
Omicron dan Skenario Berakhirnya Pandemi ala Spanish Flu

Letak persoalan yang terjadi di bursa saham Tanah Air kini bukan pada seburuk apa Omicron memicu tersendat dan bahkan lumpuhnya layanan kesehatan nasional seperti yang terjadi pada saat gelombang kedua pandemi terjadi akibat varian Delta.
Investor di seluruh dunia, baik di Amerika Serikat (AS), Eropa, maupun di Asia Pasifik sendiri kemarin cenderung bersepakat bahwa varian terbaru Covid-19 berjulukan Omicron tersebut tidak akan membanting perekonomian dunia.
Betul bahwa beberapa negara melakukan pengetatan kegiatan ekonomi dan pembatasan sosial (lockdown). Namun, dampaknya diprediksi bakal lebih terukur dan bersifat jangka pendek setelah karakteristik Omicron yang lebih "bersahabat" akhirnya terbukti secara klinis.
Artinya, jika nanti Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengonfirmasi hipotesis bahwa Omicron mmang tak memicu komplikasi, maka dalam hitungan hari dan bahkan jam pemerintah dari berbagai negara akan mencabut kembali lockdown.
Pertaruhan demikian memicu pasar saham di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, kemarin menguat. Pembalikan (rebound) di kisaran 1% seperti di Jepang atau 1,6% di AS menjadi bukti kuatnya pertaruhan tersebut di pasar.
Dengan melihat pola perkembangan kasus Covid-19 saat ini, Tim Riset CNBC Indonesia menilai Omicron justru berpeluang menjadi penawar yang akan mengakhiri pandemi, dengan skenario serupa yang terjadi pada Spanish Flu pada tahun 1918.
Pandemi berujung tragedi tersebut, yang memakan korban 50 juta orang-sepuluh kali lipat dari tingkat fatalitas di masa pandemi Covid-10, berakhir bukan karena adanya temuan vaksin atau obat untuk melawan virus flu varian H1N1 tersebut.
Sebaliknya, yang terjadi adalah virus tersebut bermutasi menjadi varian yang lebih "ramah" aliasi kurang mematikan. Dua tahun kemudian, pada 1920, kehidupan masyarakat pun kembali normal.
Virus penyebab pandemi Spanish Flu tersebut tidak pernah menghilang, dan ada bersama kita sampai sekarang, jika mengacu pada laporan Direktur Eksekutif National Center for Science Education Ann Reid yang dikutip Washington Post (3 September 2020).
Skenario serupa juga diharapkan terjadi dalam kasus pandemi Covid-19 ini. Meski tingkat penularannya lebih ganas, dengan rasio penularan 1,5 kali dan hanya perlu 3 hari inkubasi menurut WHO, efek yang ditimbulkan lebih rendah bagi manusia sehat.
Hal ini bisa kita lihat dari data Worldometer, di mana angka kematian harian akibat Covid-19 di seluruh dunia cenderung landai, yakni di angka 5.641 jiwa pada 20 Desember dibandingkan dengan angka kematian harian pada 23 November (ketika Omicron pertama teridentifikasi) sebanyak 8.513 korban.
Artinya, data tersebut secara lugas menunjukkan bahwa kemunculan Omicron justru berujung pada penurunan angka kematian sebesar 33,7%. Hal ini berpeluang mengulang skenario Spanish Flu dan berujung pada usainya pandemi.
Total kasus serius (yang dirawat di rumah sakit) di seluruh dunia pun naik hanya terbatas yakni sebesar 8,6% dari 81.704 pada 23 November menjadi 88.704 kasus pada 22 Desember. Besar dugaan yang dirawat adalah kasus akibat varian Delta yang saat ini masih mebyumbang 30% kasus, seperti yang terjadi di AS.
(ags/ags)