Newsletter

Empat 50 Bps yang Bikin Pasar Saham Crash!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
16 December 2022 06:15
Dow Jones
Foto: Reuters

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup berjatuhan pada perdagangan Kamis (15/12/2022), karena investor kembali khawatir bahwa resesi berpotensi terjadi setelah mereka melihat data penjualan ritel yang melambat dan sikap bank sentral AS yang masih akan hawkish pada tahun depan.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,25% ke posisi 33.202,219, S&P 500 anjlok 2,48% ke 3.896,1 dan Nasdaq Composite longsor 3,23% menjadi 10.810,53.

Aksi jual berbasis luas dengan hanya 14 saham yang menguat di indeks S&P 500. Saham teknologi mega-cap pun berjatuhan.

Saham Apple dan Alphabet ambles lebih dari 4%, sedangkan Amazon dan Microsoft ambrol lebih dari 3%. Saham Netflix ambruk 8,63%, menyusul laporan Digiday yang mengatakan perusahaan streaming tersebut menawarkan untuk mengembalikan uang kepada pengiklan setelah kehilangan target pelanggannya.

Data penjualan ritel yang mengecewakan menandakan bahwa inflasi sudah berdampak di tingkat konsumen.

Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel pada bulan lalu turun menjadi 0,6%, dari sebelumnya sebesar 1,3% pada Oktober lalu. Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memperkirakan penurunan sebesar 0,3%.

Aksi jual di Wall Street sudah dimulai sejak Rabu lalu, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengisyaratkan bahwa mereka masih akan melanjutkan sikap hawkish-nya hingga tahun depan.

The Fed juga memproyeksikan bahwa Federal Fund Rates akan mencapai puncaknya pada 5,1% tahun depan, lebih tinggi dari perkiraan pasar.

Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bp) menjadi kisaran 4,25% - 4,5%. Kenaikan ini sudah sesuai dengan prediksi pasar sebelumnya.

Dengan ini, maka The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 bp sepanjang tahun ini. Sebelum pertemuan terakhir, The Fed sempat menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bp dalam empat kali beruntun.

"Reaksi pasar sekarang memperhitungkan resesi dan menolak kemungkinan sikap melunak yang baru-baru ini disebutkan oleh Powell," kata Quincy Krosby, kepala strategi global di LPL Financial, dikutip dari CNBC International.

Di lain sisi, klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 11 Desember kembali turun menjadi 211.000, atau turun 20.000 dari pekan sebelumnya menurut Departemen Tenaga Kerja.

Dengan klaim pengangguran yang turun, maka data ketenagakerjaan di AS cenderung masih cukup baik, sehingga hal ini menjadi 'amunisi' bagi The Fed untuk terus melanjutkan sikap hawkish-nya, meski perekonomian AS terancam resesi.

Kampanye kenaikan suku bunga agresif The Fed akan mendorong ekonomi Negeri Paman Sam ke dalam resesi, di mana hal ini sudah lama terdengar di Wall Street, sehingga setiap kali investor mulai optimis, tetapi mereka juga langsung berubah sikap menjadi khawatir.

"The Fed sepanjang tahun ini sangat konsisten. Mereka harus melawan inflasi, mereka harus menurunkannya, dan mereka akan memperketat kondisi keuangan untuk melakukannya," kata Huw Roberts, kepala analitik di Quant Insight, dilansir dari CNBC International.

Namun, dia mengatakan bahwa pasar ekuitas AS menjadi lebih sensitif terhadap data ekonomi riil daripada kondisi keuangan, menjelang tahun kalender berikutnya.

"Semakin banyak, cerita utama 2023 adalah tentang ekonomi riil. Dengan kata lain, seberapa keras resesi yang akan kita alami, dapatkah Fed melakukan soft landing? Atau akankah kita mengalami resesi yang parah?" tambah Roberts.

Sementara itu dari pasar obligasi pemerintah AS (US Treasury), imbal hasil (yield) untuk tenor 10 tahun kembali turun ke bawah 3,5%, tepatnya berada di 3,45%, di tengah kekhawatiran investor akan potensi terjadinya resesi di AS.

(chd/chd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular