Goldman Sach & JPMorgan Benar, Bursa RI Pantas jadi No 1!

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
05 April 2022 10:02
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021) (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Reli Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampaknya belum berhenti, setelah tembus level 7.000, indeks acuan bursa domestik ini terus menguat dan mencatatkan rekor baru. Aliran modal asing ke bursa domestik menjadi salah satu faktor penentu penguatan IHSG.

Pagi ini, Selasa (5/4/2022), IHSG dibuka menguat di level 7.122,91 pada perdagangan Selasa (5/4/2022). Lanjut melaju dan mencatatkan rekor all time high di 7.142,52 beberapa menit setelah pembukaan. Secara year to date IHSG tercatat menguat 8,11%.

Dana asing yang masuk tercatat mencapai Rp 250,50 miliar hingga pukul 09.50 WIB. Jika dihitung dari awal tahun nilai net buy asing mencapai Rp 44,86 triliun di pasar regular.

Aliran deras dana asing tersebut rupanya merupakakan pengaruh dari krisis geopolitik antara Rusia dengan Ukraina beserta Negara Barat membuat pasar saham global ikut terdampak dari krisis tersebut.

Dimana pada saat krisis geopolitik Rusia-Ukraina terjadi tak berdampak besar bagi pasar saham di kawasan Asia Tenggara. Bahkan pasar keuangan kawasan ini cenderung menawarkan keamanan yang relatif lebih besar bagi investor.

Bahkan CNBC International secara khusus meminta tanggapan dari analis dari dua bank investasi Amerika Serikat (AS), Goldman Sachs dan JPMorgan Asset Management tentang bagaimana pasar saham Asia Tenggara merespons dampak dari krisis geopolitik yang masih terjadi hingga kini.

"Meski dinilai relatif lebih aman, sejatinya pasar saham Asia Tenggara masih seperti 'dianaktirikan' oleh investor global dalam satu dekade terakhir," kata Timothy Moe, kepala strategi ekuitas Asia Pasifik Goldman Sachs, dikutip dari CNBC International.

Setidaknya dari tiga pasar keuangan di Asia Tenggara, Indonesia menjadi pilihan teratas dari Goldman Sachs dan JPMorgan Asset Management.

Berikut tiga pilihan pasar saham Asia Tenggara dari Goldman Sachs dan JPMorgan Asset Management yang cukup menarik bagi mereka.

1. Indonesia Dengan Sektor Perbankan dan Komoditas

Menurut Desmond Loh, manajer portofolio di JPMorgan Asset Management, sektor yang menarik bagi pasar saham Indonesia adalah sektor perbankan, karena ia menilai bahwa penduduk Indonesia masih cenderung minim literasi akan produk perbankan.

"Di Indonesia, secara struktural kami positif terhadap perbankan karena mayoritas penduduk masih unbanked atau underbanked. Kami saat ini diposisikan di sektor swasta terkemuka dan juga bank-bank milik negara karena mereka telah secara proaktif mendorong adopsi digital untuk mempercepat penetrasi keuangan," kata Loh, dilansir dari CNBC International.

Unbanked adalah istilah di mana individu yang sudah cukup umur atau produktif, tetapi tidak memiliki rekening bank. Individu ini lebih suka menggunakan transaksi dalam bentuk cash.

Sedangkan underbanked adalah golongan individu yang sudah mempunyai rekening bank tetapi masih belum bisa mengakses produk keuangan seperti kartu kredit, KTA, dan lain-lainnya.

Selain positif di sektor perbankan, sektor komoditas juga mampu mendorong daya tarik investor asing untuk memburu pasar saham RI, karena kenaikan beberapa komoditas menjadi keuntungan sendiri bagi Indonesia.

Adapun komoditas tersebut yakni batu bara, nikel, dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).

"Harga komoditas yang kuat juga bermanfaat bagi pendapatan ekspor di Indonesia serta neraca perdagangan negara, dan itu ditetapkan untuk mendukung rupiah Indonesia serta prospek pertumbuhan jangka pendek di Indonesia," kata Loh.

Harga komoditas global diibaratkan seperti 'roller coaster', karena sejak perang di Ukraina pecah, harga beberapa komoditas seperti minyak mentah, gandum, dan jagung pun mengalami kenaikan yang cukup tinggi, karena adanya peningkatan permintaan.


2. Vietnam dan Singapura

Selain Indonesia, JPMorgan juga menyukai pasar saham Vietnam, yang disebutnya sebagai "pemain bintang dalam beberapa tahun terakhir" dalam ketahanan dan pertumbuhan ekonomi.

Vietnam adalah salah satu negara yang ekonominya cenderung bertahan di tengah gempuran pandemi virus corona (Covid-19). Disaat ekonomi global berjatuhan, tetapi Vietnam mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya.

"Untuk memanfaatkan pertumbuhan, kami diposisikan di proxy konsumen dan bank berkualitas tinggi," katanya, tanpa menyebut saham tertentu.

Setelah JPMorgan memilih Indonesia dan Vietnam, Goldman Sachs lebih memilih Singapura sebagai pilihan utamanya.

Namun terlepas dari itu, ada alasan mengapa dua bank investasi AS menyukai pasar saham Indonesia dan Singapura.
Pertama, Indonesia dan Singapura dapat memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi global dari wilayah yang terlambat pulih dari membaiknya pandemi Covid-19.

Kedua, sektor perbankan Indonesia dan Singapura cenderung mampu pulih dengan cepat setelah sempat terdampak dari pandemi Covid-19, di mana sektor perbankan di Indonesia dan Singapura akan mendapat manfaat dari potensi pengetatan kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga bank sentral AS.

Ketiga yakni terus bermunculannya perusahaan ekonomi digital yang masuk ke dalam bursa saham Indonesia dan Singapura.

Dari pergerakannya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah melonjak hingga lebih dari 7% sepanjang tahun ini, sedangkan indeks VN Vietnam melesat sekitar 1% pada periode yang sama. Sementara untuk Indeks Straits Times Singapura telah melompat hingga 9% sepanjang tahun ini.

Lebih Netral

Menurut Loh, Asia Tenggara relatif 'netral' dari meningkatnya ketegangan geopolitik di Eropa, karena Rusia dan Ukraina menyumbang kurang dari 1% dari ekspor regional.

"Eskalasi risiko geopolitik menjadikan penarik jangka pendek bagi harga komoditas untuk menopang kekuatan pasar eksportir komoditas ASEAN," kata Loh.

Tak Ada Eksodus

Investor global telah memposisikan ulang dalam beberapa minggu terakhir untuk mengantisipasi langkah yang lebih agresif ke depan oleh pengetatan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), tetapi para analis memperkirakan dampaknya di Asia Tenggara relatif lebih kecil dibandingkan sebelumnya.

"Kami tidak mengharapkan eksodus arus keluar [dari ASEAN] seperti yang kita lihat dalam taper tantrum terakhir," kata Loh, sembari menjelaskan bahwa neraca di Asia Tenggara umumnya jauh lebih sehat dibandingkan dengan satu dekade lalu.

Sebagian besar bank sentral Asia Tenggara, kecuali Singapura, belum memperketat kebijakan moneternya. Hal ini karena inflasi di masing-masing negarai di Asia Tenggara masih belum terlalu parah dengan mayoritas negara-negara maju, umumnya Negara Barat.

"Ekonomi Asia Tenggara saat ini juga lebih tangguh dibandingkan periode sebelumnya," kata Moe.


(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Goldman Sach & JPMorgan Sebut RI No 1 untuk Investasi Saham

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular