Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat pada perdagangan Kamis (12/1) dan memangkas kinerja buruk IHSG yang tercatat mengawali tahun 2023 sebagai salah satu indeks acuan dengan performa paling buruk di kancah global.
Pada perdagangan kemarin IHSG berakhir di 6629,934 atau terapresiasi 0,69% secara harian. Kemarin, IHSG akhirnya secara eksklusif diperdagangkan di zona hijau. Penguatan ini merupakan yang kedua dalam minggu ini dan dalam empat hari perdagangan minggu ini koreksi IHSG terpangkas turun menjadi 0,82% (week to date). IHSG dapat menorehkan kinerja positif mingguan apabila pada perdagangan hari ini IHSG mampu naik setidaknya 55 poin.
Sejak awal tahun, IHSG masih membukukan pelemahan 3,22%.
Setelah beberapa hari menjadi pemberat (laggard) IHSG, emiten perbankan raksasa kemarin tercatat menguat dan menjadi penggerak utama kenaikan harga indeks. Dua emiten big four yakni Bank Mandiri (BMRI) dam Bank Rakyat Indonesia (BBRI) menduduki posisi teratas daftar penggerak (movers)IHSG. Sementara itu emiten batu bara menjadi laggard dengan tiga teratas secara berurutan diisi oleh Bayan Resources (BYAN), Adaro Energy Indonesia (ADRO) dan Bumi Resources (BUMI).
Kemarin, sektor teknologi dan finansial melejit naik masing-masing 1,66% dan 1,64%. Sedangkan sektor energi serta transportasi dan logistik menjadi yang paling tertekan dengan pelemahan masing-masing 1,03% dan 0,94%.
Investor asing tercatat kembali melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 462 miliar di seluruh pasar dan secara total sejak awal tahun telah mencapai Rp 4,15 triliun. Lagi-lagi saham yang dilego asing berasal dari sektor perbankan dengan net sell asing di BBCA dan BMRI tercatat senilai Rp 201 miliar dan Rp 110 miliar. Sementara itu saham emiten tambang emas milik Grup Saratoga, Merdeka Copper Gold (MDKA), tercatat menjadi yang paling diburu asing. Saham tersebut juga mencatatkan net buy tertinggi sejak awal tahun dan telah menguat 8% pada 2023.
Kemarin IHSG akhirnya bergerak searah dengan mayoritas bursa Asia-Pasifik lainnya yang kembali ditutup di zona hijau. Hanya indeks bursa saham India dan Singapura yang tercatat melemah di Asia kemarin.
Dari pasar keuangan lain, nilai tukar rupiah kembali tercatat menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin melanjutkan kinerja apik Rabu (11/1) lalu.Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akhirnya merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) mendongkrak kinerja rupiah sejak kemarin.
Melansir data Refinitiv, rupiah sempat melesat hingga 1,26% ke Rp 15.285/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat dalam 3 bulan terakhir, lalu penguatan tersebut terpangkas jelang penutupan perdagangan dengan rupiah berakhir di Rp 15.336/US$, menguat 0,93%.
Aturan revisi DHE yang ditahan lama di dalam negeri membuat pasokan dolar AS kembali bertambah dan rupiah mampu melesat.
Selain itu, investor asing mulai masuk lagi ke pasar obligasi sekunder. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR), pada 1 - 10 Januari terjadi capital inflow hingga Rp 12 triliun.
Masuknya kembali dana asing di pasar obligasi tampaknya terlihat dari harganya yang kembali menguat, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) untuk semua tenor tercatat turun pada perdagangan kemarin.
Pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali ditutup naik pada perdagangan Kamis (11/1) waktu New York, karena investor semakin percaya diri setelah mencerna data inflasi AS terbaru. Data tersebut diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi teredamnya kenaikan suku bunga The Fed.
Indeks S&P 500 berakhir menguat 0,34%, dengan Dow Jones Industrial Average naik 0,64%. Sementara itu, indeks padat teknologi Nasdaq terapresiasi 0,64%.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan indeks harga konsumen (IHK) AS untuk bulan Desember naik 6,5% secara tahunan (yoy). Namun lajunya telah melambat dalam enam bulan beruntun, dengan catatan tingkat inflasi AS November berada di angka 7,1%.
Menanggapi data tersebut, para pedagang semakin yakin bahwa Fed akan memperlambat laju pengetatan pada pertemuan mendatang. Wall Street secara luas mengharapkan bank sentral untuk menaikkan target suku bunga acuan sebesar 25 bpa ke kisaran antara 4,5% dan 4,75% pada 1 Februari mendatang.
Presiden The Fed Boston Susan Collins mengatakan dalam wawancara dengan New York Times bahwa dia condong ke arah kenaikan suku bunga yang lebih kecil, yakni sebanyak seperempat poin persentase pada pertemuan berikutnya. Pada hari Jumat, investor akan mengurai pernyataan yang dijadwalkan akan diberikan oleh Collins dan dua pejabat senior Fed lainnya.
Federal-funds futures, yang digunakan oleh investor dan pedagang sebagai barometer potensi kenaikan suku bunga acuan menunjukkan peluang 77% bahwa bank sentral akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps, menurut CME Group. Jika sesuai ekspektasi, kenaikan tersebut akan menjadi pelambatan dari kenaikan 50 bps bulan lalu dan menandai kenaikan suku bunga terkecil sejak Maret.
Pengungkapan kinerja keuangan kuartal terakhir tahun lalu yang akan dimulai oleh perusahaan perbankan Jumat besok juga menjadi perhatian utama para investor. Secara keseluruhan, analis memperkirakan perusahaan S&P 500 melaporkan penurunan pendapatan kuartalan pertama mereka dari tahun ke tahun sejak penyebaran pandemi Covid-19 pada tahun 2020.
Sentimen utama yang dapat diperhatikan pada perdagangan hari ini adalah terkait data inflasi AS yang kembali mendingin dan memperpanjang tren penurunan menjadi enam bulan beruntun. Hal ini turut meningkatkan kepercayaan investor global dengan tiga indeks utama Wall Street ditutup menguat.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan indeks harga konsumen (IHK) AS untuk bulan Desember naik 6,5% secara tahunan (yoy). Lebih rendah dibandingkan catatan November sebesar 7,1%.
Level tersebut (secara bulanan) membawa inflasi AS kini setara pada posisi April 2020, seiring kebijakan penguncian dikarenakan serangan covid-19 yang menghantam seluruh dunia.
Secara bulanan IHK AS turun 0,1% di Desember dan menjadi penurunan bulanan terbesar sejak April 2020 atau di awal pandemi kala diberlakukannya kebijakan penguncian untuk mengekang penyebaran virus Covid-19.
Efek domino tersebut tampaknya dapat menjalar ke bursa saham dunia lainnya, dengan manajer investasi dan manajer hedge fund diharapkan kembali aktif melakukan pembelian aset di pasar ekuitas.
Meski demikian, di saat bersamaan investor juga patut menyimak dampak dari pembukaan kembali ekonomi China secara lebih luas, yang pada dasarnya merupakan berita positif bagi perekonomian RI Hal ini mengingat negara pimpinan Xi Jinping ini merupakan mitra dagang utama.
Namun, kondisi ini juga dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pasar ekuitas domestik. Pembukaan ekonomi tersebut dapat memperparah sentimen buruk yakni kaburnya investor asing dari pasar saham dalam negeri. Investor asing bisa saja keluar dari pasar keuangan Indonesia dan masuk ke China untuk membeli aset yang masih dianggap undervalued, atau murah secara valuasi.
Masih dari China, kemarin inflasi negeri Panda dilaporkan naik 1,8% secara tahunan (yoy), namun melambat secara bulanan. Kemudian Indeks Harga Produsen (IHP) juga kembali dilaporkan tumbuh negatif 0,7% secara tahunan (yoy) di tengah melemahnya permintaan domestik karena pembatasan COVID yang ketat dan penurunan harga komoditas.
Selanjutnya investor juga patut memperhatikan pergerakan harga sejumlah komoditas utama dunia, termasuk yang menjadi unggulan di Indonesia. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya sering kali ditopang oleh naik turunnya harga di pasar global.
Emas menjadi salah satu komoditas yang belakangan rajin menguat, didorong oleh ambruknya indeks dolar. Indeks dolar sendiri mulai mengalami penurunan karena investor berharap The Fed akan segera berhenti menaikkan suku bunga acuannya.
Sementara itu, dua komoditas ekspor unggulan RI yakni batu bara dan CPO masih berada dalam tren penurunan sepanjang tahun ini.
Selain itu, investor juga perlu mewanti-wanti sejumlah data ekonomi penting dari mancanegara yang akan diumumkan akhir pekan ini. Data tersebut dapat menjadi proksi bagi kondisi ekonomi yang lebih luas serta pegangan bagi bank sentral untuk menentukan arah kebijakan moneter.
Siang ini Inggris akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) pada November 2022 yang diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 0,2%. Turunnya PDB Inggris dapat memberikan gambaran ekonomi Eropa yang diperkirakan akan segera masuk ke jurang resesi.
Lalu malam ini ada juga pembacaan awal sentimen konsumen AS untuk periode Januari 2022. Indeks sentimen konsumen yang dipublikasikan oleh University of Michigan merupakan salah satu indikator yang paling dapat diandalkan untuk memprediksi terjadinya resesi di AS.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
Inflasi Argentina Desember 94,8%
Data neraca dagang China Desember (10.00)
Data ekspor impor China Desember (10.00)
Pertumbuhan ekonomi Inggris November (14.00)
Inflasi Prancis Desember (14.45)
Pertumbuhan ekonomi Jerman setahun penuh 2022 (16.00)
Pidato pejabat The Fed Harker (19.30)
Pembacaan awal sentimen konsumen AS Januari Universitas Michigan (22.00)
Hari ini setidaknya terdapat dua agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) TRIO dan cum date rights issue Pan Brothers (PBRX)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA