Newsletter

Kabar Baik dari Segala Penjuru, IHSG 'All Time High' Lagi?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
12 November 2021 06:00
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan nasional ditutup kembali beragam pada perdagangan Kamis (11/11/2021) kemarin. Investor sempat merespons negatif dari rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) yang melonjak pada periode Oktober 2021.

Namun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup menguat. Sedangkan rupiah dan harga SBN terpantau melemah pada perdagangan kemarin.

IHSG ditutup menguat 0,12% ke level 6691,34 pada perdagangan kemarin. Pada perdagangan awal sesi I kemarin, IHSG sempat dibuka di level tertinggi barunya yakni di 6.694,58.

Tetapi selang beberapa menit, pergerakan IHSG cenderung volatil. Bahkan sempat menyentuh zona merah pada sekitar pukul 10:00 WIB kemarin.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi pada perdagangan kemarin kembali turun menjadi Rp 10,7 triliun, 248 saham menguat, 271 saham melemah dan 154 lainnya mendatar. Investor asing tercatat kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 277 miliar di pasar reguler.

Adapun bursa Asia pada perdagangan kemarin secara mayoritas ditutup menguat. Indeks Shanghai Composite China dan Hang Seng Hong Kong memimpin penguatan bursa Asia, dengan melesat lebih dari 1%.

Sedangkan indeks S&P BSE Sensex India, KLCI Malaysia, Indeks saham Filipina, KOSPI Korea Selatan, dan Taiwan Capitalization Weighted Stock Index (Taiex) ditutup di zona merah pada perdagangan kemarin. Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Kamis:

Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Kamis kemarin kembali ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.260 kala penutupan perdagangan.

Rupiah melemah tipis 0,07%. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah berada di Rp 14.288, terkoreksi 0,24% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.

Sementara di Asia, mayoritas mata uang di kawasan tersebut terpantau melemah dihadapan dolar AS pada perdagangan kemarin, di mana ringgit Malaysia menjadi yang paling besar pelemahannya.

Hanya rupee India, won Korea Selatan, peso Filipina, dan baht Thailand yang berhasil menguat dihadapan sang greenback. Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS kemarin:

Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin secara mayoritas ditutup melemah, ditandai dengan menguatnya imbal hasil (yield). Investor pun kembali melepas kepemilikannya di pasar SBN. Hanya SBN bertenor 3, 15, dan 20 tahun yang masih diburu oleh investor, ditandai dengan pelemahan yield-nya.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 3 tahun turun sebesar 2,2 basis poin (bp) ke level 3,98%. Sedangkan yield SBN berjatuh tempo 15 tahun melemah 0,3 bp ke level 6,232% dan yield SBN dengan jangka waktu 20 tahun turun 1,1 bp ke level 6,878%.

Sementara untuk yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik menguat 1,3 bp ke level 6,17%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis:

Investor sempat bereaksi negatif terhadap rilis data inflasi Negeri Paman Sam pada periode Oktober 2021. Inflasi dari sektor konsumen (Indeks harga konsumen/IHK) AS dilaporkan melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), atau lebih panas dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,9%.

Angka itu juga menjadi yang tertinggi sejak tahun 1990. Secara bulanan (month-on-month/mom), IHK melompat 0,9% atau di atas estimasi yang sebesar 0,6%. Melonjak IHK AS pada bulan lalu membuat yield surat utang pemerintah AS (Treasury) melonjak kembali ke kisaran level 1,5% pada perdagangan Rabu waktu AS.

Dilansir data dari CNBC International, yield Treasury acuan bertenor 10 tahun menguat signifikan sebesar 12,1 bp ke level 1,57% pada penutupan pasar Rabu pukul 17:05 waktu AS, dari sebelumnya pada penutupan perdagangan Selasa lalu di level 1,449%.

Kenaikan imbal hasil mengindikasikan koreksi harga karena aksi jual investor. Inflasi tinggi menggerogoti keuntungan dari kupon obligasi.

Ketika yield Treasury melonjak, investor cenderung melepas pasar berbasis risiko seperti saham, utamanya saham teknologi yang berkorelasi negatif dengan imbal hasil Treasury.

Di kala yield Treasury tak lagi menarik, maka investor cenderung mencari investasi alternatif lainnya yang dianggap sebagai aset lindung nilai (hedging) dari inflasi, seperti emas dan bitcoin.

Dari Negeri Paman Sam (AS), bursa Wall Street secara mayoritas ditutup menguat pada perdagangan Kamis (11/11/2021). Ini terjadi di tengah menguatnya kembali saham teknologi setelah kemarin terpukul oleh sentimen inflasi.

Indeks S&P 500 ditutup naik tipis 0,06% ke level 4.649,27 dan Nasdaq Composite berbalik arah dengan menguat 0,52% ke 15.704,28. Namun untuk indeks Dow Jones kembali melemah 0,44% ke level 35.921,23.

Beberapa saham teknologi rebound pada perdagangan kemarin setelah melonjaknya data indeks harga konsumen (IHK) AS periode Oktober yang mendorong melonjaknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury) pada Rabu (10/11/2021) lalu. Saham Nvidia melesat 3.2% dan saham AMD melonjak 4.4%.

Di lain sisi, saham produsen komoditas di indeks S&P 500 menguat karena investor bertaruh pada inflasi yang berkelanjutan. Dana SPDR Sektor Material mencapai level tertinggi barunya sepanjang masa. Saham pertambangan Freeport-McMoRan meroket 9%, sedangkan saham produsen baja Nucor melesat 2,7%.

Namun, saham Disney anjlok hingga 7,07% pada penutupan perdagangan Kamis, setelah perseroan melaporkan kinerja laba bersih dan pendapatan kuartal III-2021 yang meleset dari perkiraan pasar. Jumlah pelanggan Disney+ juga tidak sesuai dengan ekspektasi.

Pada Rabu lalu, Indeks harga konsumen (IHK) AS dilaporkan melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), atau lebih panas dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,9%.

Angka itu juga menjadi yang tertinggi sejak tahun 1990. Secara bulanan (month-on-month/mom), IHK melompat 0,9% atau di atas estimasi yang sebesar 0,6%.

"Inflasi yang tetap tinggi, mengejutkan banyak orang yang memperkirakan harga akan kembali turun lebih cepat," kata Ryan Detrick, kepala strategi pasar LPL Financial, dilansir dari CNBC International.

"Anda tidak dapat menutup ekonomi sebesar US$ 20 triliun dan tidak merasakan guncangan saat dimulai kembali, tetapi kami berharap masalah rantai pasokan akan teratasi pada kuartal mendatang dan inflasi juga akan lebih tenang kedepannya," tambah Detrick.

Merespons data IHK AS, trader menaikkan ekspektasinya ketika kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pertama akan terjadi.

Pasar berjangka dana Fed kini melihat peluang yang lebih besar dari kenaikan suku bunga penuh pertama The Fed yang datang pada Juli tahun 2022.

Bursa Wall Street kembali berbalik arah ke zona hijau, di mana kenaikan Wall Street ditopang oleh beberapa saham teknologi yang sebelumnya terkoreksi akibat kenaikan imbal hasil Treasury.

Meskipun dua indeks utama di Wall Street yakni S&P 500 dan Nasdaq berhasil rebound, tetapi indeks Dow Jones masih terkoreksi pada perdagangan kemarin.

Masih terkoreksinya Dow Jones pada perdagangan kemarin karena diperberat oleh saham Disney yang ambruk lebih dari 7%pada penutupan perdagangan Kamis, setelah perseroan melaporkan kinerja laba bersih dan pendapatan kuartal III-2021 yang meleset dari perkiraan pasar.

Namun, pelaku pasar di AS mulai tidak terlalu menanggapi serius dari kenaikan inflasi Negeri Paman Sam pada bulan lalu, di mana mereka sebelumnya cenderung merespons spontan.

Sebelumnya pada Rabu lalu, Indeks harga konsumen (IHK) AS dilaporkan melesat 6,2% secara tahunan (year-on-year/yoy), atau lebih panas dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 5,9%.

Angka itu juga menjadi yang tertinggi sejak tahun 1990. Secara bulanan (month-on-month/mom), IHK melompat 0,9% atau di atas estimasi yang sebesar 0,6%.

Sementara itu dari China, kabar cenderung positif datang dari perusahaan properti China, di mana sinyal positif dari pelonggaran kebijakan yang mempengaruhi perusahaan properti baru-baru ini terlihat, sehingga dapat menggerakan harapan bahwa pelonggaran kebijakan pemerintah China di sektor properti kemungkinan dapat terjadi.

Dewan Negara China bertemu dengan asosiasi properti lokal dan lembaga keuangan di Guangzhou, beberapa hari setelah badan yang membuat rekomendasi kebijakan mengadakan pertemuan serupa dengan perusahaan pengembang dan perbankan di Shenzhen.

Pada Rabu (10/11/2021) kemarin, Securities Times melaporkan beberapa perusahaan real estate China mengungkapkan rencana untuk menerbitkan utang di pasar antar bank pada pertemuan dengan regulator pasar. Beberapa melihatnya sebagai tanda bahwa kondisi pembiayaan pengembang mulai membaik.

Data menunjukkan bahwa kenaikan pinjaman hipotek baru pada Oktober lalu dan kabar bahwa pemegang obligasi Evergrande menerima pembayaran kupon dari pengembang yang berhutang juga membantu sentimen pasar di China hari ini.

"China perlu melonggarkan pembatasan kebijakan terkait properti, karena industri ini sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Chan," kata Liam Zhou, pendiri hedge fund Minority Asset Management yang berbasis di Shanghai, dilansir dari Reuters.

Dikala sentimen pasar global cenderung positif, maka bukan tidak mungkin pada hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan mencoba kembali menembus level all time high (ATH) barunya.

Tetapi yang perlu diwaspadai adalah kenaikan IHSG yang sudah lebih dari 1% sepanjang pekan ini. Bahkan ada momentum para trader mulai merealisasikan keuntungannya alias profit taking.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data Harga Ekspor-Impor Korea Selatan periode Oktober 2021 (04:00 WIB),
  2. Rilis data inflasi konsumen harapan Australia periode November 2021 (07:00 WIB),
  3. Rilis data tingkat pengangguran China periode Oktober 2021 (09:00 WIB),
  4. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Terregra Asia Energy Tbk (10:00 WIB),
  5. Rilis data produksi industrial Zona Euro periode September 2021 (14:00 WIB),
  6. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Amar Indonesia Tbk (16:00 WIB),
  7. Rilis data lowongan pekerjaan AS versi JOLTs periode September 2021 (22:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51%

Inflasi (Oktober 2021, YoY)

1,66%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

0,8% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020)

US$ 0,4 miliar

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 145,5 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular