The Fed "Perang Terbuka" Lawan Inflasi, Pasar Indonesia Aman?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan semarak dengan rekor tertinggi baru di bursa dan penguatan rupiah kemarin. Namun, pelemahan imbal hasil (yield) obligasi mengindikasikan investor masih menyimpan kekhawatiran yang bisa terwujud dalam koreksi hari ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lagi-lagi cetak rekor ke level tertingginya dalam sejarah (All Time High/ATH) pada penutupan kemarin, Selasa (5/4/2022). IHSG ditutup menguat 0,45% atau 32,08 poin di level 7.148,29.
Lompatan terutama terjadi di 15 menit terakhir perdagangan, di mana IHSG diangkat hingga 20 poin sendiri. Bersamaan dengan penguatan indeks acuan utama bursa nasional tersebut, investor asing mencetak pembelian bersih (net buy) senilai Rp 603 miliar di pasar reguler.
Saham yang paling banyak diborong asing adalah saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan net buy Rp 126 miliar. Sebaliknya, yang paling banyak dilepas asing adalah saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dengan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 111 miliar.
Data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan total net buy asing mencapai lebih dari Rp 800 miliar di pasar reguler, nego dan tunai. Dengan demikian, dalam 2 hari terakhir mereka mencetak net buy lebih dari Rp 1,25 triliun, dan sepanjang tahun ini sebesar Rp 34,7 triliun.
Capital inflow tersebut terjadi saat perang Rusia dengan Ukraina yang biasanya membuat sentimen pelaku pasar memburuk dan menghindari aset-aset berisiko. Tetapi nyatanya saham-saham perusahaan Indonesia masih diburu.
Mengikuti aliran masuk investasi asing tersebut, nilai tukar rupiah mencatat penguatan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) meski penguatannya tipis saja sama seperti 2 hari sebelumnya.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.335/US$. Tetapi, perlahan penguatan tersebut terpangkas hingga akhirnya stagnan. Namun, rupiah kembali ke zona hijau dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.345/US$, menguat 0,06% di pasar spot.
Mayoritas bursa Asia bergerak di zona hijau pada perdagangan kemarin. Indeks Straits Times memimpin penguatan dengan apresiasi 0,51%. Aset-aset berisiko tak mengindahkan sinyal resesi yang muncul dari pembalikan kurva yield obligasi pemerintah AS.
Namun, secara umum investor terpantau masih khawatir dengan situasi jangka pendek, terlihat dari aksi buru obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) yang menekan imbal hasilnya kemarin.
Aksi buru tersebut terjadi di tengah kekhawatiran adanya potensi resesi di beberapa negara maju, utamanya di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Hanya SBN bertenor 3, 5, dan 30 tahun yang dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield dan melemahnya harga.
Yield SBN bertenor 3 tahun naik 5 basis poin (bp) ke level 3,634%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 5 tahun naik 0,5 bp ke level 5,654%, dan yield SBN berjangka waktu 30 tahun menguat 1,4 bp ke level 7,003%.
Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali melemah 0,2 bp ke 6,749%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
(ags/ags)