Newsletter

Wall Street Bangkit dari 'Sadtember', IHSG Siap Tancap Gas?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
04 October 2022 06:10
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada awal perdagangan kuartal IV-2022 cenderung melemah, ditandai dengan terkoreksinya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah. Namun, pasar obligasi ditutup menguat.

Pada Senin (03/10), melansir data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup melemah 0,44%ke posisi7.009,72. Hanya tinggal sedikit lagi IHSG menyentuh ke bawah level psikologisnya di 7.000.

Nilai transaksi indeks mencapai sekitaran Rp 11 triliun dengan melibatkan 20 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 252 saham menguat, 281 saham melemah dan 171 lainnya mendatar.

Dari 11 sektor, hanya 5 sektor yang berhasil berada di zona hijau, sementara indeks lainnya terjerumus di zona negatif. Bahkan, indeks keuangan yang memiliki pangsa pasar terbesar, juga melemah 0,73% dan menjadi pemberat laju IHSG.

Selain itu, beberapa emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar juga mengalami aksi jual. Di urutan pertama, saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) menjadi saham emiten yang paling banyak di lego, di mana saham GOTO memberatkan indeks hingga 13,238 poin. Saham GOTO ditutup ambles 3,25% ke posisi Rp 238/saham.

Sedangkan di posisi kedua dan ketiga, ada PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang juga memberatkan indeks masing-masing 7,06 poin dan 4,18 poin. Saham BMRI ditutup ambrol 1,59% ke Rp 9.275/saham dan saham BBCA melemah 0,58% menjadi Rp 8.500/saham.

Ternyata, IHSG tidak sendirian. Di bursa Asia Pasifik, mayoritas saham berakhir di zona merah.

Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup merosot 0,83% ke posisi 17.079,51, Straits Times Singapura melemah 0,74% ke 3.107,09, ASX 200 Australia terkoreksi 0,27% ke 6.456,9.

Sementara untuk indeks KOSPI Korea Selatan tidak dibuka karena sedang libur memperingati Hari Yayasan Nasional atau Gaecheonjeol.

Adapun untuk pekan ini, pasar keuangan di China termasuk perdagangan di bursa saham Shanghai dan Shenzhen libur selama sepekan dan tidak ada perilisan data ekonomi maupun agenda pasar lainnya karena sedang libur nasional.

Senasib, Mata Uang Garuda juga ditutup melemah 0,49% ke Rp 15.305/US$ dan menyentuh level terlemahnya sejak 29 April 2020.

Posisi tersebut mengantarkan rupiah menjadi mata uang yang terkoreksi paling dalam di Asia. Kemudian, disusul oleh baht Thailand dan ringgit Malaysia melemah yang masing-masing sebesar 0,26% dan 0,24% terhadap si greenback. Sementara, dolar Hong Kong dan dolar Taiwan ditutup stagnan.

Berbeda halnya dengan pasar obligasi, mayoritas investor kembali memburu Surat Berharga Negara (SBN), yang ditandai dengan turunya yield. Namun, mereka cenderung melepas SBN berjangka pendek yakni tenor 1 dan 3 tahun, di mana imbal hasil (yield) kedua tenor SBN tersebut mengalami kenaikan.

Melansir data dari Refinitivyield SBN tenor 1 tahun naik 0,4 basis poin (bp) ke posisi 5,587%, sedangkan yield SBN berjangka waktu 3 tahun melonjak 35,7 bp menjadi 6,817%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara kembali turun 2,2 bp menjadi 7,358%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Investor memburu pasar obligasi pemerintah RI setelah data inflasi pada September lalu dirilis dan kembali melonjak. Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin mengumumkan jika inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) pada bulan lalu menembus 5,95% dan menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014.

Inflasi tinggi merupakan masalah utama di dunia saat ini. Presiden Jokowi berulangkali mengungkapkan bahwa inflasi adalah momok terbesar saat ini oleh semua negara di dunia. Pasalnya, banyak negara di dunia yang tersandung akan inflasi tinggi.

Inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga pangan hingga energi, dan perang Rusia-Ukraina yang tak pasti kapan berakhir.

Di sisi lainnya, rilis data ekonomi dari dalam negeri yang solid, tampaknya juga belum mampu menopang pasar keuangan Indonesia kemarin.

Seperti diketahui, aktivitas manufaktur Indonesia kembali ekspansif, tercermin dari rilis IHS Markit PMI Manufaktur September 2022 yang mencapai 53,7, naik dari 51,7 pada bulan sebelumnya.

Sebagai catatan, ini adalah posisi PMI di atas level 50 dalam tiga belas bulan beruntun. Selain itu, IHS Markit mencatat ini adalah tingkat ekspansi yang tercepat dalam delapan bulan dan paling solid secara keseluruhan.

Laura Denman, Ekonom di S&P Global Market Intelligence, mengungkapkan data survei terbaru konsisten dengan peningkatan kesehatan manufaktur Indonesia sejak Januari lalu.

"Kondisi permintaan yang lebih kuat membantu untuk mendorong peningkatan pesanan baru yang paling tajam dalam hampir setahun ini," kata Laura, dikutip CNBC Indonesia, Senin (3/10/2022).

Laura menambahkan peningkatan permintaan juga mempengaruhi aktivitas pembelian, yang meningkat pada kecepatan paling tajam dalam delapan bulan.

Perbaikan permintaan juga mendorong peningkatan yang lebih kuat dalam produksi, serta lapangan pekerjaan. Di sisi lain, IHS Markit melihat adanya pelunakan dari tekanan inflasi.

Meskipun perusahaan manufaktur Indonesia umumnya yakin bahwaoutputakan meningkat selama tahun depan, IHS Markit tetap melihat tingkat sentimen positif turun ke terendah tiga bulan dan tetap di bawah tren sejarah.

Indeks acuan Amerika Serikat (AS) kompak pulih pada awal kuartal IV-2022 (03/10/2022), karena imbal hasil (yield) obligasi menurun dari rekor tertingginya.

Indeks Dow Jones ditutup melesat 2,66% ke 29.490,89 dan S&P 500 naik tajam 2,59% ke 3.678,43. Sementara Nasdaq menguat 2,27% ke 10.815,44.

Posisi penutupan indeks Dow Jones menjadi level penutupan terbaiknya sejak 24 Juni 2022, sedangkan posisi penutupan indeks acuan S&P 500 menjadi yang terbaiknya sejak 27 Juli 2022.

Pulihnya bursa Wall Street terjadi setelah yield obligasi tenor 10 tahun menurun dan diperdagangkan sekitar 3,65%, setelah sempat menyentuh rekor tertingginya hingga 4% pekan lalu.

"Ini cukup sederhana pada titik ini, yield obligasi tenor 10 tahun naik dan ekuitas kemungkinan akan tetap di bawah tekanan, tapi ketika yield turun dan ekuitas akan menguat" tutur Analis Raymond James Travis McCourt dikutip CNBC International.

Bursa saham Wall Street berusaha keluar dari penurunannya selama September 2022, di mana indeks Dow Jones dan S&P 500 mengalami terkoreksi tajam secara bulanan terbesar sejak Maret 2020.

Pada perdagangan Jumat (30/9) pekan lalu, indeks Dow Jones juga ditutup di bawah level 29.000 untuk pertama kalinya sejak November 2020.

Di sepanjang September 2022, indeks Dow Jones melemah tajam 8,8%, sedangkan indeks S&P 500 dan Nasdaq kehilangan masing-masing sebesar 9,3% dan 10,5%.

Secara kuartalan, indeks Dow Jones ambruk 6,6% dan mengalami penurunan selama tiga kuartal beruntun untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2015. Senasib, indeks S&P 500 dan Nasdaq merosot masing-masing sebesar 5,28% dan 4,11% dan terkoreksi selama tiga kuartal beruntun pada tahun ini. Hal tersebut terjadi untuk pertama kalinya sejak 2009.

Menurut Kepala Strategi Investasi CFRA Sam Stovall bahwa reli pada perdagangan Senin (03/10) tidak mengejutkan mengingat bagaimana pasar oversold.

"Karena S&P 500 turun lebih dari 9% pada September 2022, ISM lebih lemah dari yang diharapkan, begitu pula untuk pengeluaran konstruksi. Pasar menduga mungkin The Fed tidak akan agresif. Akibatnya, kita melihat yield obligasi turun dan dolar melemah. Faktor-faktor itu berkontribusi pada pergerakan yang kita lihat hari ini," tambah Stovall.

Stovall juga menyatakan bahwa secara historis kuartal empat merupakan salah satu kuartal terbaik dan mencatat bahwa reli di akhir tahun lebih kuat.

Pulihnya bursa Wall Street pada penutupan perdagangan Senin (03/10), perlu dicermati oleh pelaku pasar pada hari ini.

Ketiga indeks utama berakhir di zona hijau, bahkan melesat tajam hingga lebih dari 2%, menghentikan tren penurunanya selama pekan lalu. Relinya bursa Wall Street menjadi angin segar untuk pergerakan bursa saham global hari ini.

Namun, investor masih harus berhati-hati, karena analis memprediksikan bahwa indeks acuan di Wall Street akan pulih terbatas pada tahun ini, meskipun bursa saham global akan melewati Santa Rally yang merupakan momen spesifik, di mana ada kecenderungan Wall Street akan mengalami kenaikan di 5 hari terakhir perdagangan setiap tahunnya dan berlanjut pada dua hari pertama pada tahun selanjutnya.

Lembaga keuangan ternama, CitiGroup kembali memangkas prediksinya terhadap indeks S&P 500. Indeks S&P 500 diproyeksikan akan menyentuh level 4.000 hingga pada akhir tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di level 4.200. Sedangkan, pada akhir 2023, indeks acuan tersebut diproyeksikan akan berada pada level 3.900.

Puliahnya bursa Wall Street diharapkan dapat menular ke bursa saham global, tidak terkecuali pasar ekuitas di Indonesia.

Namun, William Surya Wijaya, Direktur Uama PT Yugen Bertumbuh Sekuritas memperkirakan IHSG masih berpeluang terkoreksi hari ini dan diproyeksikan akan diperdagangkan di rentang 6.872-7.236.

"Pasca rilis data perekonomian berupa data inflasi yang menunjukkan masih berada dalam rentang stabil, di mana kondisi perekonomian juga masih berjalan dengan baik serta cenderung kembali ke arah normal pasca pandemi. Hal ini tentunya dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan para emiten dalam pasar modal Indonesia, sehingga dapat turut memberikan sentimen positif terhadap pergerakan IHSG dalam rentang jangka panjang. Namun, IHSG berpotensi melemah," tutur William dalam analisisnya.

Selain itu, investor perlu mencermati beberapa sentimen penggerak pasar lainnya dari dalam negeri dan luar negeri.

Pertama, rilis data inflasi pada September 2022 yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (3/10), menunjukkan angka inflasi secara bulanan mencapai 1,17% dan menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014. Dengan demikian, inflasi secara tahunan berada di 5,95% dan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015. 

Sementara itu, inflasi inti juga meningkat menjadi 3,21% dari bulan sebelumnya di 3,04%. Melonjaknya angka inflasi dipicu oleh melesatnya harga energi.

"Inflasi kita 5,95% kenaikan tertinggi untuk komponen energi itu di September 16,48% dimana Agustus hanya 5,18%," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (3/10/2022).

Lebih rinci, kenaikan bensin mencapai 31,9% dan memberikan andil sebesar 1,13%. Kemudian solar naik 33,01% dan andilnya terhadap keseluruhan adalah 0,04%, seiring dengan porsi konsumsi yang lebih kecil dibandingkan bensin.

Dampak kenaikan harga BBM menyasar komponen lain. Adalah angkutan dalam kota di mana kenaikan tarifnya menyebabkan inflasi 24,36% dan andil 0,10%. Angkutan udara sendiri juga alami kenaikan 49,66% dan andil inflasi 0,39%. Selanjutnya ada bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan antar kota, tarif kendaraan roda 2 online dan tarif kendaraan roda 4 online.

Wajar saja, BBM diperlukan oleh setiap operasi bisnis, ketika harga BBM naik, tentunya akan mendorong mayoritas harga produk di dalam negeri. Kenaikan tersebut juga akan berkontribusi terhadap harga yang dibayarkan konsumen.

Inflasi tinggi merupakan masalah utama di dunia saat ini. Bahkan, Presiden Jokowi berulangkali mengungkapkan bahwa inflasi adalah masalah terbesar saat ini dan banyak negara yang mengalami inflasi tinggi.

"Pertama yang ingin saya sampaikan momok pertama semua negara saat ini inflasi, inflasi semua negara biasanya hanya 1% sekarang 8%, lebih dari 10% dan bahkan ada lebih dari 80 persen, ada 5 negara," kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9/2022) lalu.

Inflasi yang tinggi memang bisa menimbulkan masalah besar. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.

Melihat pergerakan pasar finansial global tersebut, investor sepertinya melihat sesuatu yang lebih besar dan lebih parah ketimbang resesi, yakni stagflasi. Berbeda dengan resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka terjadi.

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah. Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an, dan belum lagi pernah terjadi. Saat ini pun baru sebatas risiko stagflasi.

Kedua, pergerakan indeks dolar AS di pasar spot. Melansir Refinitiv, indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya telah melesat sekitar 17% di sepanjang tahun ini dan sempat menyentuh rekor tertinggi selama dua dekade pada akhir September 2022 di posisi 114,7.

Namun, pada perdagangan Senin (3/10), indeks dolar berakhir melemah 0,41% ke posisi 111,65 dan kian menjauhi rekor tertinggi 20 tahunnya. Momen tersebut dapat menjadi peluang untuk Mata Uang Garuda dapat reli pada perdagangan hari ini.

Secara year to date, rupiah masih terkoreksi 6,4% terhadap dolar AS, tapi pelemahan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan mata uang dunia lainnya. Bahkan, rupiah berhasil menduduki juara ketiga di Asia. Rupiah hanya kalah dengan dolar Hong Kong dan dolar Singapura yang koreksinya lebih sedikit terhadap si greenback.

Secara persentase, yen Jepang menjadi yang paling parah, merosot lebih dari 25% dan berada di level terlemah dalam 24 tahun terakhir. Kurs ringgit Malaysia juga berada di level terlemah sejak 1998, yuan China terlemah dalam 14 tahun terakhir.

Dari Eropa, poundstering juga menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah, sementara euro di level terendah 20 tahun.

Ketiga, investor perlu mencermati rilis data lowongan pekerjaan di AS per Agustus 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pukul 21:00 WIB.

Sebagai infomasi, Departemen Tenaga Kerja AS telah merilis data lowongan pekerjaan AS per Juli 2022 yang melampaui prediksi analis FactSet, bertambah hingga hampir 1 juta lowongan pekerjaan. Dengan begitu, angka lowongan pekerjaan di Juli 2022 mencapai 11,24 juta.

Data lowongan pekerjaan baru di AS biasanya juga turut diamati The Fed sebelum memutuskan menaikkan suku bunga acuannya. Rilis data tersebut dapat menunjukkan seberapa tangguh pasar tenaga kerja di AS.

Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS, bahwa terdapat gap yang besar antara lowongan pekerjaan baru di AS dan jumlah orang yang menganggur. Jumlah orang yang menganggur hanya sebanyak 6,5 juta orang, lebih sedikit dari lowongan pekerjaan. Artinya, secara rasio, ada dua lowongan pekerjaan untuk setiap orang yang menganggur.

Labor Departmentsumber: Labor Department

Hal tersebut mendorong para pelaku usaha untuk menawarkan bonus dan gaji yang tinggi, sehingga membuat masyarakat AS tetap konsumtif. Padahal, The Fed sedang berjuang untuk menekan konsumsi dengan menaikkan suku bunga acuannya secara agresif, agar angka inflasi dapat turun ke target Fed di 2%.

Namun, pasar tenaga kerja yang tangguh, akan membuat Fed kesulitan untuk membawa turun angka inflasi lebih cepat.

Konsensus analis Trading Economics memprediksikan angka lowongan kerja AS pada Agustus 2022 akan melandai ke 10,7 juta dari 11,2 juta pekerjaan baru di Juli 2022. Jika benar terjadi, maka tekanan pada The Fed menjadi berkurang, sehingga inflasi pun berpotensi turun lebih cepat.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Keputusan suku bunga oleh The Reserve Bank of Australia (RBA) per September 2022 (10:30 WIB)
  • Indeks Harga Produsen (IHP) Agustus 2022 Eropa (16:00 WIB)
  • Pidato Pejabat Fed (20:00 WIB)
  • Angka Pekerjaan Baru AS per Agustus 2022 (21:00 WIB)
  • Pidato Ketua bank sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde (22:00 WIB)
  • Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank MNC International Tbk (BABP) (10:00 WIB)
  • Pembagian dividen PT United Tractors Tbk (UNTR)

Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY)

5,44%

Inflasi (Agustus 2022 YoY)

4.69%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022)

4,25%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

(3,92% PDB)

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022)

(1,1%) PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (Agustus 2022)

US$ 123,2 miliar

 TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular