Newsletter

The Fed "Perang Terbuka" Lawan Inflasi, Pasar Indonesia Aman?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 April 2022 06:30
Gubernur Federal Reserve Jerome Powell
Foto: Reuters

Genderang perang The Fed melawan inflasi tinggi mulai lantang disuarakan pejabat bank sentral terkuat di dunia tersebut di forum resmi. Setelah Gubernur The Fed Lael Brainard menyatakan bahwa pihaknya akan agresif menekan inflasi, kini giliran petinggi The Fed San Fransisco.

President The San Francisco Mary Daly menilai inflasi tinggi sama buruknya dengan pengangguran bagi masyarakat Amerika Serikat (AS) karena memicu beban ekonomi dan menekan tingkat kesejahteraan.

"Saya mengerti bahwa inflasi sama membahayakannya dengan menganggur, karena anda punya pekerjaan tapi tak mampu membayar tagihan, atau merasa tak bisa menabung untuk keperluan khusus sehingga membuat kita terjaga semalaman," tuturnya dikutip CNBC International.

Meski suku bunga meninggi, tetapi Daly meyakinkan bahwa perekonomian tidak akan sampai tergelincir ke jurang resesi pada tahun ini, meski pertumbuhan ekonomi AS kemungkinan bakal melambat.

Tingginya inflasi di Amerika Serikat, yang diikuti agresivitas The Fed menaikkan suku bunga tahun ini menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan resesi. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% secara tahunan tertinggi sejak Januari 1982.

Sementara itu, inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,4% tahunan di bulan Januari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,4% secara tahunan. Inflasi PCE tersebut menjadi yang tertinggi dalam nyaris 40 tahun terakhir.

Tingginya inflasi membuat The Fed agresif menaikkan suku bunga, di bulan depan bahkan diperkirakan sebesar 50 basis poin menjadi 0,75%-1%. The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini, setelah menaikkan pertama kali bulan lalu.

Dengan suku bunga yang tinggi, ekspansi dunia usaha tentunya akan melambat, jika inflasi tidak kunjung menurun maka perekonomian Negeri Sam berisiko terpukul dan menurut triliuner Carl Icahn bisa memicu resesi. "Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, kepada CNBC International, Selasa (22/3/2022).

Sinyal resesi AS mengemuka dari kurva inversi yang terbentuk antara yield obligasi pemerintah (US Treasury) tenor pendek yakni 2 tahun yang lebih tinggi dari yield US Treasury berjangka panjang yakni tenor 10 tahun dan 30 tahun.

Kemarin, yield Treasury tenor 2 tahun naik 3,7 basis poin (bp) ke 2,465%, sedangkan yield Treasury tenor 10 tahun juga naik 4,4 bp ke 2,456%, sehingga selisihnya (spread) sekitar 0,9 poin.

Dalam situasi normal semestinya yield tenor 2 tahun lebih kecil tetapi ketika investor obligasi tak yakin dengan situasi ekonomi, mereka akan melepas obligasi tenor pendek dan mengalihkannya ke tenor panjang. Dus, yield obligasi tenor pendek meninggi sementara tenor panjang merendah dan saling bersimpangan, alias membentuk inversi yang secara historis diikuti resesi.

Menurut MUFG Securities, di tahun 2019, inversi terjadi 163 hari sebelum resesi tahun 2020. Sementara saat AS mengalami resesi antara 2007 -2009, inversi terjadi 571 hari sebelumnya, dan resesi di tahun 2001, inversi terjadi 422 hari sebelumnya.

Namun pagi ini, sinyal resesi tersebut hilang, mengingat yield US Treasury tenor 2 tahun kembali menurun menjadi 2,524% sementara tenor 10 tahun di angka 2,554% alias tidak terjadi inversi. Jadi, resesinya untuk sementara diprediksi batal?

Daripada tebak buah manggis yang masih jauh, terlalu dini jika pemodal nasional menempatkan kecemasan resesi AS itu sebagai pertimbangan utama dalam trading hari ini. Ada faktor penting yang lebih layak diperhatikan yakni perkembangan inflasi dalam negeri dan kenaikan harga komoditas di pasar global.

Jika keduanya masih berjalan seimbang, di mana kenaikan komoditas tak memicu inflasi, maka masih ada ruang untuk penguatan karena kinerja fundamental emiten-emiten komoditas bakal kian moncer.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular