Jakarta, CNCB Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan Kamis (22/9/2022) kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara mengejutkan ditutup menguat, rupiah tercatat melemah, sedangkan mayoritas surat berharga negara (SBN) ramai dilepas investor terlihat dari naiknya angka imbal hasil.
Indeks acuan utama bursa domestik, kemarin menguat 0,43% di 7.218,91 setelah dibuka di zona merah. Pelemahan di awal perdagangan ini selaras dengan yang terjadi di bursa Asia lainnya merespons amblasnya indeks utama Wall Street setelah The Fed mengumumkan kenaikan kembali suku bunga acuan sebesar 75 bps. Akan tetapi pada perdagangan sesi kedua, IHSG mampu menjaga penguatan dan berakhir di zona hijau.
Mayoritas indeks sektoral juga berakhir menguat, kecuali sektor konsumer siklikal (non-primer), kesehatan dan teknologi yang terdepresiasi.
Sektor energi menguat 2,21% dan menjadi pendorong utama penguatan IHSG kemarin. Sementara itu secara spesifik emiten pertambangan merupakan penggerak utama, dengan empat daily moversteratas berasal dari grup industri tersebut. Selanjutnya terdapat dua emiten pertambangan lagi dalam jajaran top 10 daily movers.
Nilai transaksi indeks mengalami kenaikan dari beberapa hari terakhir menjadi Rp 13 triliun, namun masih jauh lebih rendah dari rata-rata harian pekan lalu yang mencapai lebih dari Rp 20 triliun. Sebanyak 31 miliaran saham yang berpindah tangan 1,42 juta kali, dengan 277 saham terapresiasi, 233 saham terdepresiasi, dan 185 saham lainnya stagnan.
Kondisi berbeda terjadi di pasar keuangan lain, di mana kemarin rupiah kembali melemah tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) dan ditutup menembus level psikologis Rp 15.000/US$.
Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.015/US$, melemah 0,13% di pasar spot. Sebelumnya, Mata Uang Garuda sempat menyentuh Rp 15.040/US$ yang merupakan level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Meski melemah, rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia pada hari ini. Sebab pelemahannya paling kecil setelah Bank Indonesia (BI) memberikan kejutan dengan menaikkan suku bunga lebih tinggi dan menyatakan komitmen untuk menjaga agar nilai tukar rupiah tetap stabil.
Sama dengan yang terjadi rupiah, investor pasar modal juga tampaknya merespons positif kenaikan suku bunga yang merupakan langkah utama untuk menurunkan ekspektasi inflasi.
Pada pengumuman hasil RDG hari ini, BI menyatakan kenaikan suku bunga juga dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
Terakhir dari pasar obligasi, harga mayoritas SBN ditutup melemah. Imbal hasil SBN nyaris secara eksklusif turun kemarin, kecuali untuk SBN tenor 3 tahun yang malah diburu oleh investor dan ditandai dengan turunnya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun turun 1,2 basis poin (bp) ke posisi 6,226% pada perdagangan hari ini.
Pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali terkoreksi pada hari Kamis (22/9) pasca pengumuman kenaikan suku bunga yang masih agresif oleh The Fed. Hal ini membuat investor semakin khawatir bahwa kebijakan bank sentral untuk mengekang inflasi yang masih liar akan mendorong ekonomi ke jurang resesi.
Ketiga indeks utama Wall Street menyelesaikan sesi hari Kamis di zona merah. S&P 500 turun 0,84%, sedangkan indeks padat teknologi NASDAQ ambles 1,37%. Terakhir indeks perusahaan blue chip Dow Jones Industrial Average ditutup 107,10 poin lebih rendah, atau melemah 0,35%.
Saham teknologi dan semikonduktor yang berorientasi pertumbuhan turun signifikan di tengah kekhawatiran memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sektor industri dan konsumer non-primer adalah sektor S&P 500 yang berkinerja terburuk, masing-masing kehilangan sekitar 1,5% dan 2,2%, karena ketergantungan mereka pada siklus ekonomi.
"The Fed membuka jalan bagi sebagian besar ekonomi dunia untuk melanjutkan kenaikan suku bunga yang agresif yang [berpotensi] menyebabkan resesi global, dan seberapa parahnya akan ditentukan pada berapa lama inflasi turun," kata Ed Moya , seorang analis pasar senior di Oanda dilansir CNBC Internasional.
Kenaikan siklus kali ini sejatinya sesuai dengan ekspektasi pasar, akan tetapi komentar The Fed yang mengindikasikan The Fed tetap hawkish membuat investor makin waswas. Tingkat suku bunga terminal atau posisi FFR di mana bank sentral akan mengakhiri rezim pengetatannya diproyeksikan akan mencapai 4,6%.
Selanjutnya Imbal hasil Treasury kembali melonjak. Penjualan masif terjadi baik itu di surat utang tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Imbal hasil obligasi melonjak lagi pada hari Kamis, dengan yield pada surat utang Treasury 10 tahun dan 2 tahun mencapai angka tertinggi multi-tahun baru. Yield obligasi 10-tahun AS tembus 3,705%, naik drastis dari 3,511% pada Rabu dan merupakan peningkatan satu hari terbesar sejak Juni.
Hal ini menandakan bahwa kenaikan yield hari Kamis bukan sekadar tanggapan atas rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga, yang mana seharusnya hanya berdampak pada dilepasnya obligasi jangka pendek oleh investor.
Ada spekulasi di Wall Street bahwa penjualan Treasury didorong setidaknya sebagian oleh keputusan Jepang untuk memperkuat yen dengan menjual dolar dan membeli mata uang Jepang. Namun, belum ada bukti nyata tentang efek itu.
Sebelumnya, Gubernur Bank Jepang Haruhiko Kuroda mengisyaratkan bahwa suku bunga Negeri Sakura kemungkinan akan tetap mendekati nol selama beberapa tahun ke depan. Kurang dari satu jam kemudian, pemerintah mengatakan telah melakukan intervensi di pasar valas untuk menjual dolar dan membeli yen. Langkah seperti ini merupakan yang pertama sejak 1998.
Hari ini sentimen utama yang berpotensi menggerakkan IHSG akan didominasi oleh respons pasar akan kebijakan moneter terbaru terkait suku bunga dan implikasinya ke ekonomi yang lebih luas termasuk pasar modal.
Selain Bank Indonesia, berikut adalah keputusan suku bunga sejumlah bank sentral utama dunia yang dapat mempengaruhi arah ekonomi global.
Dini hari kemarin The Fed resmi menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 bps dalam kali ketiga beruntun. Keputusan yang diperoleh dengan suara bulat 12 anggota komite tersebut akan menaikkan suku bunga acuan AS atau federal-funds rate (FFR) ke kisaran antara 3% dan 3,25%, level yang terakhir terlihat pada awal 2008.
The Fed juga masih tetap hawkish dan mengisyaratkan kenaikan besar tambahan kemungkinan akan terjadi pada pertemuan mendatang karena demi memerangi inflasi yang tetap mendekati level tertinggi 40 tahun.
Bank sentral Jepang (BoJ) sesuai ekspektasi masih menahan tingkat suku bunga ultra rendah di minus (-) 0,1%, namun akan melakukan intervensi di pasar valas dengan membeli yen dan melepas dolar AS. Langkah ini merupakan yang pertama dalam 24 tahun dan diharapkan dapat memperbaiki nilai tukar yen, salah satu mata uang yang paling terdampak atas penguatan dolar AS.
Bank sentral Swiss (SNB) menaikkan suku bunga sebesar 75 bps menjadi 0,5%, menjadikannya salah satu bank sentral terakhir yang keluar dari wilayah negatif. Kemudian Bank of England menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps menjadi 2,25%, dan akan mempercepat pengetatan kuantitatif dan mulai melepas sejumlah kepemilikan obligasi.
Negara lain yang menaikkan suku bunga acuannya termasuk Norwegia sebesar 50 bps menjadi 2,25%, Taiwan sebesar 12,5 poin menjadi 1,625%, Filipina sebesar 50 bps menjadi 4,25% dan Afrika Selatan sebesar 75 bps menjadi 6,25%.
Sementara itu Turki masih mengambil langkah kontrarian dan malah memangkas suku bunga acuannya 100 bps menjadi 12%, meskipun negara pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan tersebut bulan lalu mengalami inflasi hingga 80% secara tahunan (yoy).
Inflasi global yang semakin liar memaksa mayoritas bank sentral utama dunia mengetatkan kebijakan moneternya dan menaikkan suku bunga secara tajam. Hal ini pada akhirnya berpotensi memperlambat ekonomi, dengan sejumlah organisasi besar seperti Bank Dunia telah mewanti-wanti.
Bank Dunia baru -baru ini mengatakan bank sentral global kompak "menaikkan suku bunga tahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang tidak terlihat selama lima dekade terakhir" dan memperingatkan kebijakan yang lebih ketat dapat memicu resesi global tahun depan.
Sentimen berikutnya yang juga patut disimak adalah perkembangan baru dari konflik di Eropa Timur. Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini mengumumkan akan menambah pasukan militer dengan jumlah sekitar 300.000 ke wilayah Ukraina, setelah belakangan mampu dipukul mundur si sejumlah wilayah. Pasukan itu kabarnya juga dikerahkan untuk mengamankan referendum yang rumornya diprakarsai Moskow di empat wilayah utama separatis di timur dan selatan Ukraina.
Perang yang kembali memanas dapat pergerakan harga komoditas kembali liar yang mana perubahan harga tersebut sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global.
Sejumlah komoditas yang harganya dapat terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk minyak mentah, gas alam dan batu bara, serta minyak nabati hingga gandum.
Selanjutnya investor juga patut memantau imbal hasil obligasi AS yang beberapa hari terus melonjak ke level tertinggi baru multi-tahun.
Menguatnya imbal hasil surat berharga AS juga akan berdampak bagi pasar keuangan RI, yang mana karena spread yang kian menyempit tersebut, membuat pasar keuangan domestik menjadi semakin kurang menarik.
Terakhir, menarik bagi investor untuk memantau pergerakan dolar juga masih kuat dan diperkirakan akan semakin perkasa karena The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya. Saat ini dollar index (yang mengukur Greenback dengan enam mata uang utama) telah menembus level 111 dan merupakan yang tertinggi dalam 20 tahun.
Penguatan dolar dapat menghantam rupiah dan menjadi sentimen negatif bagi sejumlah emiten tanah air. Baik itu yang kinerjanya tergerus karena harus mengimpor barang mentah yang dibayarkan dengan dolar, atau perusahaan dengan likuiditas yang tertekan yang harus membayarkan utang dalam denominasi dolar AS.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
Indeks kepercayaan konsumen Inggris September (06.00)
Laju inflasi Malaysia Agustus (11.00)
Laju inflasi Singapura (12.00)
Pembacaan awal PMI Prancis September (14.15)
Pembacaan awal PMI Jerman September (14.30)
Pembacaan awal PMI zona euro September (15.00)
Pembacaan awal PMI Inggris September (15.30)
Pembacaan awal PMI AS September (20.45)
Dengan berakhirnya musim laporan keuangan dan RUPST, hari ini hanya terdapat dua agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank Syariah Indonesia (BRIS) dan cum date dividen tunai Golden Eagle Energi (SMMT).
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA