
IHSG Lepas "Kutukan" September, Krisis Finansial Kini Menanti

Jebloknya Wall Street pada perdagangan Kamis kemarin tentunya membawa sentimen negatif ke Asia, IHSG yang meroket lebih dari 2% dan berada di level tertinggi sejak bulan Maret berisiko diterpa aksi ambil untung (profit taking). Wall Street yang jeblok juga menjadi indikasi sentimen pelaku pasar sedang memburuk, dan bisa menekan rupiah serta SBN.
Sementara itu kabar baik juga datang dari AS, Kongres sudah menyepakati anggaran jangka pendek yang menghindarkan pemerintahan mengalami shutdown. Anggaran tersebut akan mendanai operasional hingga awal Desember.
Tetapi, shutdown sebenarnya bukan masalah yang perlu ditakuti, sebab tidak memberikan dampak yang besar ke dalam negeri. Bahkan, saat shutdown terakhir dan terpanjang dalam sejarah AS yang terjadi pada 22 Desember 2018 hingga 25 Januari 2019, pasar finansial Indonesia malah mencatat kinerja positif.
Pada Jumat 21 Agustus 2018, rupiah berada di Rp 14.550/US$, sementara pada Senin 28 Januari 2019 di Rp 14.065/US$ artinya terjadi penguatan lebih dari 3,3%. Dari pasar saham, pada periode yang sama IHSG juga mencatat penguatan lebih dari 4,5%.
Kemudian dari sisi sektor riil, ekspor Indonesia ke Amerika tetap menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat di bulan Desember 2018 tercatat sebesar US$ 1,484 miliar naik 1,99% dari ekspor bulan November 2018.
Kemudian, ekspor di Januari 2019 juga naik 2% menjadi US$ 1,512 miliar.
Hal tersebut membuktikan jika shutdown sebenarnya tidak berdampak besar bagi Indonesia. Yang patut diwaspadai adalah risiko gagal bayar (default) Amerika Serikat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah.
Selain anggaran belanja, masalah batas utang juga sedang menjadi isu politik di AS saat ini. Pemerintah AS ingin menaikkan batas utang yang saat ini sebesar US$ 28,4 triliun, tetapi ditolak oleh Partai Republik di Kongres. Jika tidak dinaikkan, hingga batas waktu 18 Oktober mendatang Amerika terancam mengalami default, dan hal tersebut diprediksi akan memicu krisis finansial.
"Jika batas utang tidak dinaikkan, suatu saat di bulan Oktober, sulit untuk memprediksi kapan waktu tepatnya, saldo kas di Departemen Keuangan tidak akan mencukupi, dan pemerintah federal tidak akan mampu membayar tagihannya," kata Menteri Keuangan AS, Janet Yellen beberapa waktu lalu.
"Amerika Serikat tidak pernah mengalami default, tidak sekalipun. Jika terjadi default maka akan memicu krisis finansial yang bersejarah. Default bisa memicu kenaikan suku tajam suku bunga, penurunan tajam bursa saham, dan gejolak finansial lainnya," tegas Yellen.
Artinya, memasuki bulan Oktober, pasar akan dibayangi krisis finansial, dan pembahasan batas utang AS akan menjadi perhatian utama.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
(pap/pap)