Newsletter

IHSG Lepas "Kutukan" September, Krisis Finansial Kini Menanti

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Jumat, 01/10/2021 06:02 WIB
Foto: reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meroket pada perdagangan Kamis kemarin, meski masih banyak sentimen negatif di pasar finansial global. Hal tersebut terlihat dari nilai tukar rupiah yang terus tertekan, begitu juga dengan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN).

Sementara untuk perdagangan hari ini, Jumat (1/10/2021), kabar baik sekaligus buruk datang dari Amerika Serikat (AS). Kongres AS sudah menyepakati anggaran jangka pendek yang akan menghindarkan pemerintahan mengalami shutdown atau penghentian operasional. Tetapi kabar buruknya, bursa saham AS (Wall Street) kembali babak belur.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini, termasuk risiko krisis finansial akibat masalah utang AS akan diulas pada halaman 3 dan 4.

Balik lagi pada pergerakan kemarin, IHSG tidak tanggung-tanggung melesat lebih dari 2% ke 6.286,943. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak 23 Maret lalu.

Selain itu, nilai transaksi juga jumbo kemarin, nyaris Rp 24 triliun. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, investor asing mencatatkan aksi beli bersih sebesar Rp 1,94 triliun di pasar reguler, tetapi net sell sebesar Rp 5,8 triliun di pasar negosiasi.

Berkat penguatan kemarin, IHSG lepas dari "kutukan" September, sukses penguatan sebesar 2,2%. Jika dilihat ke belakang, dalam tiga tahun berturut-turut IHSG selalu terpuruk di bulan September. Pada tahun lalu bahkan jeblok lebih dari 7%. Sejak 2011, IHSG mencatat pelemahan sebanyak 7 kali di bulan September.

"Kutukan" September sebenarnya terjadi di Wall Street. Mengingat Wall Street adalah kiblat bursa saham dunia, IHSG tentu juga bisa kena imbasnya.

Penguatan tajam IHSG kemarin tidak diikuti rupiah yang justru membukukan pelemahan 3 hari beruntun melawan dolar AS. Rupiah kemarin mengakhiri perdagangan di Rp 14.310/US$. Sama dengan 2 hari sebelumnya, rupiah tanpa perlawanan, tidak pernah mencicipi zona hijau sepanjang perdagangan. Akibat pelemahan 3 hari beruntun, rupiah mencatat pelemahan 0,32% di September.

Koreksi yield obligasi AS (Treasury) sebenarnya membuka ruang rupiah untuk menguat. Sayangnya, sentimen negatif datang dari China, sektor manufakturnya kembali menunjukkan kontraksi untuk pertama kalinya sejak Februari 2020.

Akitivitas manufaktur dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) dengan angka 50 menjadi ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Pemerintah China hari ini melaporkan PMI manufaktur bulan September turun menjadi 49,6 dari bulan sebelumnya 50,1.

PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.

Tren tersebut hingga akhirnya mengalami kontraksi memicu kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.

Hal yang sama juga terjadi di pasar obligasi, hanya SBN tenor 1 dan 25 tahun yang menguat, tercermin dari penurunan imbal hasilnya (yield).

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> "Kutukan" September Masih Horor Bagi Wall Street


(pap/pap)
Pages