Newsletter

Varian Delta Jadi Momok Pasar Modal RI, Ada 'Damai' Hari Ini?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 June 2021 06:50
ekspor
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal kembali dalam tekanan kemarin menyusul lonjakan kasus Covid-19 di dalam negeri akibat penyebaran varian virus Delta asal India B1617.2. Hari ini, pasar akan mencari sedikit "kedamaian" dari rilis data perdagangan Mei.

Sempat bergerak di zona hijau, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah pada perdagangan Senin (14/6/2021). Indeks bursa saham Tanah Air tersebut ditutup melemah 0,25% ke 6.080,38 setelah sempat menguat di sesi pertama.

Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), 309 saham melemah, 187 saham menguat dan 155 lainnya flat. Nilai transaksi kembali turun menjadi Rp 9,6 triliun, dari sebelumnya yang biasanya mencapai angka Rp 12 triliun.

Namun, investor asing masih mencatatkan pembelian bersih (net buy) di pasar reguler sebesar Rp 311,8 miliar. Saham yang diburu terutama adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 257 miliar. Sebaliknya penjualan bersih (net sell) asing terjadi pada saham PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) yang dilepas sebesar Rp 38 miliar

Ketakpastian seputar prospek likuiditas global menjadi pemicu aksi jual di bursa saham, menyusul masih adanya risiko bank sentral AS mengurangi kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) dengan memangkas pembelian obligasi di pasar sekunder.

Jika kebijakan itu dilakukan lebih cepat karena inflasi AS sudah mencapai 5%, maka pasar akan bereaksi negatif dan memicu aksi jual, terutama di negara-negara berkembang seperti yang terjadi pada tahun 2013.

Sentimen negatif juga datang dari dalam negeri berupa kenaikan kasus Covid-19. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, ada tambahan kasus baru sebanyak 8.189. Dengan demikian, total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 1,919 juta orang.

Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah dengan tingkat penularan tertinggi, dengan 450.793 kasus kemarin, tetapi Jawa Timur mencatatkan angka kematian tertinggi sebanyak 11.728 orang. Lonjakan kasus ini diduga terkait dengan varian baru virus Covid-19 asal India yang memiliki tingkat penularan lebih cepat.

Di DKI Jakarta per 6 Juni 2021, kasus baru Covid-19 masih berkisar 7.000/hari dan seketika meningkat menjadi 17.400 per kemarin. Rata-rata positivity rate atau rasio penderita yang terkonfirmasi positif dari total yang dites usap (swab), meningkat dalam 7 hari terakhir dari 9% ke 17%.

Kondisi ini memicu risiko melesetnya target pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan target pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 8% yang semula dipatok berpeluang meleset akibat kasus ini.

Sementara itu, rupiah tak sekalipun menyentuh zona apresiasi. Menurut data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,01% ke Rp 14.190/US$ dan terus melemah hingga akhir perdagangan di Rp 14.200/US$ atau melemah tipis 0,08%.

Ketakpastian itu memicu pemodal memburu kembali obligasi pemerintah, sehingga harga mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) kembali menguat, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN berjangka pendek 1 tahun yang yield-nya naik, sebesar 3,4 basis poin. Sementara itu yield SBN 10 tahun yang menjadi acuan obligasi negara turun 7,6 bp ke 6,358%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Aksi cetak rekor tertinggi kembali terjadi di bursa saham AS. Setelah pada Senin kemarin indeks S&P 500 mencetak rekor tertinggi baru dengan menguat 0,4%, kali ini aksi cetak rekor juga terjadi pada indeks Nasdaq yang bertambah 0,7% menjadi 14.174,14 dini hari tadi.

Indeks yang berisi saham raksasa teknologi ini melibas rekor tertingginya yang semula dicetak pada 26 April. Indeks S&P 500 juga menyentuh rekor tertinggi baru setelah menguat 0,2% ke 4.255,15. Sebaliknya, indeks Dow Jones malah melemah, sebesar 0,3%, menjadi 34.393,75.

Investor kembali masuk ke saham-saham berbasis pertumbuhan seperti teknologi menyusul penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun ke bawah 1,43% akhir pekan lalu. Itu merupakan level terendah dalam 3 bulan.

Sebagai catatan, koreksi imbal hasil memberikan peluang penurunan biaya pendanaan emiten teknologi, yang secara alamiah memang rakus pendanaan berbasis surat utang. Jika biaya kupon obligasi berkurang, maka meningkat pula profitabilitas mereka.

Saham Apple dan Netflix kompak melonjak hingga 2% lebih, disusul Amazon, Microsoft dan Facebook yang naik. Di sisi lain, saham Tesla menguat 1,3% di penutupan, menyusul kenaikan harga Bitcoin yang menembus angka US$ 40.000/keping.

Harga mata uang kripto tersebut naik berkat komentar CEO Tesla Elon Musk yang menyebutkan akan menerima pembayaran dalam mata uang kripto terlaris itu, dengan dalih penambangannya sudah menggunakan energi ramah lingkungan. Tesla memiliki Bitcoin dalam aset investasinya.

Pasar masih memantau rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan dimulai malam ini. Meski bank sentral diprediksi tak akan mengubah suku bunga acuan, tetapi komennya seputar inflasi dan laju pembelian The Fed atas surat berharga bakal menggerakkan pasar. Ketua The Fed Jerome Powell dijadwalkan berpidato usai rapat tersebut.

"Karena pasar terus bergerak memantau arah aksi The Fed dan inflasi yang membayangi, kita bakal terus melihat narasi [tentang tren sepinya transaksi pada bulan Juni] terus terjadi dalam jangka pendek," tutur Direktur Pelaksana E-Trade Financial Chris Larkin, dikutip CNBC International.

Jika ada sinyal yang menunjukkan bahwa kebijakan moneter ketat berpeluang diambil tahun ini, atau lebih cepat dari proyeksi sebelumnya pada 2023 atau pengurangan (tapering) pembelian obligasi benar dilakukan dalam waktu dekat, maka Wall Street akan bergerak volatil.

Pandangan pelaku pasar domestik hari ini bakal tertuju pada Badan Pusat Statistik (BPS) yang akan merilis data neraca perdagangan per Mei. Kabar baik diharapkan muncul dari sana, berupa kenaikan kembali impor yang mengindikasikan bahwa manufaktur nasional-yang mayoritas barang modal dan bahan pendukungnya masih diimpor-kembali bergeliat.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan impor melesat 68,2% secara tahunan, atau merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2008. Sementara itu, ekspor diprediksi tumbuh 56,1% yang mengindikasikan perekonomian global mulai pulih.

Senada, polling Reuters menyebutkan bahwa impor nasional bulan lalu diprediksi meroket 65% secara tahunan, atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor yang diprediksi melesat 57,5%. Dus, neraca dagang diperkirakan surplus sebesar US$ 2,3 miliar (menurut polling Reuters), atau sebesar US$ 2,13 miliar (menurut konsensus CNBC Indonesia).

Data tersebut akan menjadi angin segar dan memberikan alasan untuk membeli saham-saham yang terkoreksi, meski dalam horizon jangka pendek. Pasalnya, Indonesia masih menghadapi risiko penyebaran Covid-19 varian India.

Dari Amerika Serikat (AS), data yang perlu dipantau adalah penjualan ritel dan indeks harga produsen (Producer Price Index/PPI) per Mei yang akan menjadi titik konfirmasi apakah pertumbuhan inflasi sebesar 5% bulan lalu itu masih berpeluang berlanjut, atau melandai.

Proyeksi Tradingeconomics menunjukkan bahwa penjualan ritel diprediksi bakal menguat, menjadi 55%, atau membaik jika dibandingkan dengan catatan April yang sebesar 51%. Sementara itu, PPI diprediksi sedikit meningkat menjadi 6,4% dari periode April sebesar 6,2%.

Jika proyeksi tersebut terkonfirmasi, maka laju inflasi AS berpeluang naik kembali karena penjualan ritel menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat AS. Dalam ekonomi Negara Adidaya tersebut, konsumsi rumah tangga menyumbang 70% Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.

Di sisi lain, PPI merupakan indikator kenaikan inflasi di tingkat produsen, yang pada ujungnya akan dibebankan kepada konsumen selaku pembeli akhir. Otomatis, tingkat Indeks Harga Konsumen (IHK) alias inflasi bakal meningkat pula.

Di tengah kondisi demikian, kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pun kian krusial. Begitu krusialnya, hingga bisa membuat Jeromw Powell kehilangan tahta jika salah mengambil kebijakan dan memicu aksi jual besar-besaran di pasar dunia, menurut bos pengelola dana Paul Tudor Jones.

"Jika mereka di jalur yang benar dengan berkata 'kami mendapat data masuk, sudah menyelesaikan misi dan akan mulai menyelesaikan misi pembukaan lapangan kerja secepatnya' maka akan ada taper tantrum," tutur Tudor Jones sebagaimana dikutip CNBC International.

Jika itu yang terjadi, lanjut dia, maka akan ada aksi jual besar-besaran secara berjamaah baik di pasar surat utang maupun di pasar saham. Kebijakan moneter ketat akan berujung pada terhentinya pasokan likuiditas yang belakangan membuat indeks saham AS mencetak rekor baru.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Tingkat pengangguran Inggris per Mei (06:00 WIB)
  • Ekspor-Impor Indonesia per Mei (11:00 WIB)
  • Upah Buruh per Mei (11:30 WIB)
  • Penjualan Ritel AS per Mei (12:30 WIB)
  • Indeks Harga Produsen AS per Mei (13:00 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten yang akan berlangsung hari ini:

  • RUPST PT Darya Varia Laboratory Tbk (10:00 WIB)
  • RUPST PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (10:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular