Batu Bara Mau Dijadikan 'Mantan Terindah', IHSG Tegar Ya
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak pertengahan Oktober lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah beberapa kali nyaris memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa, tetapi selalu gagal. Baru pada pekan lalu bursa kebanggaan Tanah Air akhirnya sukses mencatat rekor tertinggi sepanjang masa, bahkan sebanyak dua kali di hari Kamis, kemudian dipecahkan lagi sehari setelahnya.
Rekor IHSG sebelumnya 6.693,466 dicapai pada 20 Februari 2018, sementara rekor terbaru di 6.714.158 yang dicapai Jumat (12/11/2021). Namun sayangnya setelah mencapai rekor tersebut IHSG justru terkoreksi ke 6.651.054. Dalam sepekan, IHSG sukses mencatat penguatan 1,05%. Investor asing juga melakukan aksi beli bersih nyaris Rp 2 triliun.
Pada perdagangan hari ini, Senin (15/11/2021) IHSG, rupiah, hingga Surat Berharga Negara (SNB) berpeluang kembali menguat, meski ada kabar buruk dari nasib batu bara, salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan aset dalam negeri hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kabar baik datang dari dalam negeri. ini Bank Indonesia pada Senin (8/11/2021) mengumumkan Survei Konsumen periode Oktober 2021 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terus menguat sejalan dengan membaiknya mobilitas masyarakat. Hal ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Oktober 2021 yang tercatat sebesar 113,4, meningkat dari 95,5 pada September 2021.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Kalau sudah di atas 100, maka artinya konsumen sudah optimistis.
Ketika konsumen kembali pede menatap perekonomian, maka kemungkinan besar akan meningkatkan konsumsi yang akan memutar roda perekonomian.
Kabar tersebut melengkapi kabar baik di awal bulan ini, IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) di Indonesia pada Oktober 2021 adalah 57,2. Melesat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,2. Angka indeks tersebut menjadi catatan tertinggi sepanjang sejarah.
Sektor manufaktur Indonesia berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sehingga ekspansi sektor manufaktur yang meningkat tajam ditambah dengan konsumen yang semakin pede, tentunya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat di kuartal III-2021.
Kabar baik tersebut juga membuat rupiah akhirnya lepas dari tekanan tapering yang diumumkan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) pada Kamis (4/11/2021) lalu.
Sepanjang pekan lalu rupiah mampu menguat 0,64% melawan dolar AS ke Rp 14.233/US$ berdasarkan data Refinitiv. Laju penguatan rupiah sempat tersendat pasca rilis data inflasi Amerika Serikat.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu (10/11/2021) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Tingginya inflasi di AS tersebut membuat yield obligasi AS (Treasury) tenor melesat 13 basis poin di hari Rabu. Kenaikan yield tersebut merupakan respon pelaku pasar yang mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga lebih cepat guna meredam inflasi.
Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan.
Akibat kenaikan yield Treasury AS, yield Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas juga mengalami kenaikan.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika harga turun yield akan bergerak naik, begitu juga sebaliknya. Artinya ketika yield mengalami kenaikan artinya banyak investor yang melepas SBN.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Berhenti Cetak Rekor, tapi Kirim Sentimen Positif
(pap/pap)