Newsletter

WHO Beri Kabar Baik Soal Omicron, Sobat Cuan Bisa Tenang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 January 2022 06:30
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG, Senin (22/11/2021)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia/ IHSG (CNBC Indonesia/Muhammad sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup tidak kompak pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik, tetapi nilai tukar rupiah berakhir merah.

Kemarin, IHSG berakhir di posisi 6.695,37. Naik 0,45% dibandingkan posisi hari sebelumnya. IHSG selalu menguat di dua hari perdagangan pertama pada 2022.

Perdagangan kemarin sedikit lebih semarak ketimbang hari sebelumnya. Frekuensi perdagangan tercatat 1,36 juta kali transaksi yang melibatkan 24,93 miliar unit saham dengan nilai Rp 11,02 triliun.

Namun investor asing membukukan jual bersih Rp 546,63 miliar. Dengan demikian, investor asing melakukan jual bersih Rp 200,5 miliar dalam dua hari pertama 2022.

Di pasar obligasi pemerintah, terlihat terjadi tekanan. Imbal hasil (yield) surat utang pemerintah bergerak naik.

Yield dan harga obligasi memiliki hubungan terbaik, saat yield naik berarti harga Surat Berharga Negara (SBN) sedang turun. Penyebabnya adalah tekanan jual atau minat investor minim.

Sepertinya tekanan jual di pasar SBN ini yang membuat rupiah goyah. Mata uang Tanah Air kembali melemah di hadapan dolar Amerika Serikat.

Di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.300 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,25% dibandingkan kemarin.

Halaman Selanjutnya --> Wall Street Tak Kompak, Nasdaq Ambruk

Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama di Wall Street berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) mampu menguat 0,59%. Akan tetapi, S&P 500 turun tipis 0,06% dan Nasdaq Composite anjlok 1,33%.

Nasdaq jatuh seiring koreksi harga saham-saham teknologi. Harga saham Tesla ambles 4,18%, Microsoft minus 1,71%, dan Apple berkurang 1,27%. Maklum, kemarin harga saham Tesla meroket 13,53% dan Apple melesat 2,5%.

Sementara DJIA terangkat oleh saham-saham perbankan. Harga saham Goldman Sachs naik 3,07%, JPMorgan Chase & Co menguat 3,79%, dan Wells Fargo & Co bertambah 3,98%.

Investor mengantisipasi rencana bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang bakal mengetatkan kebijakan moneter. Mulai bulan ini, The Fed menambah dosis pengurangan pembelian aset dari US$ 15 miliar per bulan menjadi US$ 30 miliar. Dengan demikian, program pembelian aset atau quantitative easing akan selesai pada Maret 2022.

Begitu quantitative easing selesai, maka Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega diyakini bakal segera menaikkan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, pelaku pasar memperkirakan peluang Federal Funds Rate menyentuh 0,75-1% pada akhir 2022 mencapai 30,3%, tertinggi di antara kemungkinan lain. Saat ini suku bunga acuan Negeri Paman Sam ada di 0-0,25%.

fedSumber: CME FedWatch

"Saya memperkirakan terjadi kenaikan suku bunga dua kali pada 2022. Inflasi ternyata lebih tinggi dan persisten dari yang saya duga sebelumnya," sebut Neel Kashkari, Presiden The Fed Minneapolis, dalam tulisan di Medium.

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek suku bunga acuan. Dengan demikian, laba perbankan akan semakin tebal sehingga tidak heran investor mengincar saham Goldman Sachs dkk.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen yang bisa mewarnai perdagangan. Pertama adalah perkembangan di Wall Street yang agak mixed. Ini bisa membuat investor di Asia, termasuk Indonesia, galau menentukan arah.

Sentimen kedua, seperti yang menggerakkan Wall Street, sepertinya aura pengetatan kebijakan moneter AS semakin kuat. Semakin banyak pejabat teras The Fed yang bicara soal kenaikan suku bunga acuan, Kaskhari menjadi yang paling anyar.

"Kenyataannya, inflasi lebih tinggi dari yang saya perkirakan, lebih bertahan lama dari yang saya perkirakan. Pertanyaannya, apakah ini masih sementara (transitory) atau tidak?

"Jika rezim inflasi rendah akan membuat kekuatan makroekonomi menyeimbangkan dirinya sendiri, maka FOMC (Federal Open Market Committee, komite pembuat kebijakan The Fed) harus segera mengepankan ini. Jadi kita tidak bisa menghindari perlambatan laju pemulihan ekonomi karena inflasi yang tinggi," papar Kashkari.

Merespons pernyataan Kashkari, dolar AS semakin perkasa. Pada pukul 03:57 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,08%.

"Wajar saja, pelaku pasar berekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga. Ini adalah kunci penguatan dolar AS," kata Joe Manimbo, Senior Market Analyst di Western Union Business Solutions yang berbasis di Washington (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Saat suku bunga acuan naik, imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut terkerek. Arus modal akan mengarah ke Negeri Adikuasa sehingga hanya menyisakan sedikit untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Jika hawa kenaikan suku bunga acuan AS makin terasa, maka mata uang negara-negara berkembang akan terpapar sentimen negatif. Oleh karena itu, investor perlu selalu waspada terhadap risiko depresiasi rupiah.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Sentimen ketiga adalah perkembangan seputar pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Kemunculan varian omicron menjadi perhatian dunia, karena membuat kasus positif harian di berbagai negara naik hingga menyentuh rekor tertinggi.

Akan tetapi, ada kabar yang sedikit melegakan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melihat semakin banyak bukti bahwa virus corona varian omicron hanya menimbulkan gejala ringan. Makin ke sini, hubungan antara kasus positif dan angka kematian semakin rendah.

"Kita makin banyak melihat studi yang menunjukkan bahwa omicron lebih menginfeksi tubuh bagian atas. Tidak seperti sebelumnya, di mana terjadi peradangan di paru-paru. Ini bisa menjadi kabar baik, tetapi kita masih butuh lebih banyak kajian. Kita pun melihat hubungan antara kasus baru dan angka kematian semakin kecil (decoupling)," terang Abdi Mahamud, Manajer Insiden WHO, seperti dikutip dari Reuters.

Meski demikian, Mahamud menegaskan kewaspadaan tidak boleh mengendur. Risiko masih besar, terutama di negara-negara dengan tingkat vaksinasi anti-virus corona yang rendah.

Meski virus corona varian omicron bisa melewati hadangan antibodi, Mahamud menyatakan vaksin masih ampuh untuk menopang ketahanan tubuh. "(Vaksin) bisa menghindari gejala berat dan perawatan di rumah sakit serta kematian. Tantangannya bukan ketersediaan vaksim tetapi bagaimana vaksinasi menjangkau seluruh populasi, terutama mereka yang rentan," papar Mahamud.

Kabar ini bisa menjadi penyemangat bagi investor (dan seluruh umat manusia). Virus corona varian omicron yang lebih 'jinak' bisa membuat warga dunia melanjutkan aktivitas dengan tenang, meski vaksinasi dan disiplin protokol kesehatan tetap harus ditegakkan. Dengan begitu, harapan akan pemulihan ekonomi akan terjaga.

Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis data cadangan devisa Korea Selatan periode Desember 2021 (04:00 WIB).
  • Rilis data indeks keyakinan konsumen Jepang periode Desember 2021 (12:00 WIB).
  • Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Yelooo Integra Datanet Tbk (14:00 WIB).
  • Rilis data penciptaan lapangan kerja AS versi ADP periode Desember 2021 (20:15 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular