Jakarta, CNBC Indonesia - Pemodal kemarin mulai memburu aset berisiko seperti saham, tetapi juga masih memburu obligasi negara, pertanda mereka belum sepenuhnya yakin dengan prospek ekonomi. Hari ini, keyakinan tersebut berpotensi mengental dan memicu energi beli.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Selasa (21/12/2021) ditutup menguat 0,11% atau 7,2 poin ke level 6.554,31. Namun, jumlah saham yang terkoreksi masih lebih banyak, yakni 270 saham, sementara 243 saham menguat, dan 164 stagnan.
Nilai transaksi mencapai Rp 10,4 triliun, atau menipis beberapa hari jelang libur Natal di mana investor asing mencetak penjualan berish (net sell) di pasar reguler sebesar Rp 240 miliar. Reli bursa Indonesia tidaklah seagresif di Asia.
Indeks Nikkei Jepang kemarin penguatan bursa Asia dengan terbang 2,08% ke level 28.517,59. Indeks Hangseng Hong Kong menyusul dengan melonjak 1% ke posisi 22.971,33 dan Shanghai Composite China melesat 0,88% ke 3.625,13.
Bos Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Thedros Adhanom Gebreyesus mengatakan varian Omicron menyebar cepat dengan waktu transmisi tiga hari saja. Kini varian terbaru Covid-19 tersebut telah menyebar ke 89 negara di dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia, pemodal masih mencermati perkembangan kasus tersebut di Tanah Air dan tingkat keparahan dan dampak makro yang bisa ditimbulkan. Jelang libur Natal, pelaku pasar memilih menunggu dan mencermati (wait and see) keadaan terlebih dahulu.
Di pasar mata uang, nilai tukar rupiah berhasil menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs tengah Bank Indonesia (BI) maupun pasar spot.
Pada Selasa (21/12/2021), kurs tengah BI atau kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.349. Rupiah menguat 0,24% dari posisi hari sebelumnya. Di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.313 kala penutupan perdagangan, atau terapresiasi 0,43%.
Seperti halnya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun menguat di hadapan greenback. Namun apresiasi 0,43% sudah cukup untuk membawa rupiah jadi yang terbaik kedua, hanya kalah tipis dari ringgit Malaysia.
Di pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat. Mayoritas investor ramai memburu SBN acuan, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 5, 15, dan 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 5 tahun naik 0,7 basis poin (bp) ke 4,902%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 15 tahun melemah 0,3 bp ke 6,3%, dan yield SBN berjangka waktu 20 tahun naik 0,4 bp ke 6,826%.
Sementara, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan acuan obligasi negara berbalik turun 1,7 bp ke 6,423%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup melesat pada perdagangan Selasa (21/12/2021), mengakhiri selama tiga hari sebelumnya akibat lonjakan kasus Covid-19 varian Omicron.
Indeks Dow Jones Industrial Average lompat 560,54 poin (+1,6%) ke 35.492,7. S&P 500 melesat 1,8% ke 4.649,23 dan Nasdaq terbang 2,4% ke 15.341,09.
Kali ini, saham siklikal yang bakal diuntungkan dari pembukaan kembali ekonomi menjadi penggeraknya, seperti emiten maskapai Delta Air Lines dan United Airlines yang melesat masing-masing sebesar 5,9% dan 6,9% di sesi pembukaan.
Harga minyak mentah dunia pun kembali menguat sebesar 2,5% atau kembali melewati angka psikologis US$ 70 per barel, sehingga saham ConocoPhillps dan Chevron pun berakhir di teritori positif.
Saham produsen mikrochip Micron melesat lebih dari 10% setelah kuartal III-2021 mencetak kinerja lebih baik dari ekspektasi. Saham Advanced Micro Devices (AMD) ikutan melonjak, mencapai 6,2%.
Omicron terlacak sudah menyebar di 43 dari 50 negara bagian di AS dan di 90 negara dunia. Rasio penyebaran mencapai 1,5 kali dalam 3 hari terakhir, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Varian terbaru virus Covid-19 tersebut kini menyumbang 73% infeksi di AS.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-sedikit pulih ke 1,46% setelah sebelumnya ambles hingga 1,36% akhir pekan lalu. Imbal hasil dan harga obligasi bergerak berkebalikan.
Artinya, harga sempat melejit karena diburu oleh pemodal yang resah melihat kenaikan risiko ekonomi terkait pandemi. Namun keresahan tersebut sedikit berkurang sehingga mereka melepas aset aman (safe haven) tersebut untuk kembali belanja aset berisiko seperti saham.
"Pasar bereaksi terhadap posisi jenuh jual dalam jangka pendek.. Omicron dan efeknya yang belum terukur menciptakan volatilitas signifikan, obligasi jenuh beli, saham jenuh jual," tutur Timothy Lesko, kepala Granite Investment Advisors seperti dikutip CNBC International.
Investor juga mengases prospek pertumbuhan ekonomi AS di bawah Presiden Joe Biden. Senat akan melakukan pemungutan suara untuk menyetujui program jaring pengaman sosial ala Biden di tengah pandemi dan kebijakan perubahan iklim pada Januari.
Sejauh ini, anggota Senat dari Partai Demokrat yakni Senator Joe Manchin menyatakan penolakannya. Ada dugaan bawa Partai Demokrat, partai pengusung Biden, bakal memberikan alternatif dengan menyusun proposal paket stimulus yang nilainya lebih rendah.
Letak persoalan yang terjadi di bursa saham Tanah Air kini bukan pada seburuk apa Omicron memicu tersendat dan bahkan lumpuhnya layanan kesehatan nasional seperti yang terjadi pada saat gelombang kedua pandemi terjadi akibat varian Delta.
Investor di seluruh dunia, baik di Amerika Serikat (AS), Eropa, maupun di Asia Pasifik sendiri kemarin cenderung bersepakat bahwa varian terbaru Covid-19 berjulukan Omicron tersebut tidak akan membanting perekonomian dunia.
Betul bahwa beberapa negara melakukan pengetatan kegiatan ekonomi dan pembatasan sosial (lockdown). Namun, dampaknya diprediksi bakal lebih terukur dan bersifat jangka pendek setelah karakteristik Omicron yang lebih "bersahabat" akhirnya terbukti secara klinis.
Artinya, jika nanti Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengonfirmasi hipotesis bahwa Omicron mmang tak memicu komplikasi, maka dalam hitungan hari dan bahkan jam pemerintah dari berbagai negara akan mencabut kembali lockdown.
Pertaruhan demikian memicu pasar saham di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, kemarin menguat. Pembalikan (rebound) di kisaran 1% seperti di Jepang atau 1,6% di AS menjadi bukti kuatnya pertaruhan tersebut di pasar.
Dengan melihat pola perkembangan kasus Covid-19 saat ini, Tim Riset CNBC Indonesia menilai Omicron justru berpeluang menjadi penawar yang akan mengakhiri pandemi, dengan skenario serupa yang terjadi pada Spanish Flu pada tahun 1918.
Pandemi berujung tragedi tersebut, yang memakan korban 50 juta orang-sepuluh kali lipat dari tingkat fatalitas di masa pandemi Covid-10, berakhir bukan karena adanya temuan vaksin atau obat untuk melawan virus flu varian H1N1 tersebut.
Sebaliknya, yang terjadi adalah virus tersebut bermutasi menjadi varian yang lebih "ramah" aliasi kurang mematikan. Dua tahun kemudian, pada 1920, kehidupan masyarakat pun kembali normal.
Virus penyebab pandemi Spanish Flu tersebut tidak pernah menghilang, dan ada bersama kita sampai sekarang, jika mengacu pada laporan Direktur Eksekutif National Center for Science Education Ann Reid yang dikutip Washington Post (3 September 2020).
Skenario serupa juga diharapkan terjadi dalam kasus pandemi Covid-19 ini. Meski tingkat penularannya lebih ganas, dengan rasio penularan 1,5 kali dan hanya perlu 3 hari inkubasi menurut WHO, efek yang ditimbulkan lebih rendah bagi manusia sehat.
Hal ini bisa kita lihat dari data Worldometer, di mana angka kematian harian akibat Covid-19 di seluruh dunia cenderung landai, yakni di angka 5.641 jiwa pada 20 Desember dibandingkan dengan angka kematian harian pada 23 November (ketika Omicron pertama teridentifikasi) sebanyak 8.513 korban.
Artinya, data tersebut secara lugas menunjukkan bahwa kemunculan Omicron justru berujung pada penurunan angka kematian sebesar 33,7%. Hal ini berpeluang mengulang skenario Spanish Flu dan berujung pada usainya pandemi.
Total kasus serius (yang dirawat di rumah sakit) di seluruh dunia pun naik hanya terbatas yakni sebesar 8,6% dari 81.704 pada 23 November menjadi 88.704 kasus pada 22 Desember. Besar dugaan yang dirawat adalah kasus akibat varian Delta yang saat ini masih mebyumbang 30% kasus, seperti yang terjadi di AS.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Stok minyak mentah API (04:30 WIB)
- RUSPLB PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (09:00 WIB)
- RUSPLB PT Perdana Karya Perkasa Tbk (10:00 WIB)
- RUSPLB PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (13:30 WIB)
- RUSPLB PT Bank Ganesha Tbk (14:00 WIB)
- RUSPLB PT Jasa Marga Tbk (14:00 WIB)
- Pertumbuhan PDB AS kuartal III-2021 (19:30 WIB)
- Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51% |
Inflasi (November 2021, YoY) | 1,75% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | 5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,5% PDB |
Cadangan Devisa (November 2021) | US$ 145,9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA