Newsletter

Ada Hantu Bergentayangan di China... Hantu Stagflasi!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 November 2021 05:59
Ilustrasi Yuan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Yuan China (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak melemah pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), harga obligasi pemerintah, hingga nilai tukar rupiah mengalami depresiasi.

Kemarin, IHSG ditutup di 6.552,89. Berkurang 0,58% dari posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia tampak kurang bergairah. Volume transaksi melibatkan 19,18 miliar unit saham, berbanding rata-rata 19,95 miliar unit sepanjang 2021 (year-to-date/ytd).

Kemudian nilai transaksi tercatat Rp 10,52 triliun, lumayan jauh dibandingkan rerata ytd yang Rp 13,49 triliun. Sementara frekuensi transaksi adalah 1,25 juta kali, padahal rata-rata ytd adalah 1,29 juta kali.

Investor asing masih membukukan beli bersih, tetapi tipis saja di Rp 89,04 miliar. Ini membuat nilai beli bersih investor asing menjadi Rp 39,68 triliun ytd.

Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun ditutup di 6,229%. Naik tipis 6 basis poin (bps) dari posisi akhir pekan lalu.

Harga dan yield obligasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Saat yield naik, artinya harga Surat Berharga Negara (SBN) sedang turun karena tekanan jual atau minimnya permintaan.

Pasar keuangan Tanah Air yang kurang semarak itu berdampak ke nilai tukar rupiah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Ibu Pertiwi menutup perdagangan pasar spot di Rp 14.245/US$. Melemah 0,56% sekaligus jadi mata uang terlemah di Asia.

Halaman Selanjutnya --> Wall Street Tenang Sebelum Badai Datang

Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama di Wall Street ditutup di jalur hijau meski kenaikannya relatif terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,26% ke 35.913,84, S&P 500 bertambah 0,18% menjadi 4.613,67, dan Nasdaq Composite terangkat 0,63% ke posisi 15.595,92. Ketiganya membukukan rekor tertinggi sepanjang masa.

Marc Chandler, Chief Market Strategist di Bannockburn Global Forex, menilai situasi di bursa saham New York mencerminkan kondisi tenang sebelum badai datang. Calm before the storm.

Badai ada yang dimaksud?

Pada Kamis dini hari pekan ini waktu Indonesia, bank sentrak AS (The Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan hasil rapat bulanan. Pasar berekspektasi bahwa Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan akan mengumumkan pengurangan pembelian surat berharga alias tapering off.

Untuk meredam dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), The Fed menggelontorkan likuiditas ke perekonomian dengan membeli surat berharga senilai US$ 120 miliar setiap bulannya. Dengan ekonomi Negeri Paman Sam yang makin membaik, sepertinya 'dosis' injeksi itu akan mulai dikurangi.

Pasar memperkirakan The Fed akan mengurangi pembelian aset sebanyak US$ 15 miliar sebagai awalan. Nantinya, pembelian aset akan semakin berkurang dan pada akhirnya habis. Ketika itu terjadi, kenaikan suku bunga acuan tinggal menunggu waktu.

"Pasar takut jika tapering yang terlalu berlebihan. Selain itu, pasar juga harap-harap cemas terhadap arah kebijakan suku bunga begitu tapering selesai," kata Chandler, seperti dikutip dari Reuters.

Saat likuiditas tidak lagi berlimpah gara-gara tapering, tiada lagi mentalitas 'beli, beli, beli' di pasar. Investor akan lebih berhati-hati, karena likuiditas yang mulai terbatas.

Oleh karena itu, aset-aset berisiko seperti saham mungkin tidak lagi menjadi primadona. Pemilik modal akan lebih nyaman menaruh uang di aset yang dipandang aman (safe haven) seperti obligasi pemerintah AS.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut menyimak sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu kabar baik dari Wall Street. Meski relatif tipis, penguatan DJIA cs bisa menjadi motivasi bagi pelaku pasar di Asia untuk mencapai hal yang sama, termasuk di Indonesia.

Sentimen kedua, investor sepertinya perlu mewaspadai ancaman baru selepas pandemi virus corona. Peningkatan permintaan ternyata tidak bisa berjalan seiring dengan tambahan pasokan. Apalagi krisis energi melanda berbagai negara, sehingga menghambat proses produksi.

Misalnya di China. Keterbatasan pasokan bahan baku, tenaga kerja, plus krisis energi membuat biaya produksi membengkak. Inflasi tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) China pun melonjak tajam.

Pada September 2021, PPI China mencapai 10,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi setidaknya sejak 1996.

Saat tekanan inflasi mulai terasa, output perekonomian malah melambat. Ini terlihat dari aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers' Index (PMI).

Biiro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan PMI manufaktur periode Oktober 2021 adalah 49,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,6 sekaligus jadi yang terendah sejak Februari 2020.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 50, maka artinya dunia usaha sedang berada di fase kontraksi, tidak ada ekspansi.

Seperti halnya Indonesia, sektor manufaktur di China juga punya peranan vital di perekonomian. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata sektor ini menyumbang 29,06% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto.

Hampir sepertiga perekomian Negeri Tirai Bambu disumbang oleh sektor manufaktur. So, perlambatan sektor manufaktur akan menjadi beban bagi China untuk bisa menumbuhkan ekonomi.

Nah, ekonomi yang melambat tetapi inflasi tinggi ini dikenal dengan istilah stagflasi. Ini adalah mimpi buruk, karena pelaku ekonomi harus membayar mahal demi pertumbuhan ekonomi yang so-so saja. Pengorbanan tidak sebanding dengan hasil.

Ancaman stagflasi di China tidak bisa dianggap main-main. China adalah perekonomian terbesar kedua di dunia, nomor satu di Asia. Perlambatan ekonomi China akan membawa petaka bagi banyak negara.

Misalnya Indonesia. Bagi Indonesia, China adalah negara mitra dagang utama. Sepanjang Januari-September 2021, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 35,67 miliar atau 22,3% terhadap total ekspor non-migas. China adalah pasar ekspor terbesar bagi Indonesia.

Ketika ekonomi China melambat, rasanya akan lebih sulit bagi Indonesia untuk menjual barang di sana. Saat ekspor ke China turun, maka akan mengganggu kinerja ekspor secara keseluruhan.

Padahal ekspor berperan penting dalam pembentukan PDB di Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, rata-rata sumbangsih ekspor dalam pembentukan PDB adalah 21,56%.

Oleh karena itu, jangan anggap remeh ancaman stagflasi di China. Banyak negara akan kena getahnya, tidak terkecuali Indonesia.

Halaman Selanjutnya --> Simak Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Rilis laporan keuangan PT Matahari Department Store Tbk periode kuartal III-2021 (tentatif).
  • Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bima Sakti Pertiwi Tbk (tentatif).
  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Fimperkasa Utama Tbk (10:00 WIB).
  • Pengumuman suku bunga acuan bank sentral Australia (10:30 WIB).
  • Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (13:00 WIB).
  • Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (16:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Untuk mengakses data pasar terkini, silahakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular