
Dunia Diramal Resesi Tahun Depan, Amankan Duit di Mana Nih?

Wall Street sepanjang pekan lalu memang terpuruk, tetapi pada perdagangan Jumat sebenarnya mampu menguat. Hal ini bisa memberikan sedikit angin segar bagi pasar saham Asia hari ini.
Indeks S&P 500 dan Dow Jones pada perdagangan Jumat tercatat naik masing-masing 1%, sementara Nasdaq 0,9%.
Namun, secara keseluruhan sentimen pelaku pasar masih akan dipengaruhi isu resesi, tidak hanya Amerika Serikat (AS), tetapi juga secara global.
Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.
Sementara itu bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.
Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.
Tanda-tanda Negeri Paman Sam terus bermunculan, selain data sektor manufaktur yang dibahas pada halaman sebelumnya, tingkat keyakinan konsumen juga merosot.
Data yang dirilis pada pekan lalu menunjukkan konsumen AS yang kini tidak pede menatap perekonomian. Conference Board kemarin melaporkan tingkat keyakinan konsumen Juni merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.
Angka di bawah 100 menunjukkan konsumen pesimistis, sementara di atasnya optimistis.
"Prospek konsumen semakin suram akibat kekhawatiran akan inflasi, khususnya kenaikan harga gas dan makanan. Ekspektasi kini turun ke bawah 80, mengindikasikan pertumbuhan yang lebih lemah di semester II-2022, begitu juga adanya peningkatan risiko resesi di akhir tahun," kata Lyyn Franco, direktur ekonomi Conference Board.
Inflasi tinggi yang melanda banyak negara juga diperkirakan membawa perekonomian global mengalami resesi.
Citigroup kini memprediksi perekonomian global akan mengalami resesi dalam 18 bulan ke depan, dengan probabilitas sebesar 50%. Citigroup melihat, dengan inflasi yang sangat tinggi, maka daya beli masyarakat yang merupakan motor penggerak perekonomian akan tergerus.
Dengan kondisi tersebut aset-aset berisiko tentunya menjadi kurang diuntungkan, bursa saham terancam mengalami aksi jual.
Apalagi, resesi jika terjadi kali ini berbeda dengan saat awal pandemi penyakit Covid-19, di mana perekonomian bisa cepat pulih begitu kebijakan pembatasan sosial dilonggarkan.
Resesi yang mungkin terjadi kali ini akibat tingginya inflasi. Jika inflasi tersebut terus tinggi dalam waktu yang lama, resesi juga bisa berlangsung lama.
Menghadapi kondisi tersebut, Anthony Watson, founder dan presiden Thrive Retirement Specialist di Michigan sebagaimana dikutip menyarankan melakukan divestasi investasi.
Menurutnya, dalam kondisi resesi, value stock atau saham-saham yang dinilai memiliki harga terlalu rendah ketimbang kinerja keuangannya, akan lebih menguntungkan ketimbang growth stock.
"Value stock cenderung unggul ketimbang growth stock ketika memasuki resesi," kata Watson sebagaimana dilansir CNBC International, Sabtu (2/7/2022).
Selain itu, iya juga menyatakan bisa mempertimbangkan masuk ke obligasi, sebab selain lebih aman ketimbang saham, imbal hasil (yield) yang ditawarkan kini cukup tinggi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indonesia Aman dari Resesi?
(pap/pap)