Alamak! Tingkat Kesengsaraan di Amerika Serikat Makin Tinggi
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar finansial Indonesia sedikit membaik pada perdagangan Kamis kemarin. Rupiah tidak lagi melemah, meski tidak juga menguat. Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu mencatat penguatan tipis.
Di perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (8/7/2022), IHSG dan rupiah punya peluang menguat melihat sentimen pelaku pasar global yang sedikit membaik. Meski demikian, kekhawatiran akan resesi yang dimulai dari Amerika Serikat (AS) masih terus membayangi. Sinyal-sinyal resesi terus bermunculan, bahkan tingkat kesengsaraan melesat. Beberapa isu tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial hari ini akan dibahas pada halaman 3.
IHSG kemarin mampu mencatat penguatan tipis 0,1% ke 6.652,587, setelah bolak-balik ke zona merah.
Meski IHSG menguat, investor asing masih terus melalukan aksi jual bersih (net sell), kemarin nilainya mencapai Rp 671 miliar di pasar reguler, nego dan tunai.
Kemudian rupiah berakhir stagnan di Rp 14.995/US$, padahal sepanjang perdagangan menguat melawan dolar.
Dari pasar obligasi, mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang menanjak. Hanya SBN tenor 1 tahun yang mengalami penurunan yield.
Rilis data cadangan devisa Indonesia mempengaruhi pergerakan pasar.
Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir bulan lalu berada di US$ 136,4 miliar. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 135,6 miliar.
Cadangan devisa merupakan "amunisi" bagi BI untuk melakukan intervensi terhadap pergerakan rupiah jika mengalami tekanan yang besar. BI memiliki kebijakan triple intervention, yakni intervensi di pasar spot, obligasi, dan domestic non-deliverable forward (DNDF).
Stabilitas rupiah menjadi modal penting agar investor asing mau mengalirkan modalnya ke dalam negeri.
"Peningkatan posisi cadangan devisa pada Juni 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa," sebut keterangan tertulis BI.
Selain itu ada rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed), yang mengindikasikan bisa bertindak lebih agresif lagi.
Tingginya inflasi membuat The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Seperti diketahui pada bulan lalu The Fed menaikkan suku bunga 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.
Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan di bulan ini akan kembali menaikkan sekitar 50 - 75 basis poin. Hal itu ditegaskan dalam rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed Kamis dini hari.
Bahkan, dalam notula tersebut tersurat The Fed bisa mengambil kebijakan lebih agresif lagi jika tekanan inflasi belum mereda.
"Para anggota dewan setuju bahwa prospek ekonomi memerlukan kebijakan yang ketat, dan mereka mengakui kebijakan yang lebih ketat lagi akan tepat diambil jika tekanan inflasi yang tinggi terus berlanjut," tulis notula tersebut sebagaimana dilansir CNBC International.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Menghijau, S&P 500 Menguat 4 Hari Beruntun
(pap/pap)