Newsletter

Wall Street Loyo Lagi, IHSG Masih Bisa 'Happy Weekend'?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
21 October 2022 06:10
Karyawan melintas di samping layar elektronik yang menunjukkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (11/10/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Kamis (20/10/2022) terpantau cenderung beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat. Sedangkan rupiah ditutup melemah, dan harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup bervariasi.

Di pasar saham dalam negeri, menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melonjak 1,75% ke posisi 6.980,65. IHSG kembali ke zona psikologis 6.900 kemarin.

IHSG dibuka terkoreksi 0,19% di posisi 6.847,53. Namun selang beberapa menit setelah dibuka, IHSG berhasil berbalik arah ke zona hijau. Dari awal perdagangan sesi I hingga akhir perdagangan kemarin, IHSG sejatinya bergerak di zona hijau.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitaran Rp 16 triliun dengan melibatkan 25 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak 350 saham naik, 196 saham turun, dan 158 saham lainnya mendatar.

Investor asing tercatat melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 873,85 miliar di seluruh pasar reguler, di mana rinciannya yakni sebesar Rp 861 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 12,85 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas melemah. Kecuali indeks BSE Sensex India, KLCI Malaysia, SETI Thailand, dan termasuk IHSG.

Dari yang terkoreksi, indeks Hang Seng Hong Kong memimpin yakni ambles 1,4%. Sedangkan dari yang menguat, IHSG menjadi juara.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah dihadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Mengacu pada data Refinitiv, rupiah melemah 0,23% pada pembukaan perdagangan di Rp 15.530/US$. Sayangnya, rupiah melanjutkan koreksinya sebesar 0,52% ke Rp 15.575/US$ pada pukul 11:00 WIB.

Di penutupan perdagangan, rupiah tembus ke Rp 15.570/US$, melemah 0,48% di pasar spot. Dengan demikian, rupiah masih berada di posisi terlemahnya dalam 2,5 tahun terakhir. Tepatnya sejak 30 April 2020 lalu.

Sedangkan di kawasan Asia-Pasifik, sebagian besar terpantau menguat dihadapan The Greenback. Ringgit Malaysia menemani rupiah kemarin, di mana ringgit juga melemah 0,19% terhadap dolar AS.

Sementara dari yang menguat, won Korea Selatan menjadi juaranya, di mana mata uang Negeri Ginseng tersebut menguat 0,69% terhadap greenback.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Kamis kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin harganya secara mayoritas ditutup melemah, menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara turun tipis 0,1 basis poin (bp) menjadi 7,508%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis kemarin.

Hanya IHSG saja yang tidak terlalu terpengaruh dari sentimen kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI).

BI kembali menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bp menjadi 4,75%.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia kemarin juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bp menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bp menjadi 5,50%.

Dengan demikian, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bp pada tahun ini, masing-masing 25 bp pada Agustus, 50 bp pada September, dan 50 bp pada Oktober. Suku bunga acuan dengan cepat naik dari 4,50% pada Juli menjadi 4,75% pada Oktober.

Kenaikan BI7DRR sebesar 50 bp secara beruntun adalah yang pertama kali sejak Agustus 2013. Pada Juli 2013, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bp menjadi 6,5% pada Juli.

Pada rapat regular 15 Agustus 2013, BI awalnya mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 6,5%. Namun, rupiah yang terus terperosok membuat kubu MH Thamrin menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bp lagi di RDG tambahan pada 29 Agustus menjadi 7,0%.

Kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bp juga sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.

Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, sebanyak lima lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 25 bp menjadi 4,50%, tujuh lembaga/institusi memproyeksi kenaikan BI7DRR sebesar 50 bp menjadi 4,75% sementara satu lembaga memperkirakan kenaikan sebesar 75 bp menjadi 5,00%.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan kenaikan suku bunga secara agresif dilakukan sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting). Juga, memastikan inflasi inti ke akan di bawa ke level yang lebih rendah dari 4% di paruh pertama 2023.

"(Kenaikan 50 bp) juga memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat," tutur Perry, saat menggelar konferensi pers hasil RDG Oktober, Kamis (20/10/2022).

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup di zona merah pada perdagangan Kamis kemarin, di tengah naiknya kembali imbal hasil obligasi pemerintah AS.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,3% ke posisi 30.333,59, S&P 500 merosot 0,8% ke 3.665,78 dan Nasdaq Composite terkoreksi 0,61% menjadi 10.614,84.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) yang kembali naik membuat Wall Street kembali dibuka kurang bergairah.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun naik 6 basis poin (bp) menjadi 4,612%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun terpantau melonjak 10,3 bp menjadi 4,232%.

