Newsletter

Amerika Serikat Lepas Dari Resesi, The Fed "Pecah"!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 October 2022 06:05
Gubernur Bank Sentral AS (The Fed)
Foto: Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell (REUTERS/Al Drago)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses menghentikan pelemahan dua hari beruntun Kamis kemarin. Rupiah juga sukses menguat dua hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS). Sementara Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi.

Pada perdagangan Jumat (28/10/2022), pergerakan pasar dipengaruhi rilis data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, yang sukses lepas dari resesi. Tetapi, isu ini justru membuat anggota bank sentral AS (The Fed) 'pecah', beda pendapat mengenai laju kenaikan suku bunga. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini, termasuk terpecahnya pendapatan The Fed dibahas pada halaman 3 dan 4. 

Kamis kemarin, IHSG mampu menguat 0,68% ke 7.091,761. Investor asing juga kembali memburu saham di dalam negeri. Data pasar menunjukkan investor asing melakukan beli bersih senilai Rp 714 miliar di pasar reguler, dan ditambah pasar tunai serta nego nilainya menjadi Rp 897 miliar.

Rupiah menguat tipis saja, 0,03% ke Rp 15.565/US$, setelah sebelumnya menguat 0,33%. Dari pasar obligasi, SBN bervariasi dilihat dari imbal hasilnya (yield) ada yang naik dan turun.

Pergerakan obligasi berbanding terbalik dengan yield. Saat harga naik, maka yield akan turun.

Adanya harapan bank sentral AS (The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya menjadi salah satu pemicu penguatan pasar finansial dalam negeri.

Rabu lalu, bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) menaikkan suku bunga untuk keenam kalinya di tahun ini. BoC bersama The Fed menjadi bank sentral yang paling agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.

Tetapi, BoC menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 3,5%, lebih rendah dari ekspektasi pasar 75 basis poin.

idr

BoC bahkan mengatakan, periode kenaikan suku bunga sebentar lagi akan berakhir, sebab perekonomiannya diperkirakan akan stagnan dalam 3 kuartal ke depan.

Langkah BoC tersebut tentunya memberikan harapan The Fed juga mulai mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.

Apalagi sebelumnya Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.

"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters Jumat lalu.

Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga.Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.

"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bps lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bps tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat.Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Amerika Serikat Lepas dari Resesi, Wall Street Liar!

Bursa saham AS (Wall Street) bervariasi pada perdagangan Kamis (27/10/2022) waktu setempat, merespon rilis data produk domestik bruto yang tumbuh di kuartal III-2022.

Indeks Dow Jones tercatat menguat 0,8%, sementara S&P 500 turun 0,3% dan Nasdaq merosot 1,2%.

PDB Amerika Serikat dilaporkan tumbuh 2,6% pada periode Juli - September lalu. Sementara pada dua kuartal sebelumnya, PDB tercatat terkontraksi 1,6% dan 0,6%, artinya secara teknis sudah mengalami resesi.

Dengan PDB yang tumbuh di kuartal III-2022, artinya Amerika Serikat lepas dari resesi. Tetapi, hal ini tidak serta merta disambut baik oleh para pelaku pasar. Sebab, dengan PDB yang tumbuh lebih tinggi dari ekspektasi Wall Street 2,3%, ada kemungkinan bank sentral AS (The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.

The Fed sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.

Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 43% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.

idrFoto: CME Group

Meski demikian, Wall Street Journal pekan lalu melaporkan adanya "perpecahan" di tubuh The Fed.

Beberapa pejabat The Fed secara terang-terangan juga sudah mengemukakan perbedaan pendapatnya.

Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga.Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.

"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bps lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bps tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat.Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.

Hal ini membuat Wall Street bervariasi merespon rilis data PDB. Investor menanti kepastian ke mana arah kebijakan The Fed, apakah masih tetap agresif, atau mulai mengendur.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Wall Street yang bervariasi tentunya memberikan membuat pelaku pasar menimbang-nimbang ke mana arah yang tepat.

Seperti disebutkan sebelumnya, harapan The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya kini mulai muncul. Apalagi jika melihat data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed.

Bersamaan dengan rilis data PDB AS kemarin, inflasi PCE dilaporkan tumbuh 4,2% di kuartal III-2022, jauh lebih rendah dari kuartal sebelumnya 7,3%. Sementara inflasi inti PCE, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi tumbuh 4,5% sejalan dengan ekspektasi Wall Street.

The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada November nanti menjadi 3,75% - 4%. Namun, setelahnya banyak yang melihat bank sentral pimpinan Jerome Powell ini akan mulai mengendur.

Sebabnya, ada risiko perekonomian AS akan kembali mengalami double dip recession. Kontraksi PDB dalam 2 kuartal sebelumya secara teknis sudah disebut resesi. Namun, resesi di awal tahun ini ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.

Survei terbaru yang dilakukan Wall Street Journal terhadap para ekonom menunjukkan sebanyak 63% memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi 12 bulan ke depan. Persentase tersebut naik dari survei bulan Juli sebesar 49%.

Double dip recession pernah dialami Amerika Serikat pada 1980an. Resesi pertama terjadi pada kuartal I sampai III-1980, kemudian yang kedua pada kuartal III-1981 dan berlangsung hingga kuartal IV-1982.

Risiko tersebut menjadi pemicu terbelahnya pejabat The Fed dalam menentukan kebijakan moneter ke depan, dan menghembuskan harapan kepada pelaku pasar jika pivot kebijakan The Fed akan segera terjadi.

Pivot merujuk pada kebijakan yang berbalik arah dengan cepat dari kebijakan ketat ke pelonggaran kebijakan atau sebaliknya dari kebijakan longgar ke kebijakan ketat. Kondisi ini terjadi jika kondisi ekonomi berubah secara drastis sehingga The Fed tidak bisa melanjutkan stance kebijakan sebelumnya.

Financial expert yang juga penulis tentang ekonomi AS dan Wall Street, Nomi Prins, memperkirakan The Fed akan mem-pivot kebijakan mereka dalam tiga tahap. Pertama adalah dengan memperlambat kenaikan suku bunga dari 75 bps menjadi 50 bps. Kedua adalah dengan menahan suku bunga acuan dan di tahap tiga mereka baru akan memangkasnya.

"Kenaikan suku bunga acuan sejauh ini telah berdampak kepada ekonomi riil masyarakat. Kenaikan suku bunga menambah ongkos pinjaman pada masyarakat umum, konsumen nyata sehari-hari," ujar Prins, dikutip dari CNBC International.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) Kamis (27/10/2022) kemarin mengumumkan kebijakan moneternya. Tidak ada kejutan yang diberikan. Suku bunga dinaikkan sebesar 75 basis poin dan berada di level tertinggi sejak 2009.

Suku bunga main refinancing menjadi 2%, lending facility 2,25%, dan deposit facility 1,5%.

Selain itu, ECB juga belum mengambll langkah pengurangan nilai neraca (balance sheet) atau yang dikenal dengan quantitative tightening (QT).

Nilai neraca ECB saat ini sebesar EUR 8,8 triliun, jika melakukan QT maka ECB akan melepas kepemilikan surat berharganya, sehingga menyerap lebih banyak likuditas.

Tetapi, Gubernur ECB Christine Lagarde mengatakan untuk mengambil langkah tersebut akan didiskusikan pada bulan Desember nanti.

Hal ini juga sesuai dengan ekspektasi pasar. Alhasil, tidak ada kejutan dari ECB, kurs euro pun merosot yang berdampak pada penguatan indeks dolar AS hingga 0,8%. Rupiah pun terancam kembali melemah pada perdagangan hari ini.

Setelah ECB, bank sentral Jepang (BoJ) akan mengumumkan kebijakan moneternya hari ini. BoJ menjadi satu-satunya bank sentral yang masih menerapkan kebijakan ultra longgar, dengan suku bunga acuan -0,1%. 

Alhasil, kurs yen terpuruk melawan dolar AS hingga menyentuh level terlemah sejak pertengahan 1990. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda BoJ di bawah pimpinan Haruhiko Kuroda akan merubah kebijakannya. Tetapi pasar tentunya tetap memperhatikan langkah apa yang akan diambil untuk meredam kemerosotan yen. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Inflasi Tokyo Jepang (6:30 WIB)
  • Pengumuman kebijakan moneter Bank Sentral Jepang (Tentative)
  • Data PDB Prancis (12:30 WIB)
  • Data inflasi Prancis (13:45 WIB)
  • Data PDB dan inflasi Spanyol (14:00 WIB)
  • Data PDB dan inflasi Jerman (15:00 WIB)
  • Data inflasi PCE Amerika Serikat (19:30 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Cash deviden distribution : TEBE, SSMS
  • Cash deviden recording: AMOR
  • RUPS: MRAT

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY)

5,44%

Inflasi (September 2022 YoY)

5,95%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022)

4,75%

Surplus Anggaran (APBN 2022)

3,92% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY)

1,1% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (September 2022)

US$ 130,8 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular