Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar keuangan Tanah Air bisa dibilang cukup memuaskan minggu lalu. Harga saham dan obligasi pemerintah menguat dan hanya nilai tukar rupiah saja yang stagnan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat lebih dari 1% dan sukses mencetak level tertinggi sepanjang masa barunya yaitu di 6.720,99. Penguatan IHSG juga dibarengi dengan kenaikan harga obligasi pemerintah yang tercermin dari penurunan imbal hasil (yield).
Yield Surat Berharga Negara (SBN) untuk semua tenor acuan cenderung mengalami penurunan. Penurunan yield yang paling signifikan dijumpai di seri-seri tenor pendek 1-5 tahun.
Yield obligasi pemerintah RI masih tetap berada di level terendahnya dalam beberapa tahun terakhir meskipun tekanan inflasi global cenderung meningkat dan potensi pengetatan kebijakan moneter juga semakin terlihat.
Berbeda dengan saham dan obligasi negara, kurs rupiah cenderung stagnan di Rp 14.235/US$, sebelumnya sempat berfluktuasi dengan menguat ke Rp 14.180/US$, kemudian melemah di Rp 14.270/US$.
Secara makro, kabar baik datang dari rilis kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2021 yang mencatatkan surplus besar US$ 10,7 miliar.
Kinerja NPI membaik dari kuartal sebelumnya. Pasalnya pada periode April-Juni 2021, NPI Indonesia mengalami defisit US$ 0,4 miliar.
Surplus NPI ditopang oleh kinerja transaksi berjalan yang surplus US$ 4,5 miliar atau setara 1,5% PDB. Semua ini berkat neraca dagang barang RI yang juga surplus sebesar US$ 13,24 miliar pada periode yang sama. Ekspor Indonesia yang tumbuh signifikan menjadi pendorong terbesarnya.
Ekspor RI yang melesat sejalan dengan perekonomian global terutama negara-negara mitra dagang yang tetap solid dan kenaikan harga komoditas ekspor utama seperti batu bara hingga minyak sawit mentah (CPO) yang keduanya sempat tembus level all time high.
Secara teoritis, perbaikan kinerja NPI dan transaksi berjalan ini akan menjadi modal rupiah untuk menguat, atau setidaknya stabil. Stabilitas rupiah diharapkan bakal menarik minat investor asing untuk masuk ke pasar keuangan RI dan membeli berbagai aset portofolio ataupun masuk lewat skema investasi langsung.
Beralih ke bursa saham global yakni Wall Street, dalam sepekan kemarin indeks acuan S&P 500 masih mampu membukukan apresiasi 0,3%. Namun harus kembali ditutup melemah pada perdagangan terakhir.
Indeks Dow Jones ambles 0,75%, indeks S&P 500 melemah 0,14% pada Jumat (19/11). Namun saham-saham teknologi masih berhasil finish di zona hijau dengan apresiasi sebesar 0,4%.
Data ritel AS yang memuaskan dan juga didorong oleh data tenaga kerja yang terus membaik masih membuat selera investor terhadap aset-aset berisiko belum pudar, meskipun dari sisi inflasi juga masih terus dipantau karena dikhawatirkan bakal terus meningkat ke depan.
Hanya saja kabar buruk dari Eropa terkait dari kenaikan kasus Covid-19 kembali menghantui pasar keuangan global.
Dari Eropa, kasus Covid-19 melonjak puluhan kali lipat dan membuat pemerintah di berbagai negara kembali mengambil tindakan tegas.
Austria menjadi sorotan dunia setelah memilih kembali mengimplementasikan karantina wilayah (lockdown) berskala nasional. Sementara itu Jerman memilih untuk membatasi mobilitas masyarakat yang belum divaksinasi.
Kecemasan akan kembalinya lockdown berskala global juga merembet ke pasar komoditas. Harga kontrak futures minyak mentah pun ambrol ke level di bawah US$ 80/barel.
Untuk kontrak Brent sendiri ditutup di US$ 78,89/barel setelah melemah 3,85% sepekan. Sedangkan untuk kontrak West Texas Intermediate (WTI) jatuh lebih dalam dengan koreksi sebesar 5,91% ke level US$ 76,1/barel.
Lockdown yang ditakutkan akan membuat permintaan terhadap bahan bakar kembali ambles walaupun belakangan ini permintaan terbukti menguat.
Ekonomi yang juga pulih dengan cepat bisa kembali jatuh ke jurang resesi yang membuat aset-aset berisiko seperti saham kembali ambles apalagi saat ini secara valuasi sudah bisa terbilang mahal. Risiko inilah yang patut diwaspadai oleh pelaku pasar dalam waktu dekat.
Berita negatif yang datang dari Eropa dan tak kompaknya saham-saham di Bursa New York tentu saja menjadi kekhawatiran tersendiri bagi bursa saham Asia yang akan buka hari ini, Senin (22/11/2021).
Ditambah lagi dengan IHSG yang menyentuh level all time high akhir pekan lalu dengan apresiasi lebih dari 1%. Bisa jadi bakal ada aksi jual yang dipicu oleh adanya aksi profit taking para trader dan investor yang merespons kabar negatif tersebut.
Untuk pekan depan, dari dalam negeri akan minim sentimen. Tetapi yang bisa menjadi perhatian adalah kemungkinan diumumkannya pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) di Indonesia sudah terkendali. Namun pemerintah mengantisipasi kembali terjadinya lonjakan di akhir tahun ini. Oleh karena itu pemerintah rencananya akan menerapkan PPKM level 3 di seluruh wilayah Indonesia mulai 24 Desember hingga 2 Januari.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan kemungkinan besar akan mengumumkan ketentuan PPKM level 3, 22 November.
Muhadjir menegaskan bahwa kebijakan PPKM level 3 yang akan diterapkan menjelang akhir tahun itu sedikit berbeda dengan kebijakan PPKM level 3 yang diterapkan saat ini.
Selain sentimen seputar Covid-19 di dalam negeri dan global, investor juga perlu mencermati adanya potensi katalis negatif lain terutama soal kredibilitas The Fed selaku bank sentral AS dan yang paling digdaya di dunia.
Mulai banyak ekonom yang mengkritik pandangan the Fed bahwa inflasi yang terjadi hanya akan berlangsung temporer saja. Salah satunya adalah ekonom Allianz EL Erian.
Di sisi lain masa kepemimpinan Powell akan berakhir di bulan Februari tahun depan, Presiden AS Joe Biden bisa memilihnya kembali untuk melanjutkan ke periode kedua.
Powell masih menjadi favorit untuk melanjutkan kepemimpinannya. Namun, Biden saat ini sudah mewawancarai Powell dan salah satu kandidat lainnya Lael Brainard, wanita yang sudah menjabat dewan gubernur The Fed sejak 2014.
Keputusan apakah Powell akan diganti atau tidak bisa terjadi di pekan depan, dan bisa memberikan dampak signifikan ke pasar finansial, volatilitas pun diperkirakan akan meningkat.
Brainard dianggap lebih dovish ketimbang Powell, artinya jika dia ditunjuk besar kemungkinan The Fed akan mempertahan suku bunga rendah lebih lama.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis Data inflasi Hong Kong bulan Oktober 2021 (15.30 WIB)
- Rilis Data Indeks Keyakinan Konsumen Euro Area pembacaan awal November 2021 (22.00 WIB)
- Rilis Data Penjualan Rumah Existing AS bulan Oktober 2021 (22.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY) | 3,51 % |
Inflasi (Oktober 2021, YoY) | 1,66% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2021) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,82% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q3-2021) | 1,50% PDB |
Cadangan Devisa (Oktober 2021) | US$ 145,5 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA