CNBC Indonesia Research

Fed "Pecah" Hadapi Resesi, Suku Bunga Bakal Dipangkas Lagi?

Maesaroh, CNBC Indonesia
27 October 2022 13:25
Federal Reserve Board saat menggelar pertemuan pada Juni 2018
Foto: Th Fed

Jakarta, CNBC Indonesia - Pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) dikabarkan mulai terbelah mengenai kebijakan moneter mereka. Sebagian dari pejabat The Fed menginginkan pelonggaran kebijakan moneter mulai Desember tetapi sebagian lainnya tetap ingin melanjutkan kebijakan hawkish.

Wall Street Journal pekan lalu melaporkan adanya "perpecahan" tersebut. Seluruh pejabat The Fed sepakat dan tidak ada keraguan jika mereka ingin tetap menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis points (bps) pada pertemuan 1-2 November mendatang. Artinya, kebijakan suku bunga acuan The Fed kemungkinan naik sebesar 75 bps selama empat pertemuan beruntun setelah kenaikan 75 bps pada Juni, Juli, dan September.

Beberapa pejabat The Fed secara terang-terangan juga sudah mengemukakan perbedaan pendapatnya.



Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa melonggarkan kebijakan hawkishnya. Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam. 

"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bps lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bps tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat. Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.


Sebaliknya, Presiden The Fed Chicago Charles Evans adalah salah satu pejabat yang tetap menginginkan keberlanjutan kebijakan hawkish. Dia menginginkan suku bunga acuan bisa dinaikkan hingga 4,5% pada tahun depan untuk kemudian ditahan.
Sebagai catatan, The Fe sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 300 bps pada tahun ini ke kisaran 3.0-3,25%.

Sejak memberlakukan kebijakan moneter The Fed Funds Rate (FFR) pada 1990, The Fed tidak pernah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps selama empat kali beruntun.

Pada periode kebijakan moneter hawkish 1994, The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps selama dua pertemuan beruntun (Mei dan Juni 1994) untuk kemudian mengerek suku bunga sebesar 75 bps pada November. Secara keseluruhan, suku bunga naik 200 bps pada tahun tersebut.

Periode kebijakan moneter hawkish pada 2005, The Fed menaikkan suku bunga 25 bps selama delapan kali pada delapan pertemuan mereka pada tahun tersebut. Suku bunga naik 200 bps sepanjang tahun tersebut.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Semakin Menginginkan The Fed Mem-pivot Kebijakan

Terbelahnya pejabat The Fed dalam menentukan kebijakan moneter ke depan menghembuskan harapan kepada pelaku pasar jika pivot kebijakan The Fed akan segera terjadi.

Pivot merujuk pada kebijakan yang berbalik arah dengan cepat dari kebijakan ketat ke pelonggaran kebijakan atau sebaliknya dari kebijakan longgar ke kebijakan ketat. Kondisi ini terjadi jika kondisi ekonomi berubah secara drastis sehingga The Fed tidak bisa melanjutkan stance kebijakan sebelumnya.

The Fed sendiri beberapa kali telah mem-pivot kebijakan mereka. Sejak periode 2000, The Fed setidaknya pernah mem-pivot kebijakan mereka tiga kali. Pada akhir 2000 hingga 2001, terjadi ledakan dot-com bubble setelah lonjakan saham berbasis teknologi. Ekonomi AS anjlok pada akhir 2000 hingga 2001.

Untuk mendorong pertumbuhan, The Fed kemudian memberlakukan kebijakan moneter yang sangat longgar. Secara keseluruhan, The Fed memangkas suku bunga sebesar 550 bps dari 6,5% pada akhir 2000 menjadi 1% pada Juni 2003.

Saat ekonomi AS mulai tumbuh kencang, The Fed kemudian mengerek suku bunga 425 bps selama tiga tahun dari 1% pada Juni 2003 menjadi 5,25% pada Juni 2006.

Pivot kebijakan kembali terjadi pada 2007-2008. Krisis Finansial AS dan global membuat Negara Paman Sam jatuh ke jurang resesi. Lonjakan pengangguran dan perlambatan ekonomi membuat pemangku moneter membalik arah kebijakan mereka dengan cepat.

Kebijakan moneter ketat pada periode 2004-2006 berakhir. The Fed memangkas suku bunga acuan bahkan ke level terendahnya. Pada kurun waktu 2007-2008, The Fed memangkas suku bunga 525 bps dari 5,25% menjadi kisaran 0-0,25% pada akhir 2008.

Setelah ekonomi AS kembali melaju, The Fed secara perlahan menaikkan suku bunga hingga bertengger di kisaran 2,25-2,50% pada akhir 2018.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada Maret 2020 juga membuat The Fed melakukan pivot kebijakan dengan cepat.

Setelah era kebijakan ketat, The Fed memangkas suku bunga 150 bps pada  Maret 2020 ke level terendahnya kembali 0-0,25%. The Fed bahkan memangkas suku bunga hingga 150 bps dua kali dalam sebulan masing-masing 50 bps pada 3 Maret dan 100 bps pada 16 Maret 2020 mengingat besarnya perlambatan ekonomi yang dihadapi AS dan seluruh dunia.

Analis menilai pivot kebijakan The Fed tidak selamanya berhasil. Pada periode 1970an, The Fed dinilai terlalu cepat melonggarkan kebijakan ketat mereka sehingga membawa AS ke periode stagflasi. Kondisi inilah yang ingin dihindari Chairman The Fed Jerome Powel.

"Sejarah mengingatkan kita dengan keras mengenai pelonggaran moneter yang dilakukan secara premature. Saya bisa yakinkan kepada Anda jika bank sentral berkomitmen kuat untuk menurunkan inflasi sampai tugas itu berhasil," tutur Powell, dalam acara Annual Monetary Conference yang diselenggarakan Cato Institute, awal September lalu.

Penulis dan public speaker Nomi Prins memperkirakan The Fed akan mem-pivot kebijakan mereka dalam tiga tahap. Pertama adalah dengan memperlambat kenaikan suku bunga dari 75 bps menjadi 50 bps. Kedua adalah dengan menahan suku bunga acuan dan di tahap tiga mereka baru akan memangkasnya.

"Kenaikan suku bunga acuan sejauh ini telah berdampak kepada ekonomi riil masyarakat. Kenaikan suku bunga menambah ongkos pinjaman pada masyarakat umum, konsumen nyata sehari-hari," ujar Prins, dikutip dari CNBC International. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indikator Ekonomi AS Berjalan Saling Bertentangan

The Fed selalu menegaskan jika tujuan utama kebijakan hawkish mereka adalah untuk menurunkan inflasi AS ke level 2%. Namun, mereka juga mengatakan tidak akan menutup mata pada perkembangan data lain.

Inflasi AS mencapai ke 8,2% (year on year/yoy) pada September.  Laju inflasi memang lebih rendah dibandingkan pada Agustus yang tercatat 8,3% (yoy) tetapi masih di atas ekspektasi pasar yakni 8,1% (yoy). Secara bulanan, inflasi AS menyentuh 0,4% pada September. Inflasi masih dua kali lipat dari ekspektasi pasar.

Tingkat pengangguran melandai ke 3,5% pada September 2022 dari 3,7% pada Agustus.

Data indeks harga produsen (IPP). IPP September dilaporkan menguat 0,4% (month to month/mtm) dan naik 8,5% (year on year/yoy). Kenaikan jauh di atas ekspektasi pasar.

Secara bulanan, indeks menguat untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir.  Secara tahunan, indeks sebenarnya lebih rendah dibandingkan yang tercatat pada Agustus yakni 8,7% (yoy).

Data- data tersebut menjadi sinyal jika ekonomi dan inflasi AS masih tinggi cepat sehingga  The Fed kemungkinan menaikkan suku bunga acuan pada November mendatang.

Namun, indikator lain menunjukkan jika ekonomi AS sedang tidak baik-baik saja. Penjualan ritel AS naik 8,2% (yoy) pada September. Pertumbuhan tersebut melandai dibandingkan Agustus yang tercatat 9,4% (yoy). Secara bulanan, penjualan ritel stagnan dari tumbuh 0,4% pada Agustus.

PMI Manufaktur AS yang menunjukkan aktivitas ekonomi juga sudah terkontraksi selama empat bulan beruntun.

Ekonomi AS hanya tumbuh 1,8% (yoy) pada kuartal II-2022, jauh lebih rendah dibandingkan pada kuartal I-2022 yang tercatat 3,70%. Secara kuartalan, ekonomi AS terkontraksi 0,6% pada kuartal II-2022. Kontraksi lebih rendah dibandingkan pada kuartal I-2022 yang tercatat 1,6%.

Dengan terkontraksi pada dua kuartal, AS secara teknikal sudah memasuki resesi. Harga rumah di AS juga melemah lebih cepat. Survei S&P Case-Shiller menujukkan harga rumah pada September  anjlok 15,6% dibandingkan bulan sebelumnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular