Newsletter

Ancaman Resesi Kian Ngeri, IHSG Bisa Happy Weekend?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
23 September 2022 06:00
Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan September 2022. (Tangkapan layar Youtube BI)
Foto: Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan September 2022. (Tangkapan layar Youtube BI)

Hari ini sentimen utama yang berpotensi menggerakkan IHSG akan didominasi oleh respons pasar akan kebijakan moneter terbaru terkait suku bunga dan implikasinya ke ekonomi yang lebih luas termasuk pasar modal.

Selain Bank Indonesia, berikut adalah keputusan suku bunga sejumlah bank sentral utama dunia yang dapat mempengaruhi arah ekonomi global.

Dini hari kemarin The Fed resmi menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 bps dalam kali ketiga beruntun. Keputusan yang diperoleh dengan suara bulat 12 anggota komite tersebut akan menaikkan suku bunga acuan AS atau federal-funds rate (FFR) ke kisaran antara 3% dan 3,25%, level yang terakhir terlihat pada awal 2008.

The Fed juga masih tetap hawkish dan mengisyaratkan kenaikan besar tambahan kemungkinan akan terjadi pada pertemuan mendatang karena demi memerangi inflasi yang tetap mendekati level tertinggi 40 tahun.

Bank sentral Jepang (BoJ) sesuai ekspektasi masih menahan tingkat suku bunga ultra rendah di minus (-) 0,1%, namun akan melakukan intervensi di pasar valas dengan membeli yen dan melepas dolar AS. Langkah ini merupakan yang pertama dalam 24 tahun dan diharapkan dapat memperbaiki nilai tukar yen, salah satu mata uang yang paling terdampak atas penguatan dolar AS.

Bank sentral Swiss (SNB) menaikkan suku bunga sebesar 75 bps menjadi 0,5%, menjadikannya salah satu bank sentral terakhir yang keluar dari wilayah negatif. Kemudian Bank of England menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps menjadi 2,25%, dan akan mempercepat pengetatan kuantitatif dan mulai melepas sejumlah kepemilikan obligasi.

Negara lain yang menaikkan suku bunga acuannya termasuk Norwegia sebesar 50 bps menjadi 2,25%, Taiwan sebesar 12,5 poin menjadi 1,625%, Filipina sebesar 50 bps menjadi 4,25% dan Afrika Selatan sebesar 75 bps menjadi 6,25%.

Sementara itu Turki masih mengambil langkah kontrarian dan malah memangkas suku bunga acuannya 100 bps menjadi 12%, meskipun negara pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan tersebut bulan lalu mengalami inflasi hingga 80% secara tahunan (yoy).

Inflasi global yang semakin liar memaksa mayoritas bank sentral utama dunia mengetatkan kebijakan moneternya dan menaikkan suku bunga secara tajam. Hal ini pada akhirnya berpotensi memperlambat ekonomi, dengan sejumlah organisasi besar seperti Bank Dunia telah mewanti-wanti.

Bank Dunia baru -baru ini mengatakan bank sentral global kompak "menaikkan suku bunga tahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang tidak terlihat selama lima dekade terakhir" dan memperingatkan kebijakan yang lebih ketat dapat memicu resesi global tahun depan.

Sentimen berikutnya yang juga patut disimak adalah perkembangan baru dari konflik di Eropa Timur. Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini mengumumkan akan menambah pasukan militer dengan jumlah sekitar 300.000 ke wilayah Ukraina, setelah belakangan mampu dipukul mundur si sejumlah wilayah. Pasukan itu kabarnya juga dikerahkan untuk mengamankan referendum yang rumornya diprakarsai Moskow di empat wilayah utama separatis di timur dan selatan Ukraina.

Perang yang kembali memanas dapat pergerakan harga komoditas kembali liar yang mana perubahan harga tersebut sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global.

Sejumlah komoditas yang harganya dapat terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk minyak mentah, gas alam dan batu bara, serta minyak nabati hingga gandum.

Selanjutnya investor juga patut memantau imbal hasil obligasi AS yang beberapa hari terus melonjak ke level tertinggi baru multi-tahun.

Menguatnya imbal hasil surat berharga AS juga akan berdampak bagi pasar keuangan RI, yang mana karena spread yang kian menyempit tersebut, membuat pasar keuangan domestik menjadi semakin kurang menarik.

Terakhir, menarik bagi investor untuk memantau pergerakan dolar juga masih kuat dan diperkirakan akan semakin perkasa karena The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya. Saat ini dollar index (yang mengukur Greenback dengan enam mata uang utama) telah menembus level 111 dan merupakan yang tertinggi dalam 20 tahun.

Penguatan dolar dapat menghantam rupiah dan menjadi sentimen negatif bagi sejumlah emiten tanah air. Baik itu yang kinerjanya tergerus karena harus mengimpor barang mentah yang dibayarkan dengan dolar, atau perusahaan dengan likuiditas yang tertekan yang harus membayarkan utang dalam denominasi dolar AS.

(fsd/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular