
Wall Street Bangkit dari 'Sadtember', IHSG Siap Tancap Gas?

Pulihnya bursa Wall Street pada penutupan perdagangan Senin (03/10), perlu dicermati oleh pelaku pasar pada hari ini.
Ketiga indeks utama berakhir di zona hijau, bahkan melesat tajam hingga lebih dari 2%, menghentikan tren penurunanya selama pekan lalu. Relinya bursa Wall Street menjadi angin segar untuk pergerakan bursa saham global hari ini.
Namun, investor masih harus berhati-hati, karena analis memprediksikan bahwa indeks acuan di Wall Street akan pulih terbatas pada tahun ini, meskipun bursa saham global akan melewati Santa Rally yang merupakan momen spesifik, di mana ada kecenderungan Wall Street akan mengalami kenaikan di 5 hari terakhir perdagangan setiap tahunnya dan berlanjut pada dua hari pertama pada tahun selanjutnya.
Lembaga keuangan ternama, CitiGroup kembali memangkas prediksinya terhadap indeks S&P 500. Indeks S&P 500 diproyeksikan akan menyentuh level 4.000 hingga pada akhir tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di level 4.200. Sedangkan, pada akhir 2023, indeks acuan tersebut diproyeksikan akan berada pada level 3.900.
Puliahnya bursa Wall Street diharapkan dapat menular ke bursa saham global, tidak terkecuali pasar ekuitas di Indonesia.
Namun, William Surya Wijaya, Direktur Uama PT Yugen Bertumbuh Sekuritas memperkirakan IHSG masih berpeluang terkoreksi hari ini dan diproyeksikan akan diperdagangkan di rentang 6.872-7.236.
"Pasca rilis data perekonomian berupa data inflasi yang menunjukkan masih berada dalam rentang stabil, di mana kondisi perekonomian juga masih berjalan dengan baik serta cenderung kembali ke arah normal pasca pandemi. Hal ini tentunya dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan para emiten dalam pasar modal Indonesia, sehingga dapat turut memberikan sentimen positif terhadap pergerakan IHSG dalam rentang jangka panjang. Namun, IHSG berpotensi melemah," tutur William dalam analisisnya.
Selain itu, investor perlu mencermati beberapa sentimen penggerak pasar lainnya dari dalam negeri dan luar negeri.
Pertama, rilis data inflasi pada September 2022 yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (3/10), menunjukkan angka inflasi secara bulanan mencapai 1,17% dan menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014. Dengan demikian, inflasi secara tahunan berada di 5,95% dan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Sementara itu, inflasi inti juga meningkat menjadi 3,21% dari bulan sebelumnya di 3,04%. Melonjaknya angka inflasi dipicu oleh melesatnya harga energi.
"Inflasi kita 5,95% kenaikan tertinggi untuk komponen energi itu di September 16,48% dimana Agustus hanya 5,18%," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (3/10/2022).
Lebih rinci, kenaikan bensin mencapai 31,9% dan memberikan andil sebesar 1,13%. Kemudian solar naik 33,01% dan andilnya terhadap keseluruhan adalah 0,04%, seiring dengan porsi konsumsi yang lebih kecil dibandingkan bensin.
Dampak kenaikan harga BBM menyasar komponen lain. Adalah angkutan dalam kota di mana kenaikan tarifnya menyebabkan inflasi 24,36% dan andil 0,10%. Angkutan udara sendiri juga alami kenaikan 49,66% dan andil inflasi 0,39%. Selanjutnya ada bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan antar kota, tarif kendaraan roda 2 online dan tarif kendaraan roda 4 online.
Wajar saja, BBM diperlukan oleh setiap operasi bisnis, ketika harga BBM naik, tentunya akan mendorong mayoritas harga produk di dalam negeri. Kenaikan tersebut juga akan berkontribusi terhadap harga yang dibayarkan konsumen.
Inflasi tinggi merupakan masalah utama di dunia saat ini. Bahkan, Presiden Jokowi berulangkali mengungkapkan bahwa inflasi adalah masalah terbesar saat ini dan banyak negara yang mengalami inflasi tinggi.
"Pertama yang ingin saya sampaikan momok pertama semua negara saat ini inflasi, inflasi semua negara biasanya hanya 1% sekarang 8%, lebih dari 10% dan bahkan ada lebih dari 80 persen, ada 5 negara," kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9/2022) lalu.
Inflasi yang tinggi memang bisa menimbulkan masalah besar. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.
Melihat pergerakan pasar finansial global tersebut, investor sepertinya melihat sesuatu yang lebih besar dan lebih parah ketimbang resesi, yakni stagflasi. Berbeda dengan resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka terjadi.
Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah. Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an, dan belum lagi pernah terjadi. Saat ini pun baru sebatas risiko stagflasi.
Kedua, pergerakan indeks dolar AS di pasar spot. Melansir Refinitiv, indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya telah melesat sekitar 17% di sepanjang tahun ini dan sempat menyentuh rekor tertinggi selama dua dekade pada akhir September 2022 di posisi 114,7.
Namun, pada perdagangan Senin (3/10), indeks dolar berakhir melemah 0,41% ke posisi 111,65 dan kian menjauhi rekor tertinggi 20 tahunnya. Momen tersebut dapat menjadi peluang untuk Mata Uang Garuda dapat reli pada perdagangan hari ini.
Secara year to date, rupiah masih terkoreksi 6,4% terhadap dolar AS, tapi pelemahan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan mata uang dunia lainnya. Bahkan, rupiah berhasil menduduki juara ketiga di Asia. Rupiah hanya kalah dengan dolar Hong Kong dan dolar Singapura yang koreksinya lebih sedikit terhadap si greenback.
Secara persentase, yen Jepang menjadi yang paling parah, merosot lebih dari 25% dan berada di level terlemah dalam 24 tahun terakhir. Kurs ringgit Malaysia juga berada di level terlemah sejak 1998, yuan China terlemah dalam 14 tahun terakhir.
Dari Eropa, poundstering juga menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah, sementara euro di level terendah 20 tahun.
Ketiga, investor perlu mencermati rilis data lowongan pekerjaan di AS per Agustus 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pukul 21:00 WIB.
Sebagai infomasi, Departemen Tenaga Kerja AS telah merilis data lowongan pekerjaan AS per Juli 2022 yang melampaui prediksi analis FactSet, bertambah hingga hampir 1 juta lowongan pekerjaan. Dengan begitu, angka lowongan pekerjaan di Juli 2022 mencapai 11,24 juta.
Data lowongan pekerjaan baru di AS biasanya juga turut diamati The Fed sebelum memutuskan menaikkan suku bunga acuannya. Rilis data tersebut dapat menunjukkan seberapa tangguh pasar tenaga kerja di AS.
Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS, bahwa terdapat gap yang besar antara lowongan pekerjaan baru di AS dan jumlah orang yang menganggur. Jumlah orang yang menganggur hanya sebanyak 6,5 juta orang, lebih sedikit dari lowongan pekerjaan. Artinya, secara rasio, ada dua lowongan pekerjaan untuk setiap orang yang menganggur.
![]() |
Hal tersebut mendorong para pelaku usaha untuk menawarkan bonus dan gaji yang tinggi, sehingga membuat masyarakat AS tetap konsumtif. Padahal, The Fed sedang berjuang untuk menekan konsumsi dengan menaikkan suku bunga acuannya secara agresif, agar angka inflasi dapat turun ke target Fed di 2%.
Namun, pasar tenaga kerja yang tangguh, akan membuat Fed kesulitan untuk membawa turun angka inflasi lebih cepat.
Konsensus analis Trading Economics memprediksikan angka lowongan kerja AS pada Agustus 2022 akan melandai ke 10,7 juta dari 11,2 juta pekerjaan baru di Juli 2022. Jika benar terjadi, maka tekanan pada The Fed menjadi berkurang, sehingga inflasi pun berpotensi turun lebih cepat.
(aaf/luc)