Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meroket pada perdagangan Kamis kemarin, meski masih banyak sentimen negatif di pasar finansial global. Hal tersebut terlihat dari nilai tukar rupiah yang terus tertekan, begitu juga dengan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN).
Sementara untuk perdagangan hari ini, Jumat (1/10/2021), kabar baik sekaligus buruk datang dari Amerika Serikat (AS). Kongres AS sudah menyepakati anggaran jangka pendek yang akan menghindarkan pemerintahan mengalami shutdown atau penghentian operasional. Tetapi kabar buruknya, bursa saham AS (Wall Street) kembali babak belur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini, termasuk risiko krisis finansial akibat masalah utang AS akan diulas pada halaman 3 dan 4.
Balik lagi pada pergerakan kemarin, IHSG tidak tanggung-tanggung melesat lebih dari 2% ke 6.286,943. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak 23 Maret lalu.
Selain itu, nilai transaksi juga jumbo kemarin, nyaris Rp 24 triliun. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, investor asing mencatatkan aksi beli bersih sebesar Rp 1,94 triliun di pasar reguler, tetapi net sell sebesar Rp 5,8 triliun di pasar negosiasi.
Berkat penguatan kemarin, IHSG lepas dari "kutukan" September, sukses penguatan sebesar 2,2%. Jika dilihat ke belakang, dalam tiga tahun berturut-turut IHSG selalu terpuruk di bulan September. Pada tahun lalu bahkan jeblok lebih dari 7%. Sejak 2011, IHSG mencatat pelemahan sebanyak 7 kali di bulan September.
"Kutukan" September sebenarnya terjadi di Wall Street. Mengingat Wall Street adalah kiblat bursa saham dunia, IHSG tentu juga bisa kena imbasnya.
Penguatan tajam IHSG kemarin tidak diikuti rupiah yang justru membukukan pelemahan 3 hari beruntun melawan dolar AS. Rupiah kemarin mengakhiri perdagangan di Rp 14.310/US$. Sama dengan 2 hari sebelumnya, rupiah tanpa perlawanan, tidak pernah mencicipi zona hijau sepanjang perdagangan. Akibat pelemahan 3 hari beruntun, rupiah mencatat pelemahan 0,32% di September.
Koreksi yield obligasi AS (Treasury) sebenarnya membuka ruang rupiah untuk menguat. Sayangnya, sentimen negatif datang dari China, sektor manufakturnya kembali menunjukkan kontraksi untuk pertama kalinya sejak Februari 2020.
Akitivitas manufaktur dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) dengan angka 50 menjadi ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Pemerintah China hari ini melaporkan PMI manufaktur bulan September turun menjadi 49,6 dari bulan sebelumnya 50,1.
PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.
Tren tersebut hingga akhirnya mengalami kontraksi memicu kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.
Hal yang sama juga terjadi di pasar obligasi, hanya SBN tenor 1 dan 25 tahun yang menguat, tercermin dari penurunan imbal hasilnya (yield).
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> "Kutukan" September Masih Horor Bagi Wall Street
Bursa saham AS (Wall Street) kembali ambrol pada perdagangan terakhir di bulan September. Pergerakan tersebut sekaligus menegaskan September menjadi bulan yang tidak bersahabat bagi Wall Street.
Indeks Dow Jones kemarin ambrol 1,59% ke 33.843,92, S&P 500 minus 1,19% ke 4.307,54, sementara Nasdaq melemah 0,4% ke 14.448,58.
Sepanjang September indeks S&P 5000 ambrol 4,76%, menjadi kinerja terburuk sejak Maret 2020, Dow Jones merosot 2,74%, dan Nasdaq jeblok 5,31%.
"September memperkuat reputasinya dan menekan tingkat pengembalian saham, tetapi tidak terlalu buruk," tulis analis Yardeni Research Ed Yardeni dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.
"Ada kecemasan tingginya gaji, harga energi, dan biaya transportasi akan membebani laba perusahaan di sisa tahun ini hingga ke 2022. Ini menjadi sesuatu yang layak kita cermati. Tetapi sejauh ini para analis masih optimistis" tambahnya.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun yang sempat melonjak ke level 1,56% kini telah berangsur melandai dan kembali 1,4925% pada Kamis. Kenaikan imbal hasil obligasi acuan ini memicu tekanan di pasar saham, khususnya terhadap saham teknologi.
Namun, meski yield Treasury sudah ke bawah 1,5% lagi, nyatanya aksi jual masih tetap menerpa Wall Street.
Memperburuk sentimen pelaku pasar, klaim awal tunjangan pengangguran pekan lalu yang berada di angka 362.000 atau lebih buruk dari ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones yang semula memperkirakan angka 335.000.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Jebloknya Wall Street pada perdagangan Kamis kemarin tentunya membawa sentimen negatif ke Asia, IHSG yang meroket lebih dari 2% dan berada di level tertinggi sejak bulan Maret berisiko diterpa aksi ambil untung (profit taking). Wall Street yang jeblok juga menjadi indikasi sentimen pelaku pasar sedang memburuk, dan bisa menekan rupiah serta SBN.
Sementara itu kabar baik juga datang dari AS, Kongres sudah menyepakati anggaran jangka pendek yang menghindarkan pemerintahan mengalami shutdown. Anggaran tersebut akan mendanai operasional hingga awal Desember.
Tetapi, shutdown sebenarnya bukan masalah yang perlu ditakuti, sebab tidak memberikan dampak yang besar ke dalam negeri. Bahkan, saat shutdown terakhir dan terpanjang dalam sejarah AS yang terjadi pada 22 Desember 2018 hingga 25 Januari 2019, pasar finansial Indonesia malah mencatat kinerja positif.
Pada Jumat 21 Agustus 2018, rupiah berada di Rp 14.550/US$, sementara pada Senin 28 Januari 2019 di Rp 14.065/US$ artinya terjadi penguatan lebih dari 3,3%. Dari pasar saham, pada periode yang sama IHSG juga mencatat penguatan lebih dari 4,5%.
Kemudian dari sisi sektor riil, ekspor Indonesia ke Amerika tetap menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat di bulan Desember 2018 tercatat sebesar US$ 1,484 miliar naik 1,99% dari ekspor bulan November 2018.
Kemudian, ekspor di Januari 2019 juga naik 2% menjadi US$ 1,512 miliar.
Hal tersebut membuktikan jika shutdown sebenarnya tidak berdampak besar bagi Indonesia. Yang patut diwaspadai adalah risiko gagal bayar (default) Amerika Serikat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah.
Selain anggaran belanja, masalah batas utang juga sedang menjadi isu politik di AS saat ini. Pemerintah AS ingin menaikkan batas utang yang saat ini sebesar US$ 28,4 triliun, tetapi ditolak oleh Partai Republik di Kongres. Jika tidak dinaikkan, hingga batas waktu 18 Oktober mendatang Amerika terancam mengalami default, dan hal tersebut diprediksi akan memicu krisis finansial.
"Jika batas utang tidak dinaikkan, suatu saat di bulan Oktober, sulit untuk memprediksi kapan waktu tepatnya, saldo kas di Departemen Keuangan tidak akan mencukupi, dan pemerintah federal tidak akan mampu membayar tagihannya," kata Menteri Keuangan AS, Janet Yellen beberapa waktu lalu.
"Amerika Serikat tidak pernah mengalami default, tidak sekalipun. Jika terjadi default maka akan memicu krisis finansial yang bersejarah. Default bisa memicu kenaikan suku tajam suku bunga, penurunan tajam bursa saham, dan gejolak finansial lainnya," tegas Yellen.
Artinya, memasuki bulan Oktober, pasar akan dibayangi krisis finansial, dan pembahasan batas utang AS akan menjadi perhatian utama.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Dari dalam negeri, pagi ini akan dirilis data PMI manufaktur yang berpotensi menggerakkan pasar finansial. Pada bulan Agustus lalu, PMI manufaktur dilaporkan sebesar 43,7 alias mengalami kontraksi cukup dalam.
"Gangguan Covid-19 berlanjut terhadap perekonomian Indonesia dab membebani sektor manufaktur selama dua bulan berturut-turut. Meskipun begitu, dengan gelombang kedua Cpvid-19 yang sudah melewati puncak, penurunan produksi dan permintaan perlahan mereda," sebut keterangan tertulis IHS Markit awal September lalu.
Data PMI manufaktur untuk bulan September seharusnya menunjukkan perbaikan, sebab pemerintah sudah melonggarkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Berlanjutnya perbaikan PMI manufaktur tentunya bisa memberikan sentimen positif ke pasar finansial, apalagi seandaianya ada kejutan dengan kembali berekspansi.
Selain itu Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini akan melaporkan data inflasi.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan (month-to-month/mtm) sangat tipis di 0,01%.
Sementara inflasi tahunan (year-on-year/yoy) diperkirakan 1,655%. Kemudian inflasi inti 'diramal' sebesar 1,33% yoy.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan terjadi deflasi pada September 2021. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama dalam tiga bulan terakhir.
BI dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) hingga pekan IV memperkirakan terjadi deflasi 0,01% pada September 2021 dibandingkan bulan. Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/ytd) menjadi 0,83% dan inflasi tahunan 1,63%.
Rendahnya inflasi tersebut bisa menjadi indikasi daya beli masyarakat yang rendah, dan tentunya memberikan dampak yang kurang bagus.
Di sisi lain, rendahnya inflasi memberikan ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga. Fitch Solutions memprediksi suku bunga di Indonesia akhir 2021 berada di 3,25% atau turun 25 basis poin dari level saat ini.
Penurunan suku bunga memang bisa lebih memacu perekonomian, tetapi berisiko membuat rupiah tertekan, apalagi The Fed kini sudah bersiap mengurangi stimulus moneternya. Sehingga bagaimana kebijakan moneter ke depannya akan menarik.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Indeks Tankan manufaktur dan non-manufaktur Jepang (pukul 6:50 WIB)
- Neraca dagang Korea Selatan (pukul 7:00 WIB)
- PMI manufaktur Indonesia (pukul 7:30 WIB)
- PMI manufaktur Korea Selatan (pukul 7:30 WIB)
- Inflasi Indonesia (11:00 WIB).
- Tingkat keyakinan konsumen Jepang (pukul 12:00 WIB)
- Inflasi Zona Euro (16:00 WIB)
- Inflasi PCE Amerika Serikat (19:30 WIB)
- ISM Manufaktur dan sentimen konsumen AS (pukul 21:00 WIB)
- Inflasi Italia (pukul 16:00 WIB)
- PDB Final dan klaim tunjangan pengangguran AS (pukul 19:30 WB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA