Isu Hari Ini: PHK, Inflasi dan Reshuffle Kabinet Jokowi!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terpantau terkoreksi pada perdagangan Selasa (31/1/2023) kemarin, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah melemah, tetapi harga Surat Berharga Negara (SBN) terpantau bervariasi.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melemah 0,48% ke posisi 6.839,34. Meski melemah, tetapi IHSG masih cenderung bertahan di level psikologis 6.800.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 12,2 triliun dengan melibatkan 19 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 232 saham menguat, 287 saham terkoreksi, dan 193 saham lainnya stagnan.
Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 729,44 miliar di pasar reguler pada perdagangan kemarin.
Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas melemah. Hanya indeks BSE Sensex India saja yang berhasil menguat, meski penguatannya juga cenderung tipis-tipis yakni 0,08%.
Sementara itu, PSEI Filipina menjadi yang paling parah koreksinya kemarin yakni ambruk 2,55%, disusul TAIEX Taiwan yang ambles 1,48%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Selasa kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin ditutup melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.985/US$, terkoreksi 0,13% di pasar spot kemarin.
Tak hanya rupiah saja, mayoritas mata uang Asia terpantau juga tak kuat melawan The Greenback (dolar AS). Hanya yen Jepang dan dolar Taiwan yang mampu melawan sang greenback kemarin.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Selasa kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya sejatinya cenderung bervariasi, menandakan bahwa imbal hasil (yield) juga bergerak beragam dan investor cenderung bersikap tak kompak.
Melansir data dari Refinitiv,SBN tenor 5 dan 10 tahun mengalami penurunan yield, sedangkan untuk SBN tenor 15 tahun cenderung stagnan dan SBN tenor 20 tahun mengalami kenaikan yield.
Adapun yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan turun 5,8 basis poin (bp) ke posisi 6,764% pada perdagangan kemarin.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin kemarin.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi perhatian utama pada pekan ini. Bank sentral paling powerful di dunia ini akan mengumumkan suku bunga pada Kamis dini hari waktu Indonesia, dan pasar menanti kenaikannya sebesar 25 basis poin atau 50 basis poin.
Dalam rapat kebijakan moneter akhir tahun lalu, The Fed mengindikasikan akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin pada Maret nanti.
Namun, setelah inflasi di AS terus menurun, pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin saja menjadi 4,5% - 4,75% Kamis dini hari waktu Indonesia, dengan probabilitas nyaris 100%, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.
Selain The Fed, bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbaru pada pekan ini, tepatnya pada Kamis.
ECB diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 3% kali ini, berdasarkan polling dari Trading Economics.
Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4%.
Banyaknya pengumuman suku bunga pada pekan ini, dan akan semakin tinggi tentunya membuat pasar berhati-hati. Proyeksi kondisi ekonomi terbaru dari para bank sentral akan menjadi perhatian utama, apakah Negara Barat akhirnya mengalami resesi, atau bisa lolos.
Sementara itu menurut Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan ekonomi Indonesia pada 2023 akan melambat, seiring dengan kondisi global yang juga memburuk.
Ekonomi nasional sepanjang tahun 2022 diperkirakan mencapai 5,3%.
"Dari sisi pertumbuhan ekonomi kami memperkirakan pada 2022 akan mencapai pada kisaran 5,2% hingga 5,3%," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (31/1/2023).
"Pertumbuhan 2023 diperkirakan sedikit melambat akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi global ini terutama dibandingkan 2022," jelasnya.
Perlambatan ekonomi global akan mempengaruhi ekspor Indonesia, yang merupakan pendorong besar dalam dua tahun terakhir akibat lonjakan harga komoditas internasional.
Maka dari itu, Sri Mulyani menyatakan konsumsi rumah tangga akan didorong seoptimal mungkin.
"Ke depan pertumbuhan nasional pada 2023 diperkirakan akan tetap kuat sejalan dengan penghapusan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau ppkm dan meningkatnya aliran masuk penanaman modal asing (PMA) serta berlanjutnya penyelesaian berbagai proyek strategis nasional," paparnya.
(chd/chd)