
Varian Delta Jadi Momok Pasar Modal RI, Ada 'Damai' Hari Ini?

Pandangan pelaku pasar domestik hari ini bakal tertuju pada Badan Pusat Statistik (BPS) yang akan merilis data neraca perdagangan per Mei. Kabar baik diharapkan muncul dari sana, berupa kenaikan kembali impor yang mengindikasikan bahwa manufaktur nasional-yang mayoritas barang modal dan bahan pendukungnya masih diimpor-kembali bergeliat.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan impor melesat 68,2% secara tahunan, atau merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2008. Sementara itu, ekspor diprediksi tumbuh 56,1% yang mengindikasikan perekonomian global mulai pulih.
Senada, polling Reuters menyebutkan bahwa impor nasional bulan lalu diprediksi meroket 65% secara tahunan, atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor yang diprediksi melesat 57,5%. Dus, neraca dagang diperkirakan surplus sebesar US$ 2,3 miliar (menurut polling Reuters), atau sebesar US$ 2,13 miliar (menurut konsensus CNBC Indonesia).
Data tersebut akan menjadi angin segar dan memberikan alasan untuk membeli saham-saham yang terkoreksi, meski dalam horizon jangka pendek. Pasalnya, Indonesia masih menghadapi risiko penyebaran Covid-19 varian India.
Dari Amerika Serikat (AS), data yang perlu dipantau adalah penjualan ritel dan indeks harga produsen (Producer Price Index/PPI) per Mei yang akan menjadi titik konfirmasi apakah pertumbuhan inflasi sebesar 5% bulan lalu itu masih berpeluang berlanjut, atau melandai.
Proyeksi Tradingeconomics menunjukkan bahwa penjualan ritel diprediksi bakal menguat, menjadi 55%, atau membaik jika dibandingkan dengan catatan April yang sebesar 51%. Sementara itu, PPI diprediksi sedikit meningkat menjadi 6,4% dari periode April sebesar 6,2%.
Jika proyeksi tersebut terkonfirmasi, maka laju inflasi AS berpeluang naik kembali karena penjualan ritel menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat AS. Dalam ekonomi Negara Adidaya tersebut, konsumsi rumah tangga menyumbang 70% Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.
Di sisi lain, PPI merupakan indikator kenaikan inflasi di tingkat produsen, yang pada ujungnya akan dibebankan kepada konsumen selaku pembeli akhir. Otomatis, tingkat Indeks Harga Konsumen (IHK) alias inflasi bakal meningkat pula.
Di tengah kondisi demikian, kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pun kian krusial. Begitu krusialnya, hingga bisa membuat Jeromw Powell kehilangan tahta jika salah mengambil kebijakan dan memicu aksi jual besar-besaran di pasar dunia, menurut bos pengelola dana Paul Tudor Jones.
"Jika mereka di jalur yang benar dengan berkata 'kami mendapat data masuk, sudah menyelesaikan misi dan akan mulai menyelesaikan misi pembukaan lapangan kerja secepatnya' maka akan ada taper tantrum," tutur Tudor Jones sebagaimana dikutip CNBC International.
Jika itu yang terjadi, lanjut dia, maka akan ada aksi jual besar-besaran secara berjamaah baik di pasar surat utang maupun di pasar saham. Kebijakan moneter ketat akan berujung pada terhentinya pasokan likuiditas yang belakangan membuat indeks saham AS mencetak rekor baru.
(ags/sef)