
Hari Baru, Horor Baru! Sekarang Minyak Bikin Gara-gara...

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah risiko. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street bisa menurunkan semangat pasar keuangan Asia, membuat investor enggan bermain agresif.
Sentimen kedua adalah apa yang membuat Wall Street terjungkal, yakni kenaikan harga minyak. Bagi Indonesia, kenaikan harga si emas hitam bisa menimbulkan efek negatif.
Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak. Produksi dalam negeri belum bisa memenuhi permintaan, sehingga terpaksa impor.
Masalahnya, impor minyak sekarang kian mahal. Pada saatnya nanti, harga jual BBM dalam negeri juga akan terpengaruh.
Betul bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen untuk tidak menaikkan harga BBM jenis Pertalite dengan menambah subsidi. Namun untuk BBM non-subsidi, kenaikan harga bukanlah sebuah hil yang mustahal.
Jadi, tekanan inflasi akibat harga energi bisa semakin terasa. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Komsumen (IHK) komponen energi pada Mei ada di 104,2. Rekor tertinggi setidaknya sejak 2019.
Saat inflasi makin tinggi, maka yang dipertaruhkan adalah daya beli. Penurunan daya beli akan menyebabkan perlambatan ekonomi, karena konsumsi adalah kontributor terbesar dalam pembentukan PDB nasional.
Selain itu, percepatan laju inflasi akan membuat Bank Indonesia (BI) kian yakin untuk mengikuti jejak bank sentral lain, menaikkan suku bunga acuan. Sampai saat ini, suku bunga acuan masih bertahan di 3,5%, terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Kenaikan suku bunga acuan memang menjadi obat untuk meredam ekspektasi inflasi. Namun sebagaimana obat, ada efek samping yang perlu diperhatikan.
Efek samping itu (lagi-lagi) adalah risiko perlambatan ekonomi. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek suku bunga di level perbankan, termasuk untuk kredit.
Saat suku bunga kredit perbankan naik, maka biaya ekspansi rumah tangga maupun dunia usaha akan lebih mahal. Ekspansi pun bakal terbatas, sehingga membatasi pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi.
Oleh karena itu, wajar Bank Dunia merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk 2022, Bank Dunia memperkirakan PDB Indonesia tumbuh 5,1%. Turun tipis 0,1 poin persentase dibandingkan proyeksi Januari.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
(aji/aji)