Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia ditutup bervariasi pada perdagangan Senin (12/9/2022) kemarin. Pasar saham yang sempat anjlok mampu ditutup menguat.
Sebaliknya, rupiah yang sembat mengangkasa pada penutupan sesi perdagangan menukik. Sementara itu, Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup di zona hijau pada perdagangan Senin (12/9/2022), setelah sempat terkoreksi pada perdagangan sesi I hari ini.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks bursa saham acuan Tanah Airtersebut ditutup menguat 0,16%ke posisi 7.254,46. IHSG mampu bertahan di zona psikologisnya di 7.200.
Pada awal perdagangan sesi I, IHSG dibuka menguat 0,21% di posisi 7.257,86. Namun sekitar pukul 10:00 WIB, IHSG langsung berbalik ke zona merah hingga awal perdagangan sesi II hari ini.
Pada perdagangan sesi II, IHSG mulai bangkit kembali dari zona merah dan berhasil menyentuh kembali zona hijau pada pukul 14:00 WIB hingga akhir perdagangan hari ini.
Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitaran Rp 13 triliun dengan melibatkan 32 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,5 juta kali. Sebanyak 304 saham menguat, 241 saham melemah, dan 159 saham lainnya stagnan.
Nilai tukar rupiah ditutup melemah 0,08% ke Rp14.840/US$ pada perdagangan kemarin. "Kekeringan" valuta asing yang melanda di dalam negeri menjadi salah satu penyebab rupiah sulit menguat.
Likuiditas valas di dalam negeri tengah tertekan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kredit valasnya lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga valas. Mengutip data terakhir Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit valas tumbuh 16,82% dan DPK valasnya 5,8%.
Sementara harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Senin (12/9/2022).
Mayoritas investor kembali memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan penurunan yield. Namun untuk SBN tenor 3 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv,yield SBN tenor 3 tahun menanjak 5,5 basis poin (bp) ke posisi 6,192%. Sedangkan yield SBN tenor 20 tahun cenderung stagnan di posisi 7,176%.
Yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara kembali turun 0,7 bp ke posisi 7,17%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Tiga indeks utama Wall Street kompak menguat pada sesi perdagangan awal pekan hari ini jelang rilis data inflasi Amerika Serikat.
Dow Jones Industrial Average naik 229,63 poin, atau 0,7%. Kemudian indeks S&P 500 naik 1,6% menjadi 4.110,41, dan Nasdaq Composite bertambah 1,27% menjadi 12.266,41.
Pasar saham bergejolak menjelang pertemuang bank sentral AS, The Fed pada 20-21 September. Investor menanti keputusan Jerome Powell dkk. mengenai kenaikan suku bunga. Hingga saat ini pasar melihat peluang kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin.
Pejabat Fed telah menegaskan dalam beberapa pekan terakhir bahwa mereka akan terus menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi bahkan jika itu merugikan pertumbuhan ekonomi.
Bank Sentral Eropa mengumumkan kenaikan suku bunganya sebesar 75 basis poin minggu lalu, yang telah membantu mendinginkan kenaikan dolar AS baru-baru ini.
"Kami melihat penurunan harga ekuitas dan koreksi dolar baru-baru ini berlanjut hingga minggu ini, karena pasar mengamati puncak hawkish bank sentral jangka pendek dan posisi relatif defensif," kata ahli strategi Citi Ebrahim Rahbari dalam sebuah catatan kepada klien.
Investor juga mencermati rilis inflasi yang akan dirilis pada hari Selasa, diharapkan akan melandai pada Agustus dengan inflasi sebesar 8,1% year-on-year/yoy, dibandingkan dengan 8,5% yoy pada Juli.
Beberapa sentimen termasuk melemahnya dolar AS dan keberhasilan militer Ukraina mampu menopang laju indeks. Banyak pedagang juga optimis tentang laporan indeks harga konsumen Agustus, yang dijadwalkan untuk dirilis pada Selasa.
Laporan tersebut adalah salah satu bagian terakhir dari data inflasi yang akan dilihat Fed menjelang pertemuan September. Penjualan ritel dan laporan produksi industri akan dirilis Kamis.
"Kombinasi dari keberhasilan yang agak mengejutkan di Ukraina, dan kemungkinan berita utama inflasi yang sangat menguntungkan yang bahkan mungkin menunjukkan penurunan untuk bulan lalu, dapat menempatkan kita ke dalam situasi di mana kita memiliki reli yang berkelanjutan di sini," kata Phillip Toews, CEO Manajemen Aset Toews.
"Dan pada saat itu ancaman utama dalam jangka pendek dan jangka menengah adalah apakah pendapatan terus memburuk."
IHSG sempat melemah tapi akhirnya ditutup di zona hijau di penutupan pada perdagangan kemarin. Namun, IHSG masih berada di bayang-bayang resisten kuat 7.285. Jika mampu melewati resisten tersebut, selanjutnya akan ke 7.355. Sementara jika terkoreksi, 7.200 akan menjadi support IHSG.
Sentimen luar negeri tampak masih akan memperngaruhi gerak IHSG hari ini. Tiga indeks Wall Street yang menguat diperkirakan mampu mendorong indeks saham Indonesia menguat secara terbatas.
Selain itu, inflasi Amerika Serikat menjadi yang ditunggu oleh para pelaku pasar hari ini. Data Indeks Harga Konsumen AS, yang akan dirilis pada hari Selasa, diharapkan akan melandai pada Agustus dengan inflasi sebesar 8,1% year-on-year/yoy, dibandingkan dengan 8,5% yoy pada Juli.
Investor pasar ekuitas berharap ketika inflasi melandai membuat agresivitas bank sentral AS, The Fed, dalam menaikkan suku bunga acuannya akan berkurang.
Saat ini, para pelaku pasar memperkirakan suku bunga akan naik 75 basis poin (bp) pada pertemuan The Fed pada 21 September nanti. Berdasarkan perangkat CME FedWatch, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 75 bp adalah 92,0%.
 Foto: FEDWatch Ekspektasi Kenaikan Suku Bunga The Fed |
Dari dalam negeri par apelaku pasar tampak menyambut positif pernyataan Kementerian Keuangan bahwa inflasi akan melandai pada Oktober.
Kenaiakn harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan Kemenkeu akan mengungkit inflasi sebesar 1,38% month-to-month (mtm) pada September. Kemudian akan melambat pada Oktober dan November, masing-masing melaju 0,45% dan 0,27%.
Sehingga inflasi tahunan diperkirakan sebesar 6,3% - 6,7% pada tahun ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramal Kemenkeu berada di atas 5%, tepatnya 5,1% - 5,4%.
Namun pelaku pasar dibebani olehi data neraca perdagangan termasuk ekspor dan impor yang akan dirilis Kamis (15/9/2022) yang diperkirakan melambat pertumbuhannya.
Berdasarkan jajak pendapat Reuters, neraca dagang Indonesia pada Agustus 2022 mencapai US$4,15 miliar. Nilainya turun dari bulan Juli sebesar US$4,22 miliar. Penurunan ini akibat pertumbuhan ekspor dan impor Indonesia untuk Agustus akan melambat dibanding bulan sebelumnya.
Ekspor diperkirakan akan bertumbuh 18,65% year-on-year/yoy, dibandingkan dengan bulan lalu sebesar 32,03% yoy. Sedangkan impor diperkirakan akan tumbuh 27,54% yoy dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tumbuh 39,86%.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data Inflasi Produsen Jepang Agustus 2022 (06:50 WIB)
- Rilis data Inflasi Konsumen Amerika Serikat Agustus 2022 (19:30 WIB)
Berikut agenda korporasi yang akan berlangsung hari ini:
- RUPST PT SKY Energy Indonesia (JSKY) pukul 10.30 WIB
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,44 % |
Inflasi (Agustus 2022, YoY) | 4,69% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2022) | 3,75% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -3,92% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022) | 1,1% PDB |
Cadangan Devisa (Juli 2022) | US$ 132,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA