaktur Jepang periode Januari 2023 (07:30 WIB),
  3. Rilis data PMI manufaktur China versi Caixin periode Januari 2023 (08:45 WIB),
  4. Rilis data inflasi Indonesia periode Januari 2023 (11:00 WIB),
  5. Rilis data finalPMI manufaktur Uni Eropa periode Januari 2023 (16:00 WIB),
  6. Rilis datafinal PMI manufaktur Inggris periode Januari 2023 (16:30 WIB),
  7. Rilis data tingkat pengangguran Uni Eropa periode Desember 2022 (17:00 WIB),
  8. Rilis data flash reading inflasi Uni Eropa periode Januari 2023 (17:00 WIB),
  9. Rilis data perubahan tenaga kerja ADP Amerika Serikat periode Januari 2023 (20:15 WIB),
  10. Rilis data final PMI manufaktur Amerika Serikat versi S&P Global periode Januari 2023 (21:45 WIB),
  11. JOLTs Job Openings Amerika Serikat periode Desember 2022 (22:00 WIB),
  12. Rilis data PMI manufaktur Amerika Serikat versi ISM periode Januari 2023 (22:00 WIB).

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. Mandiri Investment Forum (08:00 WIB),
  2. RUPS Tahunan dan Luar Biasa PT Tridomain Perfomance Materials Tbk (09:30 WIB),
  3. RUPS Luar Biasa PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (10:00 WIB),
  4. RUPS Luar Biasa PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (13:30 WIB),
  5. RUPS Luar Biasa PT Satria Antaran Prima Tbk (14:00).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY)

5,72%

Inflasi (Desember 2022 YoY)

5,51%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2023)

5,75%

Defisit Anggaran (APBN Desember 2022)

-2,38% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY)

US$ 1,3 miliar

Cadangan Devisa (Desember 2022)

US$ 137,2 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd) Next Article Pekan Penting! Pasar Finansial Bakal Guncang atau Terbang?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular