Akhir pekan lalu, IHSG ditutup di posisi 7.210,84. Melesat 1,17% dibandingkan hari sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia.
Minggu lalu, indeks Shanghai Composite (China) turun 0,94%. Sedangkan SETI (Thailand) berkurang 1,69%, Straits Times (Singapura) minus 1,05%, Hang Seng (Hong Kong) terkoreksi 0,76%, dan PSEI (Filipina) terpangkas 1,89%.
Sepanjang minggu lalu, rupiah membukukan penguatan 0,03% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point. Rupiah mengakhiri pekan di posisi Rp 14.360/US$.
Walau hanya menguat tipis, kinerja rupiah lebih baik ketimbang mata uang negara-negara tetangga yang mayoritas mengalami depresiasi di hadapan greenback. Won Korea Selatan melemah 0,48%, dolar Taiwan terdepresiasi 0,82%, baht Thailand minus 0,3%, ringgit Malaysia lesu 0,29%, dan dolar Singapura terpangkas 0,48%.
Kunci keperkasaan IHSG dan rupiah adalah derasnya arus modal yang mengalir ke pasar keuangan Tanah Air. Akhir pekan lalu, investor asing mencatatkan beli bersih (net buy) Rp 1,41 triliun di pasar saham Indonesia. Sepanjang 2022, nilai beli bersih investor asing mencapai Rp 37,52 triliun.
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama menjalani pekan yang berat. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) minus 1,16%. Sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite jatuh masing-masing 0,28% dan 3,86%.
Ambruknya Nasdaq menjadi gambaran saham-saham emiten teknologi sedang dalam tekanan. Pekan lalu, saham Meta (dulu Facebook) ambles 4,94%. Kemudian Microsoft ambrol 5,71%, Netflix ambles 9,1%, Alphabet (induk usaha Google) rontok 6,77%, dan Apple minus 4,68%.
Emiten teknologi sangat bergantung kepada pertumbuhan laba demi mendongrak nilai sahamnya. Oleh karena itu saham-saham teknologi sering disebut growth-led shares.
Kini harapan untuk mendulang laba tinggi agak memudar. Penyebabnya adalah persepsi bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal agresif dengan menaikkan suku bunga secara signifikan.
"Dulu pasar memperkirakan ada dua kali kenaikan (suku bunga acuan) tahun ini. Kemudian bertambah menjadi tiga, lalu empat, sekarang lebih dari empat. Sekarang pasar sedang menyesuaikan diri terhadap sikap Fed yang sangat mungkin akan agresif," tutur Jim Caron, Head of Macro Strategist di Morgan Stanley Investment Management, seperti dikutip dari CNBC International.
Dalam notula rapat (minutes of meeting) The Fed edisi Maret 2022, terlihat bagaimana 'suasana kebatinan' Jerome 'Jay' Powell dan kolega. Tampak bahwa aroma pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif begitu terasa.
"Para peserta rapat menilai sudah saatnya mengubah posisi (stance) kebijakan moneter ke arah netral. Para partisipan juga menggarisbawahi bahwa perubahan ke kebijakan moneter yang lebih ketat adalah sebuah keniscayaan, tergantung perkembangan ekonomi dan pasar keuangan," tulis notula itu.
The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan bulan lalu. Pelaku pasar memperkirakan bakal ada enam kali kenaikan lagi sepanjang tahun ini, yang juga terlihat dalam dotplot terbaru The Fed.
 Sumber: FOMC |
"Kita akan masuk ke periode di mana nilai perusahaan akan melampaui pertumbuhannya. Ini bukan hanya perubahan yang siklikal, melainkan struktural. Growth is overvalued," tegas David Bahnsen, Chief Investment Officer Bahnsen Group yang berbasis di California, seperti diberitakan Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan konflik di Ukraina.
Perang Rusia vs Ukraina masih berlangsung. Korban jiwa semakin bertambah.
Per 6 April 2022, sudah ada 1.611 orang yang kehilangan nyawa akibat perang terbesar di tanah Eropa sejak Perang Dunia II tersebut. Dari jumlah tersebut, 131 di antaranya adalah anak-anak.
Perang ini juga berdampak kepada aspek ekonomi, terutama di pasar komoditas. Sebab, Rusia dan Ukraina adalah produsen utama sejumlah komoditas di pasar dunia.
Harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) sepanjang 2022 sudah melesat 97,36%. Dalam periode yang sama, harga minyak brent melejit 32,14%.
Tidak hanya energi dan pertambangan, harga komoditas pangan pun 'beterbangan'. Misalnya gandum. Sejak akhir 2021 (year-to-date), harga gandum di Chicago Board of Trade naik 37,3% secara point-to-point.
Sepanjang perang masih meletus, sepanjang sanksi terhadap Rusia belum dicabut, sepanjang produksi dan distribusi komoditas masih terhambat, maka harga komoditas tetap akan tinggi sehingga melahirkan tekanan inflasi.
Dibayangi oleh risiko tersebut, pertumbuhan ekonomi tentu bakal melambat. Wajar, karena inflasi tinggi tentu menggerus konsumsi dan daya beli, yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Fitch Solutions memperkirakan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia-Pasifik pada 2022 sebesar 4,7%. Turun dari proyeksi sebelumnya yaitu 4,9%.
"Menurut pandangan kami, sanksi Barat (terhadap Rusia) akan tetap ada sepanjang 2022. Bahkan bisa lebih lama lagi," sebut riset Fitch Solutions. Artinya, ada kemungkinan perang masih akan terjadi sepanjang tahun ini dan bisa saja sampai tahun-tahun mendatang.
Khusus untuk Indonesia, Fitch Solutions memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2022 di 4,39%. Lebih rendah ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu 5,2%.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Sentimen kedua, kali ini dari dalam negeri, adalah rencana unjuk rasa dalam skala besar. Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengumumkan akan melakukan aksi demonstrasi. Lokasi disebut berpindah dari seputar Istana Negara ke depan gedung DPR/MPR/DPD.
Hal tersebut dilakukan dalam rangka menuntut sikap tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menolak masa jabatan tiga periode. Mengutip CNN Indonesia, beberapa kelompok mahasiswa telah melakukan aksi di daerah, seperti Bogor dan Semarang.
Di Lampung misalnya, mahasiswa akan menggelar aksi pada Rabu (13/4/2022). Dalam aksi tersebut, tidak hanya terkait perpanjangan masa jabatan presiden, namun mereka juga memprotes terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Aksi demonstrasi, apalagi dalam skala besar, terkadang bisa membuat pasar agak grogi. Misalnya pada 22 Mei 2019, terjadi unjuk rasa terkait hasil Pemilu 2019. Kala itu, IHSG melemah meski terbatas 0,2%.
Akan tetapi, tidak selamanya demikian. Ketika aksi menolak UU Cipta Kerja pada 6 Oktober 2020, IHSG mampu menguat 0,82%. Demikian pula kala Aksi 212 pada 2 Desember 2016, IHSG menguat 0,91%.
Pasar tentu berharap aksi unjuk rasa hari ini berlangsung damai. Sebab jika tidak, maka bisa menimbulkan instabilitas politik-sosial-ekonomi. Tentu rasa nervous bakal membuat IHSG dan rupiah tersungkur.
Halaman Selanjutnya --> Simak Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data inflasi China periode Maret 2022 (08:30 WIB).
- Pencatatan saham perdana PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (09:00 WIB).
- Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Februari 2022 (10:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA