Kabar Baik dari Segala Penjuru, IHSG 'All Time High' Lagi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan nasional ditutup kembali beragam pada perdagangan Kamis (11/11/2021) kemarin. Investor sempat merespons negatif dari rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) yang melonjak pada periode Oktober 2021.
Namun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup menguat. Sedangkan rupiah dan harga SBN terpantau melemah pada perdagangan kemarin.
IHSG ditutup menguat 0,12% ke level 6691,34 pada perdagangan kemarin. Pada perdagangan awal sesi I kemarin, IHSG sempat dibuka di level tertinggi barunya yakni di 6.694,58.
Tetapi selang beberapa menit, pergerakan IHSG cenderung volatil. Bahkan sempat menyentuh zona merah pada sekitar pukul 10:00 WIB kemarin.
Data perdagangan mencatat nilai transaksi pada perdagangan kemarin kembali turun menjadi Rp 10,7 triliun, 248 saham menguat, 271 saham melemah dan 154 lainnya mendatar. Investor asing tercatat kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 277 miliar di pasar reguler.
Adapun bursa Asia pada perdagangan kemarin secara mayoritas ditutup menguat. Indeks Shanghai Composite China dan Hang Seng Hong Kong memimpin penguatan bursa Asia, dengan melesat lebih dari 1%.
Sedangkan indeks S&P BSE Sensex India, KLCI Malaysia, Indeks saham Filipina, KOSPI Korea Selatan, dan Taiwan Capitalization Weighted Stock Index (Taiex) ditutup di zona merah pada perdagangan kemarin. Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Kamis:
Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Kamis kemarin kembali ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.260 kala penutupan perdagangan.
Rupiah melemah tipis 0,07%. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah berada di Rp 14.288, terkoreksi 0,24% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.
Sementara di Asia, mayoritas mata uang di kawasan tersebut terpantau melemah dihadapan dolar AS pada perdagangan kemarin, di mana ringgit Malaysia menjadi yang paling besar pelemahannya.
Hanya rupee India, won Korea Selatan, peso Filipina, dan baht Thailand yang berhasil menguat dihadapan sang greenback. Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS kemarin:
Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin secara mayoritas ditutup melemah, ditandai dengan menguatnya imbal hasil (yield). Investor pun kembali melepas kepemilikannya di pasar SBN. Hanya SBN bertenor 3, 15, dan 20 tahun yang masih diburu oleh investor, ditandai dengan pelemahan yield-nya.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 3 tahun turun sebesar 2,2 basis poin (bp) ke level 3,98%. Sedangkan yield SBN berjatuh tempo 15 tahun melemah 0,3 bp ke level 6,232% dan yield SBN dengan jangka waktu 20 tahun turun 1,1 bp ke level 6,878%.
Sementara untuk yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik menguat 1,3 bp ke level 6,17%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis:
Investor sempat bereaksi negatif terhadap rilis data inflasi Negeri Paman Sam pada periode Oktober 2021. Inflasi dari sektor konsumen (Indeks harga konsumen/IHK) AS dilaporkan melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), atau lebih panas dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,9%.
Angka itu juga menjadi yang tertinggi sejak tahun 1990. Secara bulanan (month-on-month/mom), IHK melompat 0,9% atau di atas estimasi yang sebesar 0,6%. Melonjak IHK AS pada bulan lalu membuat yield surat utang pemerintah AS (Treasury) melonjak kembali ke kisaran level 1,5% pada perdagangan Rabu waktu AS.
Dilansir data dari CNBC International, yield Treasury acuan bertenor 10 tahun menguat signifikan sebesar 12,1 bp ke level 1,57% pada penutupan pasar Rabu pukul 17:05 waktu AS, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Selasa lalu di level 1,449%.
Kenaikan imbal hasil mengindikasikan koreksi harga karena aksi jual investor. Inflasi tinggi menggerogoti keuntungan dari kupon obligasi.
Ketika yield Treasury melonjak, investor cenderung melepas pasar berbasis risiko seperti saham, utamanya saham teknologi yang berkorelasi negatif dengan imbal hasil Treasury.
Di kala yield Treasury tak lagi menarik, maka investor cenderung mencari investasi alternatif lainnya yang dianggap sebagai aset lindung nilai (hedging) dari inflasi, seperti emas dan bitcoin.
(chd/sef)