Newsletter

'Masalah Lama Bersemi Kembali', Awas IHSG Rontok Lagi!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 April 2022 06:50
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial Indonesia jeblok pada perdagangan awal pekan kemarin. Sentimen negatif datang dari luar dan dalam negeri membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah hingga obligasi (Surat Berharga Negara/SNB) merosot.

Pada perdagangan hari ini, Selasa (26/4/2022), pasar finansial Indonesia masih berisiko tertekan, sebab ada 'masalah lama bersemi kembali' di Amerika Serikat dan China. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan IHSG, rupiah hingga SBN tersebut dibahas pada halaman 3 dan 4.

IHSG di awal pekan kemarin sempat jeblok hingga 1,2% sebelum berhasil dipangkas dan mengakhiri perdagangan di 7.215,979 atau melemah 0,13% saja.


Meski sempat jeblok, investor asing masih tetap melakukan aksi beli bersih (net buy) bahkan senilai Rp 3,35 triliun di pasar reguler, nego dan tunai. Sepanjang tahun ini net buy asing tercatat lebih dari Rp 50 triliun.

Rupiah yang sepanjang tahun ini bergerak stabil melawan dolar Amerika Serikat (AS) akhirnya terpuruk hingga menyentuh level terlemah dalam 8 bulan terakhir. Sejak awal perdagangan rupiah langsung anjlok dan terdepresiasi hingga 0,79% ke Rp 14.470/US$, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.455/US$ atau melemah 0,69% di pasar spot.


Pasar obligasi juga tak lepas dari tekanan, SBN tenor 1 sampai 30 tahun semua rontok, imbal hasilnya (yield) pun menanjak.

Pergerakan obligasi berbanding terbalik dengan yield, ketika harga turun maka yield akan naik, begitu juga sebaliknya.

Pelaku pasar yang semakin yakin bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga 50 basis poin bulan depan membuat SBN terus mengalami tekanan.

Berdasarkan perangkat Fed Watch milik CME Group, pasar secara konsisten melihat ada probabilitas di atas 90% The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 0,75% - 1% pada 4 Mei mendatang (waktu setempat).

Bahkan, ada probabilitas sebesar 75% The Fed akan menaikkan 75 basis poin lagi di bulan Juni menjadi 1,5% - 1,75%.

fedFoto: CME Group

Sementara itu dari dalam negeri, keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) memberikan sentimen negatif.

Keputusan tersebut ditetapkan Jokowi setelah memimpin rapat terbatas mengenai pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, utamanya minyak goreng dalam negeri.

CPO merupakan salah satu komoditas ekspor andalan yang membantu neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus dalam 23 bulan beruntun, serta membuat transaksi berjalan (current account) juga surplus di tahun lalu.

Surplus transaksi berjalan tersebut menjadi fundamental penting dalam menjaga stabilitas rupiah.

Dengan dilarangnya ekspor CPO, maka pendapatan ekspor tentunya akan merosot. Putera Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas memperkirakan Indonesia bisa kehilangan US$ 3 miliar atau Rp 42,9 triliun belum dengan pajak ekspor.

"Setiap bulan, CPO dan produk turunannya menyumbang USD3 miliar dari ekspor Indonesia, selain Rp 4 triliun dari pendapatan pajak ekspor," ujar Satria.

Penurunan pendapatan tersebut jika berlangsung lama tentunya bisa menyeret neraca perdagangan kembali ke defisit, begitu juga dengan transaksi berjalan yang pada ahirnya berdampak negatif bagi rupiah.

Tidak hanya rupiah, IHSG juga terpukul terutama emiten-emiten sawit yang mengalami auto reject bawah (ARB) berjamaah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Bak Trampolin

Bursa saham AS (Wall Street) pada perdagangan Senin waktu setempat sempat jeblok dalam dalam, melanjutkan kinerja buruk pada pekan lalu. Namun, ibarat trampolin, Wall Street akhirnya melompat tinggi.

Indeks Dow Jones sebelumnya merosot nyaris 500 poin sebelum berbalik menguat 238 poin atau 0,7% ke 34.049,46. Indeks S&P 500 juga naik 0,6% le 4.296,12 dan Nasdaq melesat 1,3% ke 13.004,85.

"Pasar saham memulai pekan dengan koreksi dalam karena kecemasan dan kabar negatif yang dibawa dari Kamis-Jumat pekan lalu," tutur analis Vital Knowledge Adam Crisafulli dikutip CNBC International.

Perubahan dramatis bank sentral menjadi pro-pengetatan moneter, lanjut dia, masih menjadi pemberat utama, sementara kabar penyebaran Covid-19 dari China dengan cepat memicu kecemasan pasar karena karantina wilayah (lockdown) dikhawatirkan bisa menyebar hingga Beijing.

Investor juga bersiap untuk pekan tersibuk musim rilis kinerja keuangan, di mana sekitar 160 perusahaan anggota indeks S&P 500 akan merilis neraca keuangannya pekan ini, seperti Amazon, Apple, Alphabet (induk usaha Google), Meta (induk usaha Facebook), dan Microsoft.

Perusahaan-perusahaan teknologi tersebut dikatakan sudah sangat oversold sehingga mampu berbalik menguat. Microsoft naik 2,4%, Alphabet 2,9% dan Meta menguat 1,6%
"Kita berfokus pada perusahaan teknologi raksasa pekan ini. Mereka sudah turun sangat tajam, sangat oversold ... jadi anda akan melihat uang datang dan disebar kembali. Ada banyak peluang," kata Jeff Kilburg, kepala investasi dan manajer portofolio di Sanctuary Wealth, sebagaimana dilansir CNBC International.

Sementara itu saham Twitter melesat lebih dari 5% setelah perusahaan sosial media tersebut mengumumkan menerima penawaran pembelian Elon Musk senilai US$ 44 miliar, dan menjadikanya perusahaan private.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Wall Street sukses rebound tentunya bisa memberikan sentimen positif ke pasar saham Asia. Namun, 'masalah lama bersemi kembali' di Amerika Serikat dan China, dua negara dengan nilai perekonomian terbesar dunia, masih akan membebani sentimen pelaku pasar. 

Amerika Serikat menghadapi isu pelambatan ekonomi akibat The Fed yang akan agresif menaikkan suku bunga.

"Saya melihat probabilitas 30% Amerika Serikat memasuki resesi dalam 12 bulan ke depan, dan probabilitas tersebut terus meningkat," kata kepala ekonomi Moody's Analytics Mark Zandi, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (22/4/2022).

Ketua The Fed, Jerome Powell juga mengakui tugas The Fed saat ini sangat menantang, melandaikan inflasi yang sangat tinggi tanpa membuat perenomian AS mengalami pelambatan signifikan hingga resesi.

"Target kami menggunakan instrumen yang kami miliki untuk kembali mengsinkronkan supply dengan demand... dan tanpa membuat pelambatan yang bisa membawa perekonomian resesi. Itu akan sangat menantang," kata Powell dalam diskusi ekonomi pada pertemuan Dana Monerer International (IMF) sebagaimana dilansir Reuters.

Sementara itu, China kembali dihadapkan pada masalah Covid-19. China sudah melakukan karantina (lockdown) di beberapa wilayah. Tetapi nyatanya kasus Covid-19 malah terus bertambah.

Alhasil, muncul kecemasan akan terjadinya lockdown secara nasional. Ibu kota Beijing bahkan dilanda panic buying.

Mengutip Channel News Asia (CNA) yang mengutip kantor berita AFP, antrean dan penumpukan warga mulai terlihat di beberapa supermarket pada Minggu, (24/4/2022) dan Senin. Selain di supermarket, ditemukan juga banyak barang terjual habis di aplikasi pengiriman bahan makanan.

Jika benar China melakukan lockdown nasional maka perekonomian bisa dipastikan akan melambat.

Artinya Amerika Serikat dan China tercancam mengalami pelambatan ekonomi lagi, bahkan ada risiko resesi, dan perekonomian dunia akan ikut terseret.

Alhasil, aksi jual kembali melanda aset-aset berisiko.

"Ini bukan kejutan dan ini merupakan aksi jual yang logis sebab pasar melihat kasus Covid-19 jelas berdampak ke aktivitas perekonomian. Itu juga akan berdampak pada earning sebagian besar perusahaan," kata Timothy Moe, kepala strategi ekuitas wilayah Asia Pasific di Goldman Sachs, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin kemarin.

Artinya, meski Wall Street memberikan sentimen positif, tetapi aksi jual masih akan membayangi, ada risiko IHSG akan kembali tertekan. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2) 

Di sisi lain, adanya risiko pelambatan ekonomi di Amerika Serikat dan China membuat pelaku pasar kembali masuk ke obligasi yang merupakan aset aman (safe haven).

Yield obligasi AS (Treasury) pun menurun, tenor 10 tahun pada perdagangan Senin turun 8,66 basis poin.

Penurunan tersebut tentunya bisa meredakan tekanan yang dialami SBN dalam beberapa pekan terakhir. Ada peluang aliran modal asing kembali masuk ke dalam negeri yang bisa membuat SBN menguat.

Rupiah juga akan mendapat tenaga untuk menghadapi dolar AS jika terjadi capital inflow di pasar obligasi.

The greenback masih terus melaju kencang. Indeks dolar AS kembali naik 0,5% ke 101,736 yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2020 lalu.

Ekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga yang sangat agresif terus membuat indeks dolar AS menanjak.

Pasar melihat The Fed bulan depan akan menaikkan suku bunga 50 basis poin, bahkan di bulan Juni diperkirakan lebih tinggi lagi. Hal tersebut terlihat di perangkat FedWatch milik CME Group, di mana ada probabilitas sebesar 75% The Fed akan menaikkan suku bunga 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75% di bulan Juni.

fedFoto: CME Group

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rapat Umum Pemegang Saham PT Diamond Citra Propertindo (DADA)
  • Rapat Umum Pemegang Saham PT Jasnita Telekomindo Tbk (JAST)
  • Rapat Umum Pemegang Saham PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR)
  • Rapat Umum Pemegang Saham PT Prima Andalan Mandiri Tbk (MCOL)
  • Rilis data produksi industri Singapura (12:00 WIB)
  • Rilis data pesanan barang tahan lama Amerika Serikat (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article China, Teman Dekat RI Akan Beri Kabar Baik Hari Ini?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular