Kemarin, IHSG berakhir di posisi 7.193,31. Naik 0,73% dari penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia berlangsung cukup semarak. Frekuensi transaksi tercatat sebanyak 1,57 juta kali, lebih tinggi dibandingkan rata-rata 2022 yang 1,44 juta kali. Sedangkan nilai transaksi ada di Rp 17,31 triliun, lumayan jauh di atas rerata 2022 yang Rp 16,09 triliun.
Investor asing juga kembali masuk ke bursa saham Tanah Air dengan membukukan beli bersih (net buy) Rp 565,96 miliar di seluruh pasar. Dengan begitu, nilai beli bersih investor asing sepanjang tahun ini menjadi Rp 69,61 triliun.
Namun semarak di pasar saham sepertinya tidak menular ke pasar obligasi. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah untuk mayoritas tenor ditutup naik. Kenaikan yield menandakan harga surat utang sedang turun karena minim peminat atau terjadi aksi jual.
Sepertinya tekanan di pasar Surat Berharga Negara (SBN) lebih dominan ketimbang 'pesta' di pasar ekuitas. Akibatnya, nilai tukar rupiah kembali melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama finis di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq Composite melemah masing-masing 0,82%, 1,09%, dan 0,74%.
Koreksi di Wall Street terjadi akibat perlambatan saham-saham teknologi. Maklum, sebelumnya saham-saham ini sudah naik lumayan tinggi.
Saham Amazon, misalnya. Selama periode 24 Mei-7 Juni, harga saham perusahaan besutan Jeffrey 'Jeff' Bezos ini melonjak 18,15%. Pada penutupan perdagangan hari ini, harga saham berkode AMZN tersebut anjlok lebih dari 1,5%.
Selain itu, investor juga mencemaskan perkembangan harga minyak. Pada pukul 00:37 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 123,87/US$. Melonjak 2,74% dan menjadi yang tertinggi sejak 8 Maret.
Sementara yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 122,65/US$. Melejit 2,71% sekaligus jadi rekor tertinggi juga sejak 8 Maret.
Harga minyak yang semakin mahal akan membuat harga BBM di Negeri Paman Sam ikut terdongkrak. Pada 6 Juni, rata-rata harga BBM reguler di AS tercatat US$ 4,87/galon. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah.
"Investor terus menggaungkan narasi inflasi setiap kali harga energi naik," ujar Thomas Hayes, Managing Member di Great Hill Capital LLC yang berbasis di New York (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Saat harga BBM makin mahal, maka konsumsi tentu akan tergerus. Padahal konsumsi adalah motor utama perekonomian Negeri Adidaya.
Oleh karena itu, perlambatan ekonomi di AS sepertinya sulit dihindari. Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospect edisi Juni memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada 2022 tumbuh 2,5%. Turun 1,2 poin persentase dibandingkan proyeksi Januari dan jauh melambat ketimbang 2021 yang tumbuh di atas 5%.
"Ada risiko yang nyata tentang kenaikan harga energi lebih dari yang diperkirakan. Sebelumnya, kenaikan harga minyak terjadi saat sumber energi lainnya seperti batu bara dan gas alam melimpah. Sekarang harga seluruh bahan bakar fosil naik sehingga kemungkinan beralih ke sumber energi lain menjadi terbatas," sebut laporan Bank Dunia.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah risiko. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street bisa menurunkan semangat pasar keuangan Asia, membuat investor enggan bermain agresif.
Sentimen kedua adalah apa yang membuat Wall Street terjungkal, yakni kenaikan harga minyak. Bagi Indonesia, kenaikan harga si emas hitam bisa menimbulkan efek negatif.
Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak. Produksi dalam negeri belum bisa memenuhi permintaan, sehingga terpaksa impor.
Masalahnya, impor minyak sekarang kian mahal. Pada saatnya nanti, harga jual BBM dalam negeri juga akan terpengaruh.
Betul bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen untuk tidak menaikkan harga BBM jenis Pertalite dengan menambah subsidi. Namun untuk BBM non-subsidi, kenaikan harga bukanlah sebuah hil yang mustahal.
Jadi, tekanan inflasi akibat harga energi bisa semakin terasa. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Komsumen (IHK) komponen energi pada Mei ada di 104,2. Rekor tertinggi setidaknya sejak 2019.
Saat inflasi makin tinggi, maka yang dipertaruhkan adalah daya beli. Penurunan daya beli akan menyebabkan perlambatan ekonomi, karena konsumsi adalah kontributor terbesar dalam pembentukan PDB nasional.
Selain itu, percepatan laju inflasi akan membuat Bank Indonesia (BI) kian yakin untuk mengikuti jejak bank sentral lain, menaikkan suku bunga acuan. Sampai saat ini, suku bunga acuan masih bertahan di 3,5%, terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Kenaikan suku bunga acuan memang menjadi obat untuk meredam ekspektasi inflasi. Namun sebagaimana obat, ada efek samping yang perlu diperhatikan.
Efek samping itu (lagi-lagi) adalah risiko perlambatan ekonomi. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek suku bunga di level perbankan, termasuk untuk kredit.
Saat suku bunga kredit perbankan naik, maka biaya ekspansi rumah tangga maupun dunia usaha akan lebih mahal. Ekspansi pun bakal terbatas, sehingga membatasi pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi.
Oleh karena itu, wajar Bank Dunia merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk 2022, Bank Dunia memperkirakan PDB Indonesia tumbuh 5,1%. Turun tipis 0,1 poin persentase dibandingkan proyeksi Januari.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Pembagian dividen PT Mark Dynamics Indonesia Tbk.
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Cisarua Mountain Dairy Tbk (09:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Tembaga Mulia Semanan Tbk (09:30 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Alkindo Naratama Tbk (09:30 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Dana Brata Luhur Tbk (10:00 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Indo Oil Perkasa Tbk (10:00 WIB).
- Rilis data Survei Konsumen BI periode Mei 2022 (10:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA