
Batu Bara Mau Dijadikan 'Mantan Terindah', IHSG Tegar Ya

Dari dalam negeri, data neraca dagang Indonesia akan menjadi perhatian. Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Oktober 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 46,06% dibandingkan Oktober 2020 (year-on-year/yoy). Melambat dibandingkan September yang tumbuh 47,64%.
Sedangkan impor diperkirakan tumbuh 58,35%. Jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 40,31%.
Meski impor tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor, tetapi neraca perdagangan diperkirakan masih surplus US$ 3,89 miliar. Kalau terwujud, maka neraca perdagangan Indonesia akan mengalami surplus selama 18 bulan beruntun alias 1,5 tahun.
Surplus neraca perdagangan akan sangat membantu kinerja transaksi berjalan. Saat transaksi berjalan semakin sehat, maka nilai tukar rupiah akan lebih stabil.
Saat nilai tukar rupiah stabil maka investor asing akan lebih nyaman berinvestasi di dalam negeri karena risiko kerugian kurs bisa diminimalisir.
Meski demikian, ada satu kabar kurang sedap yakni dari harga batu bara. Kenaikan tajam harga batu bara dan komoditas lainnya menjadi salah satu penopang surplus neraca dagang. Sayangnya, harga batu bara sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu, hingga pekan lalu malah jeblok lebih dari 47% ke US$ 147,25/ton.
Ketika batu bara mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, kenaikannya sepanjang tahun ini tercatat lebih dari 240%. Sementara kini kenaikannya sepanjang tahun terpangkas menjadi 81%.
Batu bara berperan vital dalam ekspor Indonesia. Sepanjang Januari-Agustus 2021, nilai ekspor batu bara mencapai US$ 14,5 5 miliar. Angka ini menyumbang 10,72% dari total ekspor non-migas, hanya kalah dari minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Kabar buruknya lagi, konferensi PBB untuk iklim di Glasgow (Skotlandia) memunculkan perdebatan keras terjadi kala harus membuat keputusan soal nasib batu bara.
Awalnya, disepakati menghapuskan secara berkala (phase out) pembangkit listrik bertenaga batu bara. Namun negara-negara berkembang seperti China dan India menolak, melakukan lobi, dan berhasil mengganti frasa phase out menjadi phase down (mengurangi secara bertahap).
"Revisi ini mencerminkan kepentingan nasional kami dan negara-negara berkembang lainnya. Kami menjadi suara negara-negara berkembang. Kami berupaya membuat kesepakatan yang masuk akal bagi negara berkembang dan sesuai dengan isu iklim," tegas Bhupender Yadav, Menteri Lingkungan dan Iklim India, sebagaimana diwartakan Reuters.
Bagaimana pun, sepertinya cepat atau lambat batu bara memang harus pergi. Para aktivis lingkungan menilai kesepakatan COP26 adalah gelas yang setengah penuh, bukan setengah kosong.
"Mereka boleh mengubah frasa, tetapi tidak mengubah sinyal bahwa era batu bara akan selesai. Jika Anda adalah pimpinan perusahaan batu bara, maka COP26 adalah hasil yang buruk," kata Jennifer Morgan, Direktur Eksekutif Greenpeace, juga dikutip dari Reuters.
Artinya, masa depan batu bara menjadi suram, bisa menjadi "mantan terindah" bagi Indonesia dalam hal kotribusinya ke nilai ekspor. Jika harganya akan kembali merosot di awal pekan ini, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar finansial RI.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini