
Ada Hantu Bergentayangan di China... Hantu Stagflasi!

Untuk perdagangan hari ini, investor patut menyimak sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu kabar baik dari Wall Street. Meski relatif tipis, penguatan DJIA cs bisa menjadi motivasi bagi pelaku pasar di Asia untuk mencapai hal yang sama, termasuk di Indonesia.
Sentimen kedua, investor sepertinya perlu mewaspadai ancaman baru selepas pandemi virus corona. Peningkatan permintaan ternyata tidak bisa berjalan seiring dengan tambahan pasokan. Apalagi krisis energi melanda berbagai negara, sehingga menghambat proses produksi.
Misalnya di China. Keterbatasan pasokan bahan baku, tenaga kerja, plus krisis energi membuat biaya produksi membengkak. Inflasi tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) China pun melonjak tajam.
Pada September 2021, PPI China mencapai 10,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi setidaknya sejak 1996.
Saat tekanan inflasi mulai terasa, output perekonomian malah melambat. Ini terlihat dari aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers' Index (PMI).
Biiro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan PMI manufaktur periode Oktober 2021 adalah 49,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,6 sekaligus jadi yang terendah sejak Februari 2020.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 50, maka artinya dunia usaha sedang berada di fase kontraksi, tidak ada ekspansi.
Seperti halnya Indonesia, sektor manufaktur di China juga punya peranan vital di perekonomian. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata sektor ini menyumbang 29,06% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto.
Hampir sepertiga perekomian Negeri Tirai Bambu disumbang oleh sektor manufaktur. So, perlambatan sektor manufaktur akan menjadi beban bagi China untuk bisa menumbuhkan ekonomi.
Nah, ekonomi yang melambat tetapi inflasi tinggi ini dikenal dengan istilah stagflasi. Ini adalah mimpi buruk, karena pelaku ekonomi harus membayar mahal demi pertumbuhan ekonomi yang so-so saja. Pengorbanan tidak sebanding dengan hasil.
Ancaman stagflasi di China tidak bisa dianggap main-main. China adalah perekonomian terbesar kedua di dunia, nomor satu di Asia. Perlambatan ekonomi China akan membawa petaka bagi banyak negara.
Misalnya Indonesia. Bagi Indonesia, China adalah negara mitra dagang utama. Sepanjang Januari-September 2021, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 35,67 miliar atau 22,3% terhadap total ekspor non-migas. China adalah pasar ekspor terbesar bagi Indonesia.
Ketika ekonomi China melambat, rasanya akan lebih sulit bagi Indonesia untuk menjual barang di sana. Saat ekspor ke China turun, maka akan mengganggu kinerja ekspor secara keseluruhan.
Padahal ekspor berperan penting dalam pembentukan PDB di Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, rata-rata sumbangsih ekspor dalam pembentukan PDB adalah 21,56%.
Oleh karena itu, jangan anggap remeh ancaman stagflasi di China. Banyak negara akan kena getahnya, tidak terkecuali Indonesia.
Halaman Selanjutnya --> Simak Data dan Agenda Hari Ini
(aji/aji)