Newsletter

Risiko Tapering Hilang, Hantu Inflasi & Lockdown Membayang

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
30 April 2021 06:30
Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal nasional pada Kamis kemarin (29/4/2021) bergairah menyambut sikap istiqomah bank sentral Amerika Serikat (AS) dalam kebijakan moneternya. Hari ini, pasar masih akan bergairah selama inflasi inti di AS masih terkendali.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona hijau karena investor yakin bahwa risiko capital outflow telah hilang setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mempertahankan kebijakan moneter longgar termasuk pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE).

Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG sukses melewati level psikologis 6.000 dengan berakhir di level 6.012,961 atau menguat 38,5 poin (+0,64%). Nilai transaksi tercatat masih terbatas, hanya Rp 9,6 triliun dengan 16,1 miliar saham berpindah tangan 1 juta-an kali.

Investor asing membukukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 83,3 miliar di pasar reguler, meski di pasar negosiasi tercatat penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 105,1 miliar. Sebanyak 312 saham menguat, 181 saham turun dan 146 sisanya stagnan.

Selama ini, koreksi bursa saham-yang terjadi bersamaan dengan koreksi pasar obligasi-dipicu oleh adanya kekhawatiran bahwa pelarian modal (capital outflow) bakal mendera negara berkembang termasuk Indonesia jika bank sentral AS mengerem laju pembelian aset di pasar.

Namun sikap The Fed yang tetap dovish memberikan jaminan bahwa kekhawatiran seputar taper tantrum (koreksi berjamaah indeks bursa negara berkembang karena The Fed mengurangi pembelian surat berharga di pasar), sudah memudar.

Penguatan juga dialami rupiah terhadap dolar AS, yang berjaya di pasar spot dan kurs tengah Bank Indonesia (BI). Kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.468 atau menguat 0,29% dibandingkan posisi hari sebelumnya. Sementara itu, di pasar spot Mata Uang Garuda menguat 0,34% di Rp 14.445/US$.

Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun perkasa di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang, ringgit Malaysia, dan dolar Singapura yang melemah. Namun apresiasi sebesar 0,34% itu membuat rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia.

Agak berbeda, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup bervariasi cenderung menguat, kecuali SBN yang bertenor 5 tahun, 10 tahun, dan 25 tahun. Yield (imbal hasil) SBN bertenor 10 tahun dengan kode FR0087 yang merupakan acuan obligasi negara kembali naik sebesar 0,7 bp ke posisi 6,506%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) berakhir di zona hijau pada perdagangan Kamis (29/4/2021), menyusul kuatnya rilis kinerja dua raksasa teknologi AS yakni Apple dan Facebook.

Indeks Dow Jones Industrial Average melesat 240 poin (+0,71%) ke 34.060,36 pada penutupan perdagangan dan S&P 500 naik 28,3 poin (+0,68%) ke 4.211,47. Nasdaq menguat hanya 31,5 poin (+0,22%) ke 14.082,55.

Saham Apple yang sempat dibuka naik 1,8% malah berakhir terkoreksi tipis. Perseroan melaporkan penjualan kuartal I-2021 sebesar 54%, dengan kenaikan penjualan digit ganda di tiap produk. Perseroan juga berencana menaikkan dividen sebesar 7%, dan mengalokasikan dana US$90 miliar untuk membeli kembali sahamnya (buyback) dari pasar.

Di sisi lain, Facebook mencetak lonjakan pendapatan sebesar 48% berkat kenaikan tarif iklan. Saham perseroan melambung 7,3%. Sementara itu, saham Qualcomm melesat 4,4% setelah pendapatannya dilaporkan menguat 52%.

McDonald's melaporkan bahwa tingkat penjualannya sudah kembali ke level pra-pandemi sehingga sahamnya naik 1,2%, sementara Merck membukukan kinerja yang mengecewakan. Kabar bagus muncul dari sektor pelayaran setelah pemerintah AS mengizinkan pembukaan pelabuhan pada pertengahan Juli. Saham Carnival dan Norwegian sempat naik lebih dari 4%.

Kemarin menjadi hari tersibuk di Wall Street dengan 11% konstituen indeks S&P 500 merilis kinerja keuangan. Amazon, Gilead Sciences, Twitter, dan Western Digital akan merilis kinerja setelah perdagangan usai.

Pemerintah mengumumkan ekonomi AS kuartal I-2021 tumbuh 6,4%, menjadi laju tercepat sejak tahun 2003. Angka itu sedikit di bawah konsensus Dow Jones yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%, dari kuartal sebelumnya 4,3%.

Data klaim tunjangan pengangguran pekan lalu juga sedikit lebih buruk dari ekspektasi yakni di angka 553.000, sementara polling Dow Jones memperkirakan level 528.000.  

Sejauh ini, 86% dari konstituen indeks S&P 500 telah merilis kinerja keuangan kuartal I-2021, dengan 22,7% di antaranya membukukan laba bersih yang melampaui estimasi pasar sementara 77% membukukan pendapatan di atas ekspektasi, menurut data Revinitif.

"Tren primer di pasar masih positif... tapi kami memprediksi lingkungan yang volatil karena tensi masih ada antara ekonomi yang tumbuh lebih baik, prospek kinerja emiten, versus potensi kenaikan pajak," tutur kepala perencana pasar Truist Keith Lerner, dikutip CNBC International.  

Sikap santuy bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memberikan gairah pasar untuk kembali bertransaksi di bursa, karena risiko capital outflow kian kabur setelah kebijakan ekstra longgar di AS akan dipertahankan dengan menjaga suku bunga di level terendah sepanjang sejarah (0-0,25%).

Selain itu, pelonggaran kuantitatif berupa pembelian surat berharga di pasar dengan target sebesar US$ 120 miliar per bulan masih akan terus dilanjutkan. Investor global akan tetap mendapat likuiditas berlebih, untuk diputar di negara berkembang.

Namun, risiko capital outflow sebenarnya masih mengintai jika inflasi di AS terus meningkat. Sebagaimana diketahui, kenaikan inflasi akan membuat imbal hasil (yield) surat utang terdorong naik, karena pemodal meminta kompensasi lebih agar keuntungan mereka tidak tergerus.

Kenaikan imbal hasil ini pada akhirnya juga memicu capital outflow, sebagaimana kita lihat ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun (yang menjadi acuan pasar) naik ke level 1,77% Maret lalu. Saat ini, inflasi AS per Maret mencapai angka 2,6% dan imbal hasil surat utang pemerintah AS tersebut kembali merangkak ke level 1,634%.

Untuk mendapatkan kepastian mengenai arah pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah AS, pelaku pasar perlu memantau rilis Personal Consumption Expenditure (PCE) pada hari ini yang mencerminkan inflasi inti di Negara Adidaya.

Pada Februari lalu, angka PCE tumbuh sebesar 1,4% secara tahunan. Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%. Namun, konsensus ekonom dan analis dalam polling Tradingeconomics memperkirakan angka PCE Maret akan berada di level 1,8% (tahunan).

Lonjakan angka PCE itu kian mendekati batas 2% yang secara historis menjadi acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga. Sekalipun bank sentral telah menegaskan bahwa angka 2% bukan lagi harga mati dalam penentuan suku bunga acuan, tetapi logika pasar tentu berbeda. Inflasi 2% akan membuat yield 1,6% menjadi tidak masuk akal.

Jika angka PCE tersebut terkonfirmasi 1,8%, maka ada peluang kenaikan imbal hasil setidaknya di angka yang sama. Kenaikan imbal hasil membuka peluang lebih besar akan terjadinya penarikan modal investor global di pasar negara berkembang.

Selain itu perlu diwaspadai tren pembatasan aktivitas masyarakat (lockdown). Turki menyusul Jerman yang melakukan lockdown menyusul gelombang ketiga penyebaran virus. India sejauh ini menghadapi problem pandemi, dan mulai memperketat aktivitas masyarakat.

Jika lockdown kembali menjadi tren global, maka pemulihan ekonomi bakal terganggu. Bagi Indonesia, ini bakal menjadi kabar buruk. Dalam Asian Development Outlook 2021, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,5% atau lebih rendah dari proyeksi awal 5,3%.

Pemangkasan proyeksi terjadi lantaran pandemi secara global belum ada tanda berakhir, sementara Indonesia masih bergantung pada komoditas untuk bisa menggenjot pemasukan devisa hasil ekspor. Revisi proyeksi ADB itu terjadi setelah sebelumnya Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dari 4,8-5,8% menjadi 4,3-5,3%.

Untuk Asia, ADB menyatakan Produk Domestik Bruto kawasan itu akan meningkat 7,3% tahun ini, atau lebih baik dari perkiraan 6,8% pada Desember. ADB juga melihat pertumbuhan Asia berkembang moderat menjadi 5,3 persen pada 2022.

Berikut beberapa agenda korporasi dan data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Penjualan motor (tentatif)
  • Penjualan ritel Korsel (06:00 WIB)
  • PMI final sektor manufaktur Jepang per April (07:30 WIB)
  • PMI sektor manufaktur China per April (08:00 WIB)
  • Indeks keyakinan konsumen Jepang per April (12:00 WIB)
  • Pertumbuhan ekonomi Uni Eropa kuartal I-2021 (16:00 WIB)
  • Indeks harga PCE AS per Maret (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular