
Isu Hari Ini: PHK, Inflasi dan Reshuffle Kabinet Jokowi!

Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang berhasil rebound kemarin.
Melesatnya Wall Street terjadi karena investor optimis setelah biaya tenaga kerja meningkat pada laju paling lambat dalam satu tahun pada kuartal IV-2022 karena pertumbuhan upah melambat.
Hal ini tentunya menjadi pertimbangan The Fed untuk terus memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya, meski The Fed belum akan berpaling selama inflasi masih jauh dari target yang ditetapkan.
Investor kini tinggal menanti selangkah lagi 'titah' dari Ketua The Fed, Jerome Powell, di mana investor berharap Powell dan para koleganya dapat kembali memperlambat laju kenaikan suku bunga acuannya pada pertemuan kali ini.
Pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) saja menjadi 4,5% - 4,75% pada Rabu besok waktu AS, dengan probabilitas nyaris 100%, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.
Selain itu, ada sedikit kabar baik datang dari IMF, di mana sebanyak 84% dari negara-negara di dunia mencatatkan penurunan inflasi pada tahun ini.
Seperti diketahui, inflasi telah menjadi momok dunia sejak tahun lalu ketika perang Ukraina dan Rusia mengganggu rantai pasok dan meningkatkan harga energi.
Dengan demikian, inflasi global akan turun menjadi 6,66% pada tahun 2023 dan melandai hingga 4,3% pada 2024. Namun, angka inflasi tersebut masih jauh di atas level pra-pandemi yang rata-rata mencapai 3,5%
"Sementara tahun ini hingga ke depannya masih akan menantang, ini dapat mewakili titik balik, dengan pertumbuhan telah menyentuh level terendah dan inflasi menurun," kata Kepala Ekonom dan Direktur Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam World Economic Outlook, Selasa (31/1/2023).
IMF mengungkapkan proyeksi inflasi sebagian besar mencerminkan penurunan harga komoditas bahan bakar dan non-bahan bakar internasional. Harga menurun karena melemahnya permintaan global.
Hal ini juga mencerminkan efek pendinginan dari pengetatan kebijakan moneter pada inflasi inti, yang secara global diperkirakan akan menurun dari 6,9% pada kuartal keempat tahun 2022 (year-on-year/yoy), menjadi 4,5% pada kuartal keempat tahun 2023. Namun, IMF menegsakan disinflasi akan memakan waktu.
"Pada tahun 2024, proyeksi headline rata-rata tahunan dan inflasi inti, masing-masing, masih akan berada di atas tingkat pra-pandemi di sekitar 82% dan 86% negara-negara dunia," ujar IMF dalam laporan lengkap WEO yang dirilis Januari ini.
Di negara maju, IMF memperkirakan laju inflasi rata-rata tahunan menurun menjadi 4,6% pada 2022, dari 7,3% tahun lalu. Kemudian, inflasi akan kembali turun menjadi 2,6% tahun 2024.
Sementara itu, di negara berkembang, laju inflasi akan turun dari 9,9% pada 2022, menjadi 8,1% pada 2023 dan 5,5% pada 2024. I
IMF mencatat laju inflasi diproyeksi mengalami moderasi di negara berpenghasilan rendah dari 14,2% di 2022, menjadi 8,6% pada tahun ini sebelum turun mendekati level prapandemi pada 2024.
Namun demikian, IMF mengungkapkan penurunan inflasi di banyak negara masih perlu diwaspadai.
"Berita tentang inflasi menggembirakan, tetapi pertempuran masih jauh dari selesai," kata Gourinchas.
Menurut Gourinchas, tekanan inflasi sejatinya masih akan tetap tinggi sehingga bank sentral diharapkan dapat mempertahankan kebijakan moneter ketatnya sampai inflasi inti benar-benar di jalur penurunan.
"Melonggarkan (kebijakan moneter) terlalu dini dapat merusak sebagian besar keuntungan yang dicapai sejauh ini," tambahnya.
Menurutnya, ada yang yang sudah mencapai puncak inflasi inti, tetapi ada juga yang belum sehingga perlu ada sinkronisasi kebijakan.
Selain itu dari China, data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada purchasing manager's index (PMI) versi swasta yakni Caixin periode Januari 2023 akan dirilis pada hari ini, di mana data ini juga dapat membuktikan dampak dari kembali dibukanya China setelah negara tersebut memerangi pandemi Covid-19 selama tiga tahun terakhir.
Diprediksi, PMI manufaktur China versi Caixin pada Januari 2023 cenderung naik menjadi 50, dari sebelumnya di angka 49 pada Desember 2022.
Sebelumnya kemarin, data dari pemerintah China (NBS) menunjukkan PMI manufaktur Januari sebesar 50,1, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 47.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya adalah kontraksi sementara di atasnya ekspansi.
Ketika sektor manufaktur China kembali berekspansi, maka permintaan komoditas dari Indonesia tentunya berpeluang meningkat.
Tak hanya China saja yang pada hari ini akan kembali merilis data PMI manufaktur, beberapa negara lainnya juga akan merilis data tersebut, meski beberapa negara baru pembacaan awal.
Adapun negara yang akan merilis data aktivitas manufakturnya selain China yakni Jepang, Uni Eropa, Inggris, dan AS.
Sementara itu, beberapa rilis data tenaga kerja AS seperti perubahan tenaga kerja versi ADP dan pembukaan lapangan kerja JOLTs juga akan dipantau ketat oleh pasar, sebagai bahan untuk dipertimbangkan The Fed dalam menentukan kebijakan moneter berikutnya.
(chd/chd)