Newsletter

Wall Street Loyo Lagi, IHSG Masih Bisa 'Happy Weekend'?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
21 October 2022 06:10
federal reserve
Foto: Reuters

Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang kembali kurang bergairah pada perdagangan kemarin.

Wall Street melemah dalam dua hari beruntun, setelah di dua hari pada awal pekan ini melesat karena naiknya kembali yield Treasury, di mana yield Treasury tenor 10 tahun mencapai level tertingginya sejak tahun 2008.

Kenaikan suku bunga telah memukul pasar saham AS sepanjang tahun ini, karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terus mencoba mendinginkan inflasi yang tidak terlihat dalam beberapa dekade.

Kini, pasar memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan November mendatang.

Mengacu pada FedWatch, sebanyak 95,1% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.

Selain itu, klaim pengangguran yang cenderung menurun membuat pasar tenaga kerja masih cenderung positif, membuat The Fed semakin yakin untuk bersikap makin agresif.

Klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir 16 Oktober mencapai 214.000, turun 12.000 dari minggu sebelumnya dan kurang dari 230.000 dari ekspektasi pasar dalam survei Dow Jones.

Selain itu, pasar masih perlu mencermati dampak dari penundaan rilis data pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) China pada kuartal III-2022.

Hingga kemarin, data PDB China masih belum juga dirilis. Artinya, sudah dua hari rilis tersebut tertunda.

Yang menjadi masalah adalah tidak ada penjelasan dari Biro Statistik Nasional China (NBS) kenapa dilakukan penundaan dan sampai kapan. Yang pasti, penundaan tersebut terjadi saat Kongres Partai Komunis China berlangsung.

Penundaan tanpa alasan tersebut membuat investor was-was, sebab perekonomian China sedang diliputi 'kegelapan'.

Kekhawatiran investor tercermin dari pergerakan yuan China dan indeks Shanghai Composite yang terus melemah. Kemarin, yuan sempat melemah 0,28%, meski pada akhirnya ditutup menguat tipis. Tetapi indeks Shanghai Composite masih melemah 0,31%.

Perekonomian China diperkirakan akan mencatat kinerja terburuk dalam hampir 5 dekade terakhir. Penyebabnya, datang dari dalam dan luar negeri.

Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976. Pada 2020 lalu, PDB China tumbuh 2,2% saja, tetapi hal yang sama juga melanda dunia.

Selain itu, pasar juga perlu mencermati rilis data inflasi di Jepang, di mana data inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) Jepang pada periode September 2022 akan dirilis pada hari ini.

Konsensus pasar di Trading Economics memperkirakan IHK Negeri Sakura pada bulan lalu naik menjadi 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 3%.

Sedangkan, IHK inti Jepang diprediksi juga naik tipis menjadi 2,9% pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 2,8%.

Dari dalam negeri, sentimen dari kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) masih akan menjadi fokus perhatian pasar pada hari ini.

BI kembali menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bp menjadi 4,75%.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia kemarin juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bp menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bp menjadi 5,50%.

Dengan demikian, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bp pada tahun ini, masing-masing 25 bp pada Agustus, 50 bp pada September, dan 50 bp pada Oktober. Suku bunga acuan dengan cepat naik dari 4,50% pada Juli menjadi 4,75% pada Oktober.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bp pada Oktober juga sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda ambruk dalam sepekan terakhir karena perkasanya dolar AS.

Rupiah juga sudah ambruk 1,36% sepekan dan ambles 2,23% dalam sebulan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Dari 10 negara ASEAN, kinerja rupiah hanya lebih baik dibandingkan dong Vietnam yang ambruk 1,78% sepekan.

Secara khusus Perry juga menggarisbawahi ada lima risiko yang harus dicermati dalam perkembangan ekonomi global dan domestik.

Lima risiko tersebut adalah kondisi perekonomian dan keuangan global, lonjakan inflasi global, kebijakan moneter ketat di negara maju, kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed), serta persepsi investor.

"Kondisi ekonomi dan keuangan global pada tahun depan, ke depannya penuh tantangan. Perlambatan ekonomi terjadi, terutama di AS dan Tiongkok. Inflasi global juga sangat tinggi terutama di Eropa sehingga menyebabkan inflasi global tinggi," tutur Perry.

Dia menambahkan kebijakan moneter ketat di negara maju mengancam pertumbuhan ekonomi di emerging market seperti Indonesia.  Kenaikan suku bunga acuan The Fed (FFR) juga melambungkan dolar AS sehingga mata uang global terutama emerging market tertekan.

Perry memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan hingga menjadi 4,75% dari posisi saat ini 3,0-3,25%.

"Dalam kondisi serba tak pasti, ada kecenderungan investor menarik dari emerging market dan menumpuk ke dalam tunai. Cash is the king," ujarnya.

(chd/chd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular