Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia-Ukraina sudah berlangsung lebih dari 40 hari. Kemungkinan perang ini bakal berkepanjangan sehingga menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian dunia.
Di aspek ekonomi, posisi Rusia dan Ukraina yang strategis di pasar komoditas dunia menjadi risiko tersendiri. Minyak bumi, gas alam, batu bara, gandum, bijih bunga matahari, sampai kedelai banyak datang dari kedua negara itu.
Perang tentu membuat produksi dan distribusi terhambat. Belum lagi Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Larangan ekspor minyak dan batu bara adalah contohnya, membuat pasokan di pasar global semakin ketat.
Hasilnya terang-benderang. Harga komoditas melambung tinggi.
Harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) sepanjang 2022 sudah melesat 97,36%. Dalam periode yang sama, harga minyak brent melejit 32,14%.
Tidak hanya energi dan pertambangan, harga komoditas pangan pun 'beterbangan'. Misalnya gandum. Sejak akhir 2021 (year-to-date), harga gandum di Chicago Board of Trade naik 37,3% secara point-to-point.
Halaman Selanjutnya --> Inflasi Meninggi, Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Akibatnya, tekanan inflasi tidak bisa terhindarkan. Di sejumlah negara, laju inflasi sudah menyentuh rekor tertinggi baru.
Tidak melulu di negara maju, tekanan inflasi pun sudah terasa di negara-negara berkembang Asia. Di Indonesia, bahkan sudah ada sinyal inflasi bakal semakin tinggi.
Pada Maret 2022, inflasi Tanah Air tercatat 2,64% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah yang tertinggi sejak April 2020.
Bulan ini, ada kemungkinan inflasi lebih tinggi lagi. Bank Indonesia (BI) melalui Survei Pemantauan Harga (SPH) memperkirakan inflasi tahunan pada April 2022 bisa mencapai 3,2%.
"Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu I April 2022, perkembangan inflasi sampai dengan minggu pertama April 2022 diperkirakan sebesar 0,68% (mtm). Secara tahun kalender sebesar 1,89% (ytd), dan secara tahunan sebesar 3,20% (yoy).
"Komoditas utama penyumbang inflasi April 2022 sampai dengan minggu pertama yaitu minyak goreng (0,24%, mtm), bensin (0,18%, mtm), daging ayam ras (0,08%, mtm), bahan bakar rumah tangga (0,04%, mtm), cabai merah dan telur ayam ras masing-masing sebesar 0,03% (mtm), sabun detergen bubuk/cair (0,02%, mtm), daging sapi, bawang putih, tempe, jeruk, bayam, kangkung, ayam goreng, dan rokok kretek filter masing-masing sebesar 0,01% (mtm). Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode ini yaitu tomat (-0,02%, mtm) dan angkutan udara (-0,01%, mtm)," papar keterangan tertulis BI.
Halaman Selanjutnya --> Naga-naganya Perang Bakal Lama
Nah, kengerian-kengerian semacam ini bukan tidak mungkin bakal berlangsung lama. Sepanjang perang masih meletus, sepanjang sanksi terhadap Rusia belum dicabut, sepanjang produksi dan distribusi komoditas masih terhambat, maka harga komoditas tetap akan tinggi sehingga melahirkan tekanan inflasi.
Dibayangi oleh risiko tersebut, pertumbuhan ekonomi tentu bakal melambat. Wajar, karena inflasi tinggi tentu menggerus konsumsi dan daya beli, yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Fitch Solutions memperkirakan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia-Pasifik pada 2022 sebesar 4,7%. Turun dari proyeksi sebelumnya yaitu 4,9%.
"Menurut pandangan kami, sanksi Barat (terhadap Rusia) akan tetap ada sepanjang 2022. Bahkan bisa lebih lama lagi," sebut riset Fitch Solutions. Artinya, bukan tidak mungkin serangan Rusia ke Ukraina masih belum selesai hingga akhir 2022, bahkan bisa berlanjut ke tahun-tahun selanjutnya.
Khusus untuk Indonesia, Fitch Solutions memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2022 di 4,39%. Lebih rendah ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu 5,2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA