
Empat 50 Bps yang Bikin Pasar Saham Crash!

Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang ambruk pada perdagangan kemarin. Tidak hanya Wall Street, bursa saham Eropa juga senasib. Indeks DAX Jerman, CAC Prancis, FTSE MIB Italia masing-masing ambrol lebih dari 3%, FTSE 100 Inggris turun 0,9%.
Ambruknya Wall Street terjadi karena investor kembali khawatir bahwa resesi masih akan berpotensi terjadi di tahun depan, setelah mereka mencerna pernyataan dari The Fed.
Meski laju kenaikan suku bunga acuannya telah melambat dan sudah sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya, tetapi kampanye 'perang' inflasi masih belum berakhir.
The Fed mengisyaratkan bahwa mereka masih akan melanjutkan kebijakan hawkish-nya hingga tahun depan, selama inflasi belum mencapai target yang ditetapkan yakni sekitar 2%.
The Fed juga memproyeksikan bahwa Federal Fund Rates akan mencapai puncaknya pada 5,1% tahun depan, lebih tinggi dari perkiraan pasar.
Sebelumnya pada Selasa lalu, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) atau indeks harga konsumen (IHK) AS periode November 2022 kembali melandai yakni menjadi 7,1% (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Oktober lalu sebesar 7,7% (yoy).
Angka itu turun jauh dari puncaknya 9,1% pada Juni lalu yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir. IHK AS pada bulan lalu juga lebih baik dari prediksi pasar dalam polling Reuters dan Trading Economics yang memprediksikan angka inflasi akan berada di 7,3% (yoy).
Namun, meskipun sudah melandai, tetapi inflasi masih jauh dari target The Fed yakni di 2%, sehingga The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya, meski lajunya telah diperlambat.
Inflasi yang masih cukup tinggi membuat data penjualan ritel di AS pada bulan lalu kembali mengecewakan, membuat pasar semakin khawatir bahwa resesi berpotensi melanda Negeri Paman Sam tahun depan.
Sebelumnya, Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel pada bulan lalu turun menjadi 0,6%, dari sebelumnya sebesar 1,3% pada Oktober lalu.
Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan penurunan sebesar 0,3%.
Tak hanya dari data penjualan ritel saja, data klaim pengangguran yang terpantau menurun menandakan bahwa data ketenagakerjaan di AS masih cukup baik.
Data klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 11 Desember kembali turun menjadi 211.000, atau turun 20.000 dari pekan sebelumnya menurut Departemen Tenaga Kerja.
Kampanye kenaikan suku bunga agresif The Fed akan mendorong ekonomi Negeri Paman Sam ke dalam resesi, di mana hal ini sudah lama terdengar di Wall Street, sehingga setiap kali investor mulai optimis, tetapi mereka juga langsung berubah sikap menjadi khawatir.
The Fed pun memproyeksikan bahwa Federal Fund Rates akan mencapai puncaknya pada 5,1% tahun depan, lebih tinggi dari perkiraan pasar.
Selain itu, The Fed juga memangkas target pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) AS untuk tahun 2023, menempatkan perkiraan kenaikan PDB hanya 0,5%, sedikit di atas apa yang dianggap sebagai resesi.
Prospek PDB untuk tahun ini juga ditetapkan sebesar 0,5%. Dalam proyeksi September lalu, anggota memprediksi PDB AS tahun ini tumbuh 0,2% tahun ini dan 1,2% tahun depan.
(chd/chd)