
Risiko Tapering Hilang, Hantu Inflasi & Lockdown Membayang

Sikap santuy bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memberikan gairah pasar untuk kembali bertransaksi di bursa, karena risiko capital outflow kian kabur setelah kebijakan ekstra longgar di AS akan dipertahankan dengan menjaga suku bunga di level terendah sepanjang sejarah (0-0,25%).
Selain itu, pelonggaran kuantitatif berupa pembelian surat berharga di pasar dengan target sebesar US$ 120 miliar per bulan masih akan terus dilanjutkan. Investor global akan tetap mendapat likuiditas berlebih, untuk diputar di negara berkembang.
Namun, risiko capital outflow sebenarnya masih mengintai jika inflasi di AS terus meningkat. Sebagaimana diketahui, kenaikan inflasi akan membuat imbal hasil (yield) surat utang terdorong naik, karena pemodal meminta kompensasi lebih agar keuntungan mereka tidak tergerus.
Kenaikan imbal hasil ini pada akhirnya juga memicu capital outflow, sebagaimana kita lihat ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun (yang menjadi acuan pasar) naik ke level 1,77% Maret lalu. Saat ini, inflasi AS per Maret mencapai angka 2,6% dan imbal hasil surat utang pemerintah AS tersebut kembali merangkak ke level 1,634%.
Untuk mendapatkan kepastian mengenai arah pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah AS, pelaku pasar perlu memantau rilis Personal Consumption Expenditure (PCE) pada hari ini yang mencerminkan inflasi inti di Negara Adidaya.
Pada Februari lalu, angka PCE tumbuh sebesar 1,4% secara tahunan. Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%. Namun, konsensus ekonom dan analis dalam polling Tradingeconomics memperkirakan angka PCE Maret akan berada di level 1,8% (tahunan).
Lonjakan angka PCE itu kian mendekati batas 2% yang secara historis menjadi acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga. Sekalipun bank sentral telah menegaskan bahwa angka 2% bukan lagi harga mati dalam penentuan suku bunga acuan, tetapi logika pasar tentu berbeda. Inflasi 2% akan membuat yield 1,6% menjadi tidak masuk akal.
Jika angka PCE tersebut terkonfirmasi 1,8%, maka ada peluang kenaikan imbal hasil setidaknya di angka yang sama. Kenaikan imbal hasil membuka peluang lebih besar akan terjadinya penarikan modal investor global di pasar negara berkembang.
Selain itu perlu diwaspadai tren pembatasan aktivitas masyarakat (lockdown). Turki menyusul Jerman yang melakukan lockdown menyusul gelombang ketiga penyebaran virus. India sejauh ini menghadapi problem pandemi, dan mulai memperketat aktivitas masyarakat.
Jika lockdown kembali menjadi tren global, maka pemulihan ekonomi bakal terganggu. Bagi Indonesia, ini bakal menjadi kabar buruk. Dalam Asian Development Outlook 2021, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,5% atau lebih rendah dari proyeksi awal 5,3%.
Pemangkasan proyeksi terjadi lantaran pandemi secara global belum ada tanda berakhir, sementara Indonesia masih bergantung pada komoditas untuk bisa menggenjot pemasukan devisa hasil ekspor. Revisi proyeksi ADB itu terjadi setelah sebelumnya Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dari 4,8-5,8% menjadi 4,3-5,3%.
Untuk Asia, ADB menyatakan Produk Domestik Bruto kawasan itu akan meningkat 7,3% tahun ini, atau lebih baik dari perkiraan 6,8% pada Desember. ADB juga melihat pertumbuhan Asia berkembang moderat menjadi 5,3 persen pada 2022.
(ags/ags)