Yield Treasury tenor 10 tahun menyentuh level tertingginya sejak tahun 2008 silam.

Kenaikan yield Treasury menjadi salah satu alasan mengapa banyak ahli strategi skeptis bahwa pasar dapat mempertahankan reli dalam waktu dekat, meskipun musim rilis kinerja keuangan emiten di AS pada kuartal III-2022 sejauh ini lebih baik dari yang diharapkan.

"Dugaan kami adalah bahwa kinerja keuangan akan cukup baik untuk menjaga pasar dalam kisaran perdagangan, tetapi hal itu tidak cukup untuk mengirimnya kembali ke pertengahan musim panas yang tinggi dan mengingat sifat kebijakan moneter yang tertinggal, kami berpendapat bahwa waktu saat ini tidak tepat bahwa pasar telah pulih," kata Michael Shaoul, analis dari Marketfield Asset Management, dikutip dari CNBC International.

"Kami akan mencatat bahwa suku bunga AS terus mendorong ke siklus tertinggi baru, membantu dolar AS mengalahkan rekan-rekannya," tambah Shaoul.

Kenaikan suku bunga telah memukul pasar saham AS sepanjang tahun ini, karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terus mencoba mendinginkan inflasi yang tidak terlihat dalam beberapa dekade.

Para pejabat The Fed kembali menekankan bahwa mereka perlu melanjutkan langkah agresifnya selama inflasi masih panas.

Presiden The Fed Chicago, Charles Evans mengatakan pada Rabu lalu bahwa inflasi masih terlalu tinggi dan bahwa The Fed perlu melanjutkan pendekatan kebijakannya saat ini.

"The Fed perlu meneruskan kebijakannya yang sekarang. Dan bagaimanapun, kenaikan suku bunga lebih jauh akan tetap membebani ekonomi," kata Evans.

Pasar memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan November mendatang.

Mengacu pada FedWatch, sebanyak 95,1% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.

Di lain sisi, pengajuan pertama kali untuk asuransi pengangguran menurun pekan lalu dan jauh di bawah perkiraan Wall Street, berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS.

Klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir 16 Oktober mencapai 214.000, turun 12.000 dari minggu sebelumnya dan kurang dari 230.000 dari ekspektasi pasar dalam survei Dow Jones.

Sedangkan klaim lanjutan, yang datanya pada seminggu ke belakang, meningkat 21.000 menjadi 1,385 juta, sedikit di atas perkiraan 1,38 juta dari FactSet.

Meski pelaku pasar di AS kembali khawatir dengan potensi resesi, tetapi mereka tetap melanjutkan perhatiannya ke musim rilis kinerja keuangan emiten di AS pada kuartal III-2022.

Terbaru, saham telekomunikasi di AS AT&T melejit 7,7% dan saham manufaktur komputer IBM ditutup melesat 4,7%, setelah keduanya mengalahkan prediksi kinerja keuangan pada kuartal III-2022.

Namun, saham produsen mobil listrik Tesla ambles 6% di akhir perdagangan, setelah perseroan memprediksi akan kehilangan target pengiriman di tahun ini. Perusahaan juga membukukan pendapatan kuartalan yang meleset dari ekspektasi.

Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang kembali kurang bergairah pada perdagangan kemarin.

Wall Street melemah dalam dua hari beruntun, setelah di dua hari pada awal pekan ini melesat karena naiknya kembali yield Treasury, di mana yield Treasury tenor 10 tahun mencapai level tertingginya sejak tahun 2008.

Kenaikan suku bunga telah memukul pasar saham AS sepanjang tahun ini, karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terus mencoba mendinginkan inflasi yang tidak terlihat dalam beberapa dekade.

Kini, pasar memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan November mendatang.

Mengacu pada FedWatch, sebanyak 95,1% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.

Selain itu, klaim pengangguran yang cenderung menurun membuat pasar tenaga kerja masih cenderung positif, membuat The Fed semakin yakin untuk bersikap makin agresif.

Klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir 16 Oktober mencapai 214.000, turun 12.000 dari minggu sebelumnya dan kurang dari 230.000 dari ekspektasi pasar dalam survei Dow Jones.

Selain itu, pasar masih perlu mencermati dampak dari penundaan rilis data pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) China pada kuartal III-2022.

Hingga kemarin, data PDB China masih belum juga dirilis. Artinya, sudah dua hari rilis tersebut tertunda.

Yang menjadi masalah adalah tidak ada penjelasan dari Biro Statistik Nasional China (NBS) kenapa dilakukan penundaan dan sampai kapan. Yang pasti, penundaan tersebut terjadi saat Kongres Partai Komunis China berlangsung.

Penundaan tanpa alasan tersebut membuat investor was-was, sebab perekonomian China sedang diliputi 'kegelapan'.

Kekhawatiran investor tercermin dari pergerakan yuan China dan indeks Shanghai Composite yang terus melemah. Kemarin, yuan sempat melemah 0,28%, meski pada akhirnya ditutup menguat tipis. Tetapi indeks Shanghai Composite masih melemah 0,31%.

Perekonomian China diperkirakan akan mencatat kinerja terburuk dalam hampir 5 dekade terakhir. Penyebabnya, datang dari dalam dan luar negeri.

Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976. Pada 2020 lalu, PDB China tumbuh 2,2% saja, tetapi hal yang sama juga melanda dunia.

Selain itu, pasar juga perlu mencermati rilis data inflasi di Jepang, di mana data inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) Jepang pada periode September 2022 akan dirilis pada hari ini.

Konsensus pasar di Trading Economics memperkirakan IHK Negeri Sakura pada bulan lalu naik menjadi 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 3%.

Sedangkan, IHK inti Jepang diprediksi juga naik tipis menjadi 2,9% pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 2,8%.

Dari dalam negeri, sentimen dari kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) masih akan menjadi fokus perhatian pasar pada hari ini.

BI kembali menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bp menjadi 4,75%.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia kemarin juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bp menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bp menjadi 5,50%.

Dengan demikian, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bp pada tahun ini, masing-masing 25 bp pada Agustus, 50 bp pada September, dan 50 bp pada Oktober. Suku bunga acuan dengan cepat naik dari 4,50% pada Juli menjadi 4,75% pada Oktober.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bp pada Oktober juga sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda ambruk dalam sepekan terakhir karena perkasanya dolar AS.

Rupiah juga sudah ambruk 1,36% sepekan dan ambles 2,23% dalam sebulan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Dari 10 negara ASEAN, kinerja rupiah hanya lebih baik dibandingkan dong Vietnam yang ambruk 1,78% sepekan.

Secara khusus Perry juga menggarisbawahi ada lima risiko yang harus dicermati dalam perkembangan ekonomi global dan domestik.

Lima risiko tersebut adalah kondisi perekonomian dan keuangan global, lonjakan inflasi global, kebijakan moneter ketat di negara maju, kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed), serta persepsi investor.

"Kondisi ekonomi dan keuangan global pada tahun depan, ke depannya penuh tantangan. Perlambatan ekonomi terjadi, terutama di AS dan Tiongkok. Inflasi global juga sangat tinggi terutama di Eropa sehingga menyebabkan inflasi global tinggi," tutur Perry.

Dia menambahkan kebijakan moneter ketat di negara maju mengancam pertumbuhan ekonomi di emerging market seperti Indonesia.  Kenaikan suku bunga acuan The Fed (FFR) juga melambungkan dolar AS sehingga mata uang global terutama emerging market tertekan.

Perry memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan hingga menjadi 4,75% dari posisi saat ini 3,0-3,25%.

"Dalam kondisi serba tak pasti, ada kecenderungan investor menarik dari emerging market dan menumpuk ke dalam tunai. Cash is the king," ujarnya.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data indeks harga produsen Korea Selatan periode September 2022 (04:00 WIB),
  2. Rilis data indeks keyakinan konsumen GFK Inggris periode Oktober 2022 (06:01 WIB),
  3. Rilis data indeks harga konsumen Jepang periode September 2022 (06:30 WIB),
  4. Data uang beredar M2 Indonesia periode September 2022 (10:00 WIB),
  5. Rilis data penjualan ritel Inggris periode September 2022 (13:00 WIB),
  6. Rilis data awal indeks keyakinan konsumen Uni Eropa periode Oktober 2022 (21:00 WIB).

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Luar Biasa PT Indo Straits Tbk (10:00 WIB),
  2. RUPS Luar Biasa PT Maharaksa Biru Energi Tbk (14:00 WIB),
  3. Pembayaran dividen tunai PT Eastparc Hotel Tbk.

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY)

5,44%

Inflasi (September 2022 YoY)

5,95%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022)

4,75%

Surplus Anggaran (APBN 2022)

3,92% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY)

1,1% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (September 2022)

US$ 130,8 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